Sedikit perhatian

1015 Words
Malam hari bertabur bintang dan sinar rembulan yang sangat indah. Tamara yang sedang tertidur tiba-tiba merasakan kepalanya sangat pusing dan tenggorokannya kering membuka matanya. Ia berusaha bangkit dari ranjang tapi tiba-tiba pandangannya seperti kabur. Brakk Tamara terjatuh kembali ke ranjang dan tanpa sengaja menimpa tubuh Justin. "Astaga! Tamara, kamu kenapa?!" teriak Justin kaget saat tubuh Tamara berada di atasnya. Tamara mendudukkan dirinya disusul Justin yang ikut duduk di samping Tamara. "Maaf, Kak. Kepala Tamara sakit dan tenggorokan Tamara kering. Tadinya aku mau ambil minum tapi malah kepalaku mendadak terasa sangat sakit, Kak," kata Tamara. Justin melihat wajah pucat Tamara menempelkan tangannya ke kening Tamara. Rasa panas terasa di kening Tamara membuat Justin tersentak kaget. "Astaga! Tamara kamu sakit? Sebaiknya kamu berbaring di ranjang dulu, Kakak mau mengambilkan obat pereda panas di bawah dan sekalian meminta tolong Bi Lauren membuatkan bubur untuk kamu. Kita sarapan bersama ya di kamar," kata Justin. "Enggak usah, Kak. Aku masih bisa berdiri," balas Tamara. "Tamara, kalau Kakak bilang tidak ya tidak, jangan ngeyel deh. Kamu tuh lagi sakit, lebih baik kamu baringan dulu dan Kakak akan ke bawah," kata Justin tegas. Akhirnya Tamara membaringkan dirinya di ranjang, sedangkan Justin berjalan keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Justin melihat Bi Lauren sedang memotong-motong sayuran menghampirinya. "Bi Lauren," panggil Justin. Seketika Bi Lauren menghentikan pekerjaannya lalu ia membalikkan tubuhnya menghadap Justin. "Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bi Lauren. "Bibi, tolong belikan obat pereda panas untuk adikku soalnya Tamara mendadak demam, dan sekalian buatin bubur hangat untuk saya dan Tamara," perintah Justin. "Nona Tamara sakit, Tuan? Apa perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Bi Lauren. "Tidak perlu, Bi. Dia hanya demam biasa. Saya balik ke kamar dulu ya, Bi. Nanti tolong anterin ke kamar buburnya," jawab Justin. "Siap, Tuan. Nnti saya antarkan kalau sudah jadi," balas Bi Lauren. "Terima kasih, Bi," kata Justin. Justin berjalan kembali menuju kamarnya. Saat sudah di dalam kamar, ia melihat Tamara memejamkan matanya mendudukkan dirinya di samping Tamara. "Tamara, aku mohon jangan sakit. Aku tidak suka kalau kamu sakit," kata Justin sambil mengusap lembut rambut panjang Tamara. Setengah jam kemudian pintu diketuk dari luar. Tok tok tok "Tuan ini, Bibi," kata Bi Lauren dari luar. "Masuk aja, Bi. Pintunya enggak dikunci kok," balas Justin yang sedang duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah pucat Tamara. Bi Lauren membuka pintu kamar Justin lalu ia masuk ke dalam sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat untuk Tamara dan Justin serta obat pereda panas. Bi Lauren meletakkan nampan tersebut di atas meja samping ranjang lalu ia menatap wajah Tamara yang terlihat sangat pucat. "Tuan, apa perlu saya menyuruh Mang Ujang mengantarkan Nona Tamara ke rumah sakit? Sepertinya nona terlihat sangat pucat," tanya Lauren. "Tidak perlu, Bi. Nanti kalau setelah minum obat dan beristirahat Tamara masih sakit, nanti aku sendiri yang akan meminta tolong ke Mang Ujang," balas Justin. "Baik, Tuan. Saya pamit undur diri," kata Bi Lauren. Bi Lauren berjalan keluar dari kamar tersebut dan menutup pintu kamar. Justin melihat Tamara masih tertidur berusaha membangunkannya untuk makan malam bersama. "Tamara bangun yuk. Kita makan bubur bersama ya, aku tahu kamu pasti sudah lapar," kata Justin sambil mengguncang-guncangkan tubuh Tamara. "Kakak, aku enggak mau makan, perutku merasa tidak enak. Aku masih mengantuk, Kak," balas Tamara sambil membuka matanya. "Tamara, kalau kamu tidak makan sama sekali justru nanti kamu sakit. Ayo makan atau Kakak akan marah sama Tamara," kata Justin dengan nada tatapan tajamnya. Akhirnya Tamara mendudukkan dirinya lalu ia mencebikkan bibirnya. "Sudah, jangan manyun. Sini Kakak suapin kamu," kata Justin. Justin mengambil mangkok bubur milik Tamara lalu ia mulai menyuapi Tamara. Suap demi suap telah masuk ke mulut Tamara hingga bubur tersebut habis. Justin melihat ada bubur tertinggal di bibir Tamara mengambil tissue dan mengelapnya. "Nah, gini kan pintar. Sudah, kamu lebih baik istirahat dulu saja," kata Justin. "Baik, Kak," kata Tamara. Tamara membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang dan menutup matanya, ia sebenarnya belum ingin tidur lagi tapi melihat tatapan kakaknya yang mengerikan baginya ia jadi takut jika menolak. "Selamat istirahat, Tamara. Aku berharap kamu cepat sembuh," gumam Justin. Justin melihat Tamara sudah tertidur mengambil buburnya dan mulai memakannya. Drt drt Tiba-tiba ponsel yang selalu ditinggalkan untuk Justin jika orang tuanya belum pulang berbunyi. Justin melihat mamanya yang meneleponnya meletakkan mangkok buburnya ke meja lalu ia langsung mengangkat telepon tersebut. "Hallo Ma," kata Justin. "Begini Justin, Maafkan mama dan papa ya. Sepertinya malam ini mama dan papa tidak bisa pulang ke rumah karena papa kamu ada meeting dadakan di luar kota, Justin. Jadi tolong jaga Tamara baik-baik ya dan jangan nakal," kata Renata. Renata melihat Justin hanya diam saja menjadi sedih. "Justin kamu baik-baik aja?" tanya Renata. "Iya, Ma. Justin enggak kenapa-kenapa kok," jawab Justin. "Oh iya, Tamara mana? Mama mau lihat," kata Renata. Justin mengarahkan kameranya ponselnya ke arah Tamara membuat Renata terkejut saat melihat wajah Tamara yang sangat pucat. "Justin, Tamara kenapa pucat sekali?" tanya Renata. Justin mulai menceritakan semua kejadian yang dialami Tamara saat di kolam renang hingga keadaan Tamara yang saat ini masih demam. "Justin, apa perlu dibawa rumah sakit? Apa dia baik-baik aja?" tanya Renata panik. "Mama tenang aja, Tamara sudah baik-baik aja kok dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Lagian kalau semakin parah demamnya pasti Justin akan membawanya ke rumah sakit. Kan Tamara sudah menjadi adik Justin, jadi sebagai seorang Kakak, aku seharusnya menjaganya dengan baik," jawab Justin. "Oke deh. Tapi kalau kondisinya semakin parah bawa ke rumah sakit ya, Justin. Mama tidak mau sampai Tamara kenapa-kenapa," balas Renata. "Iya, Ma. Justin mengerti," balas Justin. Tut Telepon diputuskan sepihak oleh Renata. Justin memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali. Rasanya sangat sakit saat melihat orang tuanya yang jarang pulang. Justin mengambil mangkok buburnya kembali dan melanjutkan makannya. Setelah selesai makan, ia meletakkan mangkoknya ke meja lalu ia merebahkan dirinya di samping Tamara. "Tamara, apa kamu sudah tidur?" tanya Justin sambil menatap mata Tamara yang sudah tertutup. Tidak terdengar suara sahutan dari Tamara membuat Justin mendengus kesal. Entah mengapa saat ini dirinya membutuhkan teman berbicara tapi ternyata Tamara sudah tertidur pulas. Justin memejamkan matanya dan perlahan ia mulai tertidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD