Part 13- Ember Bocor

1633 Words
Hujan kemarin membuat Elsya dan Windi batal jajan. Kali ini mereka nggak akan batal lagi karena cuaca sangat cerah bahkan matahari cenderung terik. Sangat pas untuk bepergian tanpa takut kehujanan seperti kemarin. “ Gue udah lama banget nggak ke foodstreetnya,” ucap Windi yang tak sabar mencicipi aneka jajanan di sana. “ Kita harus sampe malem, Els. Biar malemnya kita bisa makan gultik. Gue sih bisa nambah empat piring kalo makan di sana. Porsinya kayak porsi makan anak balita sih, tapi enak.” Elsya mengangguk. Ia pun mengakui kenikmatan makanan yang banyak dijajakan di sepanjang jalan tikungan itu. Deretan penjual gulai dari ujung ke ujung, ada juga penjual sate taichan yang tidak kalah favorit. Makan gultik dengan tambahan sate telur burung puyuh rasanya nikmat. “ Tapi inget. Masih ada mata kuliah sampe sore,” ucap Elsya yang membuat Windi kembali pada kenyataan yang harus dipijaknya. “ Elo nih, membuyarkan makanan gue aja. Mager banget kuliah. Mana becek banget. Ewhh!” “ Namanya juga hujan semaleman, wajar becek lah.” Elsya tertawa melihat Windi yang berjinjit sembari menghindari genangan-genangan air di sekitarnya. “ Kelamaan sih mikirin makan malam, kita mau sarapan apa nih?” Windi seketika tersenyum apalagi kalau sudah membahas soal makanan otaknya akan langsung bekerja dengan cepat. “ Lontong sayur yuk di kantin. Opor telornya juara!” Ia langsung menarik tangan Elsya dengan semangat. “ Kayaknya semua makanan juara semua menurut lo deh.” “ Enak aja! Lidah gue nggak sembarangan menilai makanan ya.” “ Iya deh iya.” Elsya terkekeh geli. Entah kenapa makanan rekomendasi Windi pasti rame semua, peminatnya banyak sampai membentuk antrian cukup panjang. Padahal ini masih pagi tapi entah datang darimana mahasiswa-mahasiswa yang sudah rapih di barisan itu. “ Keburu kenyang lagi nggak sih?” tanya Elsya yang terpaksa berada dalam satu barusan karena Windi tampaknya enggan pergi sebelum mendapatkan lontong sayurnya. “ Kita kurang pagi. Biasanya jam tujuh masih sepi.” “ Ya kali gue ke kampus sepagi itu.” Elsya mendengus sebal. Hampir sekitar lima belas menit mengantri, akhirnya Windi dan Elsya pun mendapat jatah mereka. Keduanya langsung menikmati sarapan di kursi yang tersedia, tentu saja tanpa meja. Jadi agak sulit memang bagi Elsya yang tak terbiasa makan tanpa meja, apalagi makanan berkuah begini. Masih untung nggak tumpah. Saat asik melahap makanannya, tiba-tiba seseorang berdiri di depan Elsya, membuat gadis itu mendongakkan kepalanya. Alga. Kening Elsya langsung berkerut melihat pria itu menatapnya. “ Kenapa?” Tiba-tiba saja nafsu makannya menghilang, ditambah keburu lelah mengantri sepagi ini demi satu mangkuk lontong sayur. “ Kak Katrina nyuruh kita belanja ke pasar tanah abang besok.” “ Hah? Ke tanah abang? Ngapain?” “ Katanya disuruh beli kaos polos dan yang lainnya. Nggak tau deh gue belum di kasih list belanjaannya. Gue disuruh bilangin lo aja.” “ Tapi besok kan hari sabtu?” “ Terus? Tanah abang buka juga kok hari sabtu.” Elsya mendengus kesal. Apa Alga tidak tau hari sabtu itu adalah akhir pekan? Dimana seharusnya ia bisa bersantai di rumah atau jalan-jalan kemanapun. “ Ya udah. Sama siapa aja?” “ Kita doang.” “ Hah?” “ Cowok pemes kayak lo mau ke tanah abang? Nggak takut dikejar-kejar fans lo?” tanya Windi yang sedari tadi memilih diam. “ Nggak lah. Tenang aja soal itu.” “ Berdua aja?” Elsya mengulang lagi pernyataan dari Alga. “ Kenapa kita yang dipilih?” “ Lo tanya aja sama kak Katrina.” Alga menjawab dengan cuek. “ Pokoknya besok kita berangkat jam enam pagi. Lo harus udah di halte busway depan komplek rumah lo.” “ Hah? Tapi... “ Tanpa menunggu balasan dari Elsya, Alga langsung berbalik dan pergi. Menyisakan Elsya yang semakin bingung. Rasanya gadis itu ingin mengacak-acak rambutnya sendiri. Bagaimana ia menjalani hari esok? Berdua saja bersama Alga ke tanah abang, naik bus transjakarta, di hari sabtu... apakah takdir tengah menyuruhnya kembali bernostalgila pada pria sok dingin itu? “ Banyak bersyukur lo jalan sama artis.” Windi menyenggol lengan Elsya. “ Kalau gue sih nggak bakal bisa tidur deh nanti malem. Mikir besok mau pake apa ya.” Ia malah terkikik kegirangan seolah dialah yang diajak pergi oleh Alga. “ Kita mau belanja kebutuhan festival, bukan ngedate!” Elsya berusaha mengingatkan. “ Sekalian nggak apa-apa kali. Kan malem minggu juga tuh besok. Asik!” Gila. Ini benar-benar gila. Hari ini pun rasanya berlalu begitu cepat, membuat Elsya semakin ngeri membayangkan apa saja yang akan ia lakukan besok... dengan Alga yang berada di sampingnya. Belanja aja, kan? Siang harusnya udah selesai dong. Bisa langsung pulang, kan? Udah gitu aja, kan? Tapi kenapa gue malah deg-degan kayak orang mau ngedate pertama kali. Elsya membatin kesal. Terlebih sahabat terbaik di sampingnya kini justru asik menikmati sepiring gulai beserta sate-sateannya, sepertinya sudah yang ke empat. Sementara Elsya sudah menghabiskan satu piring gulai miliknya dan tidak berniat nambah lagi seperti pelanggan-pelanggan lain di sini. Perutnya benar-benar kenyang sekarang. Apalagi melihat Windi selahap itu. “ Mau sate taichan nggak?” tanya Windi kemudian. “ Hah? Perut lo isinya apaan sih? Daritadi nggak kenyang-kenyang.” Elsya mulai heran. Walau memang tubuh Windi agak sintal. Istilahnya semok lah dengan tubuh yang agak lebih tinggi dibandingkan Elsya. Nggak heran memang jika porsi makannya banyak. “ Selagi sehat, kita harus bisa menikmati makanan apapun, Els. Nanti kalau sakit, semua makanan rasanya hambar tau!” *** Alga masih sibuk dengan sesi pemotretannya. Kali ini untuk salah satu katalog pria yang bertema kasual. Beberapa kali ia berganti kemeja dan seperti biasa mulai berpose. Posenya juga tidak aneh-aneh. Bahkan hanya sekedar berdiri dan memberikan sedikit gerakan di tangannya, hasilnya pasti akan bagus. Itulah enaknya menjadi model pria, tidak perlu terlalu banyak gerak. Setelah sesi pemotretan selesai, Alga pun beristirahat di ruang make up. Di sebelahnya ada Malvin yang kebetulan hari ini juga mendapat job tapi dia hanya akan mengambil foto satu kali. Bahkan fotonya belum pernah jadi model sampul di majalah apapun. Biasanya hanya selingan saja atau foto bersama model-model lain yang jelas wajahnya sendiri pun tak akan terlalu disorot. Tapi ini lebih baik dibanding tidak mendapat job sama sekali. “ Tungguin gue ya, Al,” ucap Malvin tiba-tiba. “ Kenapa emangnya?” Alga tadinya memang mau langsung pulang, ia juga mendapat pesan dari Dinda yang akan mengajaknya makan malam bersama. Walau hanya sekedar makan masakan buatan kakaknya itu di kamar kosnya. “ Gue bentar doang paling fotonya. Satu sampe dua kali take juga udah. Abis itu gue mau ngajak lo makan malem.” Malvin terlihat ragu tapi tetap mengutarakan niatnya. “ Gue lagi stress banget.” Merasa tak tega, Alga jadi tidak enak menolak ajakan temannya ini. “ Tapi gue udah ada janji sama kakak gue mau makan malam di kosan. Lo mau ikut aja? Asik kok dia orangnya.” “ Boleh emang?” tanya Malvin dengan mata berbinar. “ Boleh lah. Nanti gue kasih tau kakak gue biar bawa lebih banyak makanannya.” Malvin pun mengangguk, senyum tipis mengembang di wajahnya yang manis. “ Thanks ya, Al.” Setelah acara pemotretan selesai, Alga dan Malvin pun pergi menuju kos-kosan mewah Alga yang letaknya lumayan jauh dari lokasi. Jadilah keduanya memilih untuk naik taksi. Sudah terlalu lelah untuk menempuh perjalanan dengan angkutan umum, apalagi di jam-jam sibuk seperti ini. Bisa-bisa mereka kemalaman sampainya. Sekitar satu jam kemudian mereka pun sampai. Dinda sudah sampai lebih dulu di kamar kos Alga karena dia memang memegang kunci duplikatnya, tentu saja Alga yang memberikan. Katanya biar kakaknya ini bebas mau ke sana kapan aja atau mau numpang istirahat juga boleh. “ Jadi, Alga punya temen akhirnya nih?” tanya Dinda yang sedang menyiapkan makan malam di piring-piring. Ketiganya duduk lesehan di karpet lantai. Gadis yang kini berkuliah jurusan kedokteran gigi itu membawa opor ayam, sambal kentang dan kerupuk. Makanan yang sederhana tapi nikmat. Alga memutar bola matanya. “ Gue manusia yang bersosialiasi kok, tenang aja.” Dinda tersenyum seraya mengangguk-angguk. “ Syukurlah. Yang akur ya kalian. Jarang-jarang Alga sampe bawa temennya ke kosan.” “ Ah, iya, kak. Kita juga baru kenal kok. Kebetulan satu kampus dan satu manajemen juga.” “ Wah! Lo model juga ya?” Dinda langsung tertarik, ia sampai menatap Malvin dari ujung kaki ke ujung kepala. Malvin mengangguk malu-malu. “ Manis sih pantesan, postur tubuh lo juga bagus. Bisa kebalap Alga sama lo.” Malvin tertawa. “ Nggak kak. Justru aku yang kalah banget. Aku harus banyak belajar dari Alga.” Dinda mengacungkan sendoknya ke wajah Malvin. “ Satu-satunya yang harus lo pelajarin dari Alga, cukup pake tampang sok ganteng dan sok dingin aja. Persis deh kayak Alga tuh.” “ Sorry ya. Itu sih udah fakta.” Dinda menatap sinis ke arah sang adik. “ Dan kepedean juga, harus!” Melihat akurnya kakak dan adik itu sekilas membuat Malvin iri. Walau ia juga heran ternyata Alga memiliki kakak perempuan. Karena ia dan sepertinya nyaris semua orang tidak tau siapa keluarga Alga. Tak pernah Alga mengupload soal keluarganya di sosial media. Entah karena menjaga privasi atau karena hal lain, ia tidak tau persis. Namun yang ia tahu, Alga punya seorang kakak. “ Sering ketemu Elsya dong?” tanya Dinda yang seketika itu juga dibungkam oleh tangan kekar Alga. “ Elsya?” Malvin mencoba memastikan. “ Mulut lo asli ember banget.” Alga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dinda melepaskan tangan Alga dengan kasar. “ Kualat lo sama kakak sendiri!” Ia berteriak kesal. Lalu menatap Malvin lagi. “ Jangan bilang siapa-siapa ya. Alga belum bisa move on dari dia. Pokoknya Elsya yang mungkin ada di perkiraan lo deh.” “ Kunci cadangannya tolong kasih ke gue lagi ya?” ancam Alga yang justru membuat Dinda tertawa. “ Baper banget adek gue. Pantesan susah move on.” “ Kak!” Satu hal lagi yang Malvin tau. Ada hubungan yang tidak ia mengerti di antara Alga dan Elsya. Pantas saja gelagat keduanya agak aneh. Jadi karena ada sesuatu, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD