Sudah menjadi peraturan pada setiap musim bahwasanya para peserta Cooking Master harus dikarantina selama kompetisi berlangsung. Dan para peserta baru boleh pulang ketika mereka dinyatakan gugur dalam kompetisi. Jadi, berapa lama mereka ada di karantina tidak bisa diprediksi. Bisa jadi sebentar, atau bisa jadi lama, tergantung nasib.
Lokasi karantina itu sendiri tentu saja berada tidak jauh dari galeri tempat kompetisi Cooking Master berlangsung. Dari yang pernah Rhea lihat di musim-musim sebelumnya, para peserta akan menjalani karantina di sebuah asrama yang memiliki fasilitas selayaknya hotel bintang lima.
Karena kompetisi Cooking Master sudah punya nama dan selalu memiliki rating tinggi setiap musimnya, tentu saja modal yang dimiliki oleh kompetisi ini tidak sedikit. Sehingga memberikan fasilitas asrama yang bagus untuk para peserta selama karantina, tidak jadi perkara yang sulit.
Sejujurnya, Rhea agak gugup untuk menjalani karantina ini. Tidak ada satu pun peserta yang dia kenal, sehingga membayangkan harus tinggal bersama mereka dalam waktu yang mungkin saja lama, membuatnya merasa agak tertekan. Terlebih lagi, Rhea tidak termasuk ke dalam golongan orang yang mudah berbaur. Ia justru cenderung tertutup dan sulit membuka diri terhadap orang baru.
Wajah Rhea agak sembab dan matanya merah karena menangis di sepanjang jalan ketika ia sampai di asrama. Ia agak menyayangkan wajah sembabnya itu, karena bisa saja itu akan menimbulkan tanda tanya bagi peserta yang lain. Tapi mau bagaimana lagi juga? Sudah terlanjur terjadi.
Saat mendengar ramai celotehan dari dalam asrama ketika ia hendak masuk, Rhea jadi semakin gugup. Sepertinya, sudah ramai peserta yang datang. Bisa jadi, Rhea justru jadi yang terakhir tiba. Ia pun terlebih dahulu menarik dan menghembuskan napas sebelum melangkah masuk ke dalam asrama.
Benar saja, di ruang tamu asrama itu, sudah banyak peserta yang berkumpul. Mereka yang semula berceloteh satu sama lain pun tiba-tiba saja langsung diam ketika Rhea masuk dan memusatkan perhatian padanya.
Rhea jadi kikuk. Yang bisa dilakukannya hanya lah tersenyum dan mengangguk sopan untuk menyapa mereka semua. Beberapa balas melakukan hal yang sama, sementara tiga perempuan seusianya yang duduk pada salah satu sofa panjang di ruangan itu, justru melirik Rhea dari ujung kaki hingga ujung kepala. Oh, jelas sekali mereka sedang memberikan Rhea tatapan penuh penilaian.
"Halo, semuanya. Saya Rhea Aretina." Rhea menyapa canggung.
"Halo, Rhea." Semua yang ada di ruangan itu balas menyapa.
"Kamu yang bermasalah sama Chef Jendra ya?" Salah satu dari tiga perempuan yang duduk di sofa panjang itu nyeletuk. Nada bicaranya terdengar tidak bersahabat, bahkan terkesan menyindir. "Wah, ternyata kamu lolos ya."
Rhea spontan mengerutkan kening karena merasa tidak suka. "Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa, cuma mau mastiin. Supaya nanti bisa liat sehebat apa sih kemampuan lo," jawab perempuan itu sembari tersenyum menyebalkan.
Dua orang perempuan lain yang duduk di sebelahnya pun tertawa sinis.
Apa-apaan maksudnya? Baru juga Rhea sampai, ia sudah disambut oleh orang-orang seperti mereka. Namun, belum sempat Rhea membalas omongan perempuan itu, seorang lelaki yang satu-satunya berkacamata di sana tiba-tiba berdiri. Ia mengisyaratkan Rhea untuk berjalan mengikutinya. Meski kesal bukan main dengan perempuan tadi, Rhea akhirnya memutuskan untuk berjalan mengikuti lelaki itu dan menghindari masalah.
"Nggak usah didengerin omongan mereka tadi," ujar lelaki itu setelah mereka meninggalkan ruang tamu asrama. "Emang tipikal orang julid. Semua peserta yang lain juga daritadi dikomentarin."
Rhea berdecak. "Nyebelin banget emang orang yang kayak begitu."
"Indeed." Lelaki itu mengangguk. Lalu, ia berhenti berjalan setelah mereka sampai di depan sebuah kamar dengan label angka tiga di pintunya. "Ini kamar lo by the way. Kebetulan, karena gue tadi yang sampe duluan di sini, jadi dikasih sama staff daftar kamar peserta dan disuruh nunjukin ke mereka kamarnya."
"Saya nggak sekamar sama rombongan julid itu, kan?"
Si lelaki berkacamata terkekeh. "Enggak kok, tenang aja. Kamar mereka ada di atas. Roomate lo belum dateng."
"Syukur deh."
"Ah iya, my bad." Lelaki itu menepuk kening pelan karena baru teringat sesuatu. Lalu, ia mengulurkan tangan pada Rhea. "Lupa kenalan. Nama gue Manggala Kastara, panggil aja Gala."
Rhea menyunggingkan tersenyum pada Gala. "Rhea."
"Silahkan kalau lo mau masuk ke kamar dan beresin barang-barang lo. Kalau udah, lo bisa keluar lagi dan keliling liat-liat asrama ini. Kalau butuh bantuan, panggil gue aja."
Rhea mengangguk. "Thanks, Gala."
Gala hanya membalasnya dengan senyuman sebelum lelaki itu berjalan pergi dan membiarkan Rhea untuk masuk ke dalam kamar yang akan ia tempati selama di asrama ini.
Sesuai instruksi dari Gala, Rhea pun masuk ke dalam kamar dengan membawa koper dan tas jinjing berisikan barang-barangnya. Rhea cukup merasa puas melihat isi kamarnya yang terasa cukup nyaman.
Kamar itu untuk dua orang. Di sana, ada dua tempat tidur, dua lemari, dan dua meja, satu kamar mandi, dan televisi yang menempel di dinding. Selayaknya asrama pada umumnya, namun dengan furnitur yang sekelas furnitur untuk hotel berbintang.
Berhubung Rhea hanya perlu menata barang bawaannya di dalam kamar, hal itu pun tidak memakan waktu lama. Setelah selesai, Rhea keluar dari kamarnya dan berniat untuk membaur dengan peserta lain. Tentu saja ia tidak ingin jadi orang yang ansos di sini, mengingat bisa saja nantinya akan ada team challenge dalam kompetisi, yang mengharuskannya untuk bekerja sama dengan mereka.
Karena masih kesal dengan para perempuan menyebalkan tadi, Rhea pun tidak ingin kembali ke ruang tamu asrama lagi. Lebih baik ia mencari orang lain untuk diajak berkenalan.
Kebetulan sekali, ketika memasuki ruang makan asrama, Rhea kembali bertemu dengan Gala. Lelaki itu sendirian dan sedang minum ketika Rhea menghampirinya.
"Udah beres-beresnya?" Tanya Gala ketika Rhea sudah menarik kursi di depannya dan duduk di sana.
"Nggak terlalu banyak yang mesti diberesin sih, jadi nggak makan waktu lama," jawab Rhea.
Gala mengangguk paham. "Kenapa nggak ke depan? Yang nggak ada di kamar, pada ngumpul di sana."
Rhea meringis. "Males."
"Gara-gara Laras, Natasya, sama Vina?"
"Oh, jadi itu nama mereka?"
"Iya. Yang sinis sama lo tadi si Laras."
"Dendam banget kayaknya dia sama saya."
Gala tertawa. "Biasa lah. Mereka tuh barisan penggemar garis kerasnya Chef Jendra."
Rhea langsung melotot mendengarnya. Ia jadi paham kenapa tiga perempuan tadi terkesan begitu tidak menyukainya. "Pantesan!" serunya kesal. "Mereka nggak suka sama saya karena kesannya saya kayak cari masalah sama Chef Jendra. Gitu?"
Gala mengangkat bahu sembari tersenyum geli. "Gitu deh."
Rhea menggelengkan kepala tidak habis pikir. Dia tahu sih kalau Jendra memang punya banyak penggemar. Tapi, ia tidak menyangka saja jika penggemarnya ternyata bisa sampai segitunya.
Memikirkannya membuat Rhea jadi bergidik sendiri. "Idola sama penggemarnya ternyata sama aja."
"Sama aja apanya?"
"Sama-sama nggak waras," sungut Rhea, tanpa sadar ada sesuatu yang janggal.
"Rhea..." Gala memanggilnya diiringi dengan ringisan.
"Kenapa, Gala?"
"Yang ngomong tadi bukan gue."
"Hah?"
Gala pun mengisyaratkan Rhea untuk menoleh ke belakang.
Seketika saja, perasaan Rhea jadi tidak enak. Dengan takut-takut ia menoleh ke balakang, hanya untuk mendapati sosok Jendra yang sudah berdiri di sana sembari bersidekap.
"Halo, Rhea," sapa lelaki itu dengan senyum palsu.
Rhea rasanya ingin berteriak.
KENAPA DIA BISA ADA DI SINI?!