Sampai sore datang, tak ada satupun anggota keluarga Theo yang mengangkat telepon. Telepon rumahnya diangkat oleh asisten rumah tangga, sehingga mereka hanya bisa menyampaikan pesan. Bahkan Yulia nekat menelepon nomor Luna di luar negeri. Namun justru tak terdengar nada sambung sama sekali. Nomor berada di luar jangkauan.
"Coba cek daftar telepon masuk terbaru!" Chico memberi saran.
Mereka sedari tadi memang mengubek - ubek ponsel Theo. Bukannya lancang. Ini kan demi kebaikan Theo juga.
"Nona?" Yulia bingung dengan nama itu.
Tidak ada yang aneh sih. Tapi yang membuat heran adalah, kenapa daftar riwayat panggilan dengannya cukup banyak di sini? Dan semuanya diangkat oleh Theo. Tak ada satupun yang diabaikan. Dalam daftar riwayat telepon keluar pun, Theo terlihat sering meneleponnya. Apa ini kekasih Theo?
"Lo jangan sedih!" Chico terlihat ragu hendak meneruskan ucapannya atau tidak. Tapi tetap ia teruskan juga. "Kalo gue nggak salah ingat, dia pernah bilang sedang menyukai seseorang." Chico mengucapkannya dengan penuh keraguan.
"Jadi benar Nona ini pacarnya?" tebak Yulia.
Tak sesuai dugaan Chico, Yulia terlihat biasa saja.
"Kenapa muka lo aneh begitu? Takut gue cemburu?" Yulia mengakhiri pertanyaannya sembari tertawa.
Chico menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Emangnya nggak?"
"Gue tuh nggak kayak lo. Kalau cinta gue nggak kesampaian, Gue bakal cari cinta yang lain. Kan banyak yang suka sama gue."
Chico hanya bisa mencebik. Merasa tersindir. Tapi ia juga senang karena setelah sekian lama, ia bisa ngobrol santai dengan Yulia lagi. Sekarang ia tak terlalu banyak berharap. Bisa dekat dengan Yulia seperti ini lagi saja, ia sudah bersyukur.
Yulia akhirnya memutuskan untuk mendial nomor itu. Nada sambung berbunyi, menunggu jawaban dari penerimanya.
~~~~~ I Love You, Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Keluarga kecil ini akhirnya punya waktu untuk bersantai bersama. Jo tak ingin istrinya kurang perhatian lagi. Sabtu sore yang cerah, mereka bertiga jalan - jalan ke mall. Hitung - hitung sebagai ganti karena Dio sudah tak pernah lagi main ke taman. Setelah asyik menemani Dio bermain di playground, mereka kini sedang menunggu pesanan makanan di food court.
"Besok main ke sini lagi ya, Dad?" Dio heboh sendiri dari tadi. Ia baru tahu bahwa ternyata main di mall itu enak.
Selain itu ia juga senang karena akhirnya bisa jalan - jalan dengan kedua orang tuanya, lengkap. Tak hanya dengan mommy - nya saja. Rasanya sungguh lebih mengasyikkan.
"Apa sih yang nggak buat Dio?" Jo mencubit pipi anaknya gemas.
"Jo ... jangan suka janji - janji gitu! Dia nagih nagih terus nanti," tegur Alila.
"Iya - iya." Jo sadar perkataan Alila itu benar. "Kita main ke sini lagi minggu depan, okay? Besok Daddy ada pekerjaan."
Dio merengut kesal. Ingin marah sebenarnya. Tapi tidak apa - apa sih, dari pada tidak main ke sini lagi sama sekali. Kalau begitu ia akan menunggu sampai minggu depan.
Alila mencari - cari ponselnya dalam tas. Ponselnya bergetar terus karena ada panggilan masuk. Alila kaget begitu melihat nama orang yang meneleponnya.
"Siapa?" Jo segera bertanya. Ia memang harus lebih posesif sekarang. "Theo?"
Alila mengangguk. Ia segera me - reject panggilan itu. Meski wajahnya terlihat ragu, dan Jo melihat keraguan itu.
Tak apa. Bukannya semua butuh proses? Jo meyakinkan dirinya bahwa seiring berjalannya waktu, istrinya akan benar - benar menganggap Theo sebagai kenangan.
Sayangnya nomor Theo terus menerus menelepon setelah di - reject berulang kali. Tentu saja hal itu mengganggu momen kebersamaan keluarga ini. Jo pun mengambil tindakan. "Sini biar aku yang angkat."
Alila pasrah membiarkan Jo mengambil ponselnya.
"Halo?"
"Halo. Apa ini benar nomor 'Nona'? Maaf saya nggak tahu nama sebenarnya. Tapi apa anda kenal dengan Theo?"
Jo awalnya sudah bingung karena suara penelepon bukan Theo. Ini suara perempuan. Dan setelah pertanyaan itu terlontar, Jo justru jauh lebih bingung lagi dibuatnya.
"Anda siapa? Kenapa menelepon dengan nomor Theo?"
Alila hanya mengamati wajah Jo yang terlihat serius. Ia tak bisa mendengar suara si penelepon dengan baik karena suasana ramai di sini.
"Iya ini memang benar ini nomor Theo. Begini, saat ini Theo sedang dirawat di rumah sakit. Kami sudah berusaha menghubungi keluarganya, tapi belum ada tanggapan. Kami melihat dari daftar riwayat panggilan, sepertinya anda cukup dekat dengan Theo, jadi ..."
Jo menghembuskan napasnya berat. Apa lagi ini? Jo berpikir keras.
Tak mendengarkan apa yang selanjutkan dikatakan si penelepon. Karena ia tahu dan mengerti apa maksudnya. Ya. Si penelepon meminta dirinya, ah lebih tepatnya meminta istri tercintanya, untuk datang ke sana sebagai pengganti keluarga Theo. Karena menganggap mereka cukup dekat.
Tapi apa yang harus ia lakukan. Terlebih Alila sedang menatapnya, ingin tahu apa yang terjadi. Ingin tahu siapa gerangan yang menelepon.
"Kenapa?" Alila bertanya bingung. Wanita itu akhirnya bertanya karena Jo tak kunjung memberi penjelasan.
Jo memberikan isyarat pada istrinya untuk diam dulu. "Iya benar ini nomor 'Nona' yang kamu maksud, dia istri saya." Jo mempertegas suaranya di akhir kalimat. "Di rumah sakit mana?" lanjutnya.
Jo masih diam sampai si penelepon selesai memberitahukan nama rumah sakitnya, dan mengakhiri panggilannya. Jo berpikir keras lagi.
Alila tahu suaminya sedang kesal. Jadi ia diam. Tak ingin membuat Jo semakin kesal. Meskipun ia penasaran sekali, ingin tahu apa yang terjadi.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Theo dirawat," ucap Jo singkat, padat, dan jelas.
Selanjutnya ia segera menggendong Dio dan jalan duluan. Meninggalkan istrinya di belakang. Sengaja karena Jo tak ingin melihat wajah panik dan khawatir Alila yang akan membuatnya semakin kesal. Mengkhawatirkan laki - laki lain, huh? Lagi?
Lagi - lagi Jo kalah. Atau mengalah? Jo bahkan tidak bisa membedakan lagi. Dan anehnya ia malah pasrah dan memilih untuk pergi ke rumah sakit juga.
Padahal ia sudah melarang istrinya menemui Theo lagi. Dan Alila menurut dengan baik. Justru kini dirinya sendiri yang memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Datang untuk Theo. Jo sendiri bingung dengan situasi ini. b******n kecil itu membuatnya kesal sekaligus .... Kasihan.
Si penelepon tadi mengatakan bahwa keluarga anak itu belum bisa dihubungi. Makanya ia sampai mengubungi istrinya. Jo hanya berpikir, jika bukan mereka yang datang sebagai pengganti keluarga Theo, lalu siapa lagi?
Ya, ini hanya demi sebuah misi kemanusiaan, tidak lebih. Jo berusaha meyakini itu meski rasanya sangat sulit.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --