Tak ayal memang Aksa merasa cemburu. Ia tahu Elsya gadis yang ceria, mudah berbaur dengan siapapun dan itu jelas membuatnya mudah disukai. Untuk mendapatkan Elsya saja ia butuh perjuangan panjang dan tidak mudah. Seceria apapun Elsya, ia tahu hati gadis itu masih tertutup rapat karena seseorang dan ia sendiri menyadari Elsya belum sepenuhnya menyukainya. Meski hubungan mereka sudah berjalan beberapa bulan sejak kelulusan gadis itu dari SMA. Aksa masih merasa Elsya tak senyaman itu bersamanya tapi ia tak juga bisa melepaskannya. Ia sangat menyukai Elsya. Jika dibilang cinta, entahlah. Ia tidak pernah tahu bedanya rasa suka dan cinta. Baginya, ia hanya ingin memiliki Elsya... tak ingin dia dimiliki oleh orang lain.
Banyak hal yang Aksa lakukan demi menaklukan hati Elsya. Tapi ternyata tak semudah itu. Elsya tidak seperti kebanyakan gadis di luar sana yang digoda dengan ketampanan, harta dan status bisa mudah jatuh ketangannya.
Tidak.
Elsya bukan w**************n.
Tepatnya Elsya sudah memiliki semuanya. Kehidupan gadis itu nyaris sempurna sampai rasanya dia tak butuh apapun lagi di dunia ini. Dia memiliki keluarga yang harmonis, kedua orang tua yang terkenal, keluarganya kaya, rumahnya mewah, cabang kafe yang ayahnya miliki banyak... sampai gadis itu mungkin tak membutuhkan apapun lagi. Kecuali pria yang bisa mencintainya. Sayangnya meski Aksa termasuk dalam hal itu, tapi sebenarnya bukan ia yang diinginkan oleh Elsya.
Bukan tidak tahu, Aksa jelas tahu siapa pria yang diinginkan oleh Elsya. Cinta pertama gadis itu yang mungkin masih ada di hatinya sampai saat ini. Atau memang Elsya tak berniat melupakan cinta pertamanya? Harusnya Aksa marah. Tapi ketika Elsya menerimanya saat itu, ia terlalu bahagia dan mencoba untuk memberikan gadis itu waktu, hingga hatinya bisa terbuka untuknya.
Walau entah sampai kapan.
“ Kita mau kemana, kak?” tanya Elsya yang daritadi sibuk dengan ponselnya dan Aksa fokus menyetir mobilnya. Gadis itu baru menyadari jika ia sepertinya sedang berada di pusat kota.
“ Mau ngajak kamu makan nasi goreng kambing di kebon sirih. Katanya waktu itu mau coba?”
Elsya seketika terkejut sekaligus senang. “ Bener kita mau ke sana?”
Aksa mengangguk seraya tersenyum karena berhasil membuat Elsya terlihat begitu senang di sampingnya. “ Iya. Kan kamu pengen, ya udah kita ke sana. Semoga aja nggak ngantri banget.”
“ Nggak sabar mau coba.” Lagi. Gadis itu sedikit tersenyum getir. Sebelum akhirnya mobil Aksa diparkirkan di sebuah lahan parkir umum dan mereka berjalan kaki menuju tempat penjual nasi gorengnya.
Beruntung hanya ada sedikit antrian dan mereka bisa makan di sana juga. Jadilah Elsya semakin tak sabar bernostalgia mencoba nasi goreng kambing ini lagi. Ya, ini bukan pertama kalinya ia ke sini. Ia pernah ke sini, hampir dua tahun yang lalu. Ketika hubungannya dengan Alga masih baik. Saat itu Alga yang pertama kali mengajaknya ke sini dan yang ia tahu hanya Alga tak lagi tinggal bersama keluarganya. Lalu perlahan dia justru menjauh darinya.
Satu piring nasi goreng sudah terhidang di depan Elsya berikut dengan satu gelas teh manis hangat. Ia pun mulai melahapnya, rasanya masih sama seperti saat dulu ia mencobanya dengan Alga. Tapi ketika gadis itu menoleh ke sampingnya, jelas bukan pria yang sama. Elsya merasa sesak membayangkan ia sendiri lupa, kapan terakhir kali Alga masih terus makan di sampingnya.
Dia benar-benar berubah.
“ Enak ya ternyata. Harganya juga standar. Menurut kamu gimana?”
“ Enak.” Elsya mengangguk. Ia jadi merasa bersalah pada Aksa karena mengajak pria itu ke sini, padahal ia sendiri sedang mengenang bagaimana masa-masanya bersama Alga dulu. Menyusuri tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama pria itu. Walau nyatanya semua tempat yang ia datangi justru mendatangkan kembali kenangan bersama Alga.
“ Kamu nggak suka acarnya?” tanya Aksa saat melihat acar di piring Elsya masih utuh. Sama sepertinya. “ Sama kayak aku, aku juga nggak suka acar. Nggak tau kenapa rasanya aneh. Asem-asem gitu.”
Gue suka acar sebenernya, tapi gue nggak suka bawang merahnya. Dulu, Alga selalu mengambil jatah acar bawang merah dari piring gue. Lagi-lagi Elsya teringat akan masa lalunya.
“ Nanti lo bau loh makan bawang mentang gitu,” ledek Elsya kala itu.
“ Tinggal pake parfum. Lagian gue rajin mandi. Gue keringetan juga lo demen-demen aja nempel,” balas Alga tak mau kalah.
Kala itu Elsya berdecih sebal tapi tak juga mengelak. “ Sering-sering deh ngambil jatah acar bawang merah sama bawang goreng punya gue. Soalnya gue nggak suka. Kalo nggak ada lo, pasti bakal kebuang deh.”
“ Mubazir lo. Temennya setan berarti.”
“ Iya. Lo kan setan.”
“ Pinter ya anaknya seleb mah.”
“ s****n!”
Alga paling tau jika Elsya tak suka jika sudah membahas karir ayahnya atau terlalu membangga-banggakan ayahnya. Ia ingin dipuji karena memang dirinya sendiri, karena kemampuannya. Bukan karena siapa ayahnya, atau siapa orang tua serta siapa keluarga besarnya. Ia ingin berdiri di atas kakinya sendiri.
“ Udah selesai?” pertanyaan Aksa mengalihkan Elsya dari lamunan masa lalunya.
Elsya langsung mengangguk. Sayangnya kali ini ia benar-benar mubazir karena tak menghabiskan nasi gorengnya. Terlalu banyak kenangan di tempat ini sampai ia tidak bisa fokus pada makanannya sendiri. Padahal ia yang minta makan di sini. “ Maaf ya tadi aku nggak abisin makanannya,” ucapnya pada Aksa ketika mereka kembali jalan kaki menuju parkiran mobil.
“ Nggak apa-apa. Porsinya emang banyak kok. Wajar kalau kamu nggak habis. Mau jalan-jalan dulu sambil nunggu makanan turun?” tanya Aksa yang tak mau waktu kebersamaannya bersama Elsya cepat berlalu.
“ Oke.” Elsya setuju. Tangannya kini terasa hangat karena genggaman dari pria di sampingnya. Jujur, genggaman tangan Aksa memang hangat... tapi tak bisa membuatnya berdebar seperti genggaman tangan Alga. Gadis itu justru sibuk memperhatikan sekitarnya, terutama ke halte bus tempatnya turun bersama Alga jika ingin makan nasi goreng di sini.
“ Naik taksi lebih enak. Nggak capek lagi jalan kaki ke tukang nasi gorengnya.” Elsya mengeluh karena berjalan terlalu jauh dari halte bus hanya untuk sekedar menikmati nasi goreng yang katanya fenomenal itu.
“ Naik transjakarta lebih seru. Lo tuh harus membiasakan diri naik kendaraan umum. Di Jepang aja orang-orang lebih suka naik kendaraan umum biar nggak kena macet.”
“ Ini kita naik kendaraan umum juga kena macet.”
“ Itulah uniknya Jakarta.” Alga mengedipkan sebelah matanya. Kedipan yang sampai saat ini membuat Elsya susah bernafas.
“ Aku mau pulang sekarang aja, kak.” Elsya tak sanggup lagi. tak mungkin ia menangis di sini, di samping pria yang menjadi kekasihnya. Menangisi pria dari masa lalunya bersama kekasihnya, betapa tidak tau dirinya ini. “ Ngantuk.”
Aksa mengangguk. “ Oke. Kita pulang sekarang ya.” Ia tentu saja menuruti permintaan Elsya. Tak lama kemudian mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil lagi, melaju menuju rumah Elsya.
Sekitar satu jam kemudian barulah mereka sampai. Elsya pun bersiap untuk turun dari mobil Aksa tapi tiba-tiba saja ponselnya jatuh ke kolong mobil. Gadis itu pun berusaha mengambilnya, tapi ada satu kotak yang tak sengaja tersentuh olehnya saat ia mengambil ponselnya. “ Ini punya siapa?” Ia mengacungkan bungkus rokok berwarna putih ke arah Aksa. Setahunya Aksa bukan perokok dan katanya dia benci sekali dengan asap rokok.
Sepintas Aksa agak terkejut tapi kemudian pria itu menggelengkan kepalanya. “ Bukan punya aku. Kayaknya itu punya bokap deh ketinggalan. Kebetulan kemarin mobil ini dipake bokap.”
“ Oh. Ya udah nih kasih ayah kakak,” ucap Elsya menyodorkan kotak rokok itu pada kekasihnya.
“ Thank you. Selamat tidur ya.”
Elsya hanya mengangguk. Ia kemudian turun dari mobil Aksa dan tak lama mobil itu melaju pergi. Gadis itu menghela nafas panjang. Padahal hanya beberapa jam bersama pria itu, kenapa rasanya sangat melelahkan? Dan kenapa ia tak bisa berhenti membandingkan kebersamaannya dengan Alga dan Aksa. Padahal jelas kedua pria itu berbeda. Ia pun mungkin tak suka jika Aksa membandingkannya dengan wanita lain.
“ Pacaran mulu lo. Dikawinin juga nanti sama Om Tantan.” Suara Brian nyaris membuat Elsya melompat karena terkejut. Sementara sepupu paling menyebalkan itu justru cengar-cengir duduk di gazebo rumahnya dengan kedua telinga tertutup oleh airpods.
“ Lo nggak punya rumah ya?”
Brian dengan santai menunjuk rumah tepat di sebelah rumah Elsya. “ Ada di sebelah kok. Tapi bete gue di rumah. Nyokap gue cerewetnya ngalahin kereta api.”
“ Gue laporin loh!” balas Elsya dengan tatapan tajamnya.
Brian malah mengedikkan bahunya. “ Bikinin gue mi rebus dong, pake telor setengah mateng ya.”
“ What the... “
“ Anggap aja sebagai uang tutup mulut biar gue nggak bilang kalau lo masih sering ngeliatin Alga di kampus,” potong Brian dengan entengnya.
“ Hah? Siapa?”
“ Elo lah.” Brian pun beranjak dari tempatnya, menghampiri Elsya dan menyentil kening gadis itu. “ Lo pikir kita kenal baru sehari dua hari? Gue kenal elo dari masih orok... jelas gue kenal banget lah sama lo.”
Elsya berdecih kesal.
“ Jangan lupa pake cabe rawit ya. Gue tunggu loh di deket kolam.”
“ Sepupu s****n. Suka banget memanfaatkan kerapuhan hati gue.”