“ Karena ini adalah hari pertama, jadi kita tidak akan menggunakan tema apapun. Kalian bisa mulai melukis apapun yang kalian suka. Nantinya kami akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok berdasarkan hasil lukisan kalian,” ucap Katrina yang mulai memberi araha pada para juniornya.
UKM seni lukis memiliki lima belas anggota dan kebanyakan perempuan. Hanya Alga dan satu orang lagi bernama Malvin yang anggota laki-laki. Setahu Alga, pria itu berasal dari jurusan bisnis, bahkan dia satu-satunya yang dari jurusan itu di UKM ini. Entah apa yang membuatnya sampai jauh-jauh ikut UKM yang bidangnya sangat jauh dengan kuliahnya.
Setelah diarahkan oleh seniornya dan diberikan beberapa peralatan melukis, Elsya mulai berpikir kira-kira apa yang akan ia lukis hari ini. “ Melukis yang aku sukai?” tanyanya pada dirinya sendiri, lalu seketika matanya terarah pada Alga yang tampak hanya menatap canvas kosong di depannya. Lalu tak lama kemudian pria itu memulainya, terlihat begitu lihai. Ia pun berdecih. “ Dia kan emang pinter ngelukis dari dulu, jadi pasti nggak akan sulit.” Ia pun akhirnya hanya melukis bunga saja karena memang tak terpikirkan apapun di dalam kepalanya. Tidak mungkin kan jika ia melukis wajah Alga?
Begitu kegiatan hari pertama UKM selesai, Elsya bersiap untuk pergi. Gadis itu membereskan barang-barangnya ketika satu persatu anggota lain sudah mulai keluar dari ruangan. Menyisakan dirinya dan Alga yang terlihat hanya duduk di kursinya. Gadis itu seketika menghela nafas lalu beranjak untuk pergi juga. Tapi begitu melewati kursi tempat Alga duduk, pria itu meraih lengannya dan membuat langkahnya terhenti.
“ Kenapa?” tanya Elsya yang enggan berbicara dengan pria itu. Setiap berbicara dengan Alga, hanya kata-kata menyakitkan yang pria itu berikan padanya. Seolah mereka adalah musuh bebuyutan, seolah perasaan yang dulu di antara mereka tidak pernah ada, seolah kenangan indah yang pernah mereka lalui hanyalah hal yang tidak penting untuk diingat.
“ Lo ngikutin gue kan ikut seni lukis?” ucap Alga dengan penuh curiga. “ Jangan jadi penguntit.”
Elsya membelalakkan matanya, tak terima dengan ucapan pria itu. Meski Alga mengucapkannya dengan suara pelan, tapi rasanya menusuk sekali. Bagaimana bisa dia berpikir dirinya menjadi penguntit? Elsya tertawa keras, tawa yang dibuat-buat. “ Gue jadi penguntit?” Ia menunjuk dirinya sendiri. Lalu kemudian menggelengkan kepalanya. “ Nggak kok. Buat apa gue jadi penguntit kalau takdir aja sepertinya enggan memisahkan kita.” Ia mengedikkan bahunya sebelum meninggalkan Alga dengan senyuman puas.
Alga hanya terdiam di tempatnya, menatap tubuh Elsya yang semakin menjauh. “ Dia gila ya?”
Elsya hanya senyam senyum ketika meninggalkan Alga yang pasti berpikir jika ia ini gila. Ya, anggap saja begitu. Dengan begitu ia bisa melakukan apapun yang ia inginkan.
Sampai rasanya Elsya lupa, ada seseorang yang selalu berada di sampingnya dan selalu mencintainya.
Aksa.
“ Kamu baru selesai?” Suara Aksa mengagetkan Elsya yang baru saja menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
“ Kak Aksa? Ngagetin aja ih.” Elsya memegangi dadanya karena kaget.
Aksa tersenyum melihat ekspresi pacarnya itu. “ Mikirin apa sih sampe melamun segala?”
“ Eh, itu... “ Tidak mungkin Elsya mengaku sedang memikirkan pria lain di depan pacarnya sendiri. Aksa terlalu baik untuknya dan bisa-bisanya ia malah memikirkan cinta pertamanya yang kandas bahkan sebelum mereka memulai. “ Kita makan ramen yuk! Katanya di resto deket sini ada ramen enak.”
Aksa menaikkan sebelah alisnya. Tapi kemudian dia mengangguk mengiyakan. “ Laper banget ya abis ikut UKM?”
Elsya mengangguk cepat. Lebih tepatnya ia lapar karena baru menghadapi pria seperti Alga. Adrenalinnya terpacu hebat sehingga energi tubuhnya jadi cepat habis. Memang hanya Alga yang bisa membuatnya seperti ini. “ Kamu emang nggak ada kuliah? Kok suka banget main ke kampus orang sih.”
Mendengar ucapan pacarnya membuat Aksa terkekeh geli. “ Ya mau gimana lagi. Pacar aku malah kuliah di sini, jadi ya mau nggak mau aku harus ke sini terus biar dia nggak diambil orang.”
Elsya berdecih mendengar ucapan Aksa. “ Lebay deh. Siapa juga yang mau ngambil cewek yang doyan makan kayak aku.” Ia menertawai dirinya sendiri.
Begitu keluar dari ruangannya dan berjalan di koridor kampus, Alga melihat keluar jendela. Pria itu melihat Elsya yang sedang berjalan bersama Aksa, dengan tangan Aksa yang merangkulnya. Rasa sesak itu kembali ia rasakan, mengetahui jika Elsya bukanlah miliknya tapi milik pria lain. Tapi kenapa sikap Elsya masih sama seperti dulu? Bahkan setelah ia menyakitinya berkali-kali.
“ Astaga! Lo ngagetin gue!” Alga nyaris melompat ketika melihat Malvin sedang duduk di koridor dan menatap ke arahnya. “ Ngapain lo malah di situ?”
Malvin menatap Alga dengan wajah serius, seolah sedang memikirkan sesuatu. “ Kita satu agensi, kan?”
Pertanyaan Malvin membuat Alga semakin keras berpikir. “ Satu agensi?”
Malvin seketika berdecak dan merajuk. “ Iyalah lo nggak kenal gue. Lo sama gue bagaikan langit dan bumi. Lo bisa terkenal dengan mudah tapi gue... hanya serpihan debu yang nggak terlihat.”
“ Serius, lo juga satu agensi di bawah Matius?”
“ Iya. Gue yang waktu itu ngasih minuman ke lo tapi lo lagi sibuk ngobrol sama Matius, jadi ya elo nggak lihat gue.”
Kali ini Alga mengangguk-angguk mengerti. “ Oh. Sorry. Gue ngga terlalu inget muka orang soalnya. Jangan tersinggung loh.”
Malvin berdecak pelan. Lalu beranjak dari tempatnya. “ Udah biasa. Gue kira orang seterkenal elo nggak butuh kuliah lagi. Duit lo udah nggak berseri kan?”
Lagi-lagi ucapan Malvin membuat Alga heran, tapi kali ini pria itu tertawa. “ Justru kalau banyak uang harusnya berinvestasi dengan baik, menuntut ilmu kan termasuk investasi. Lagipula memang cita-cita gue jadi arsitek, bukan model apalagi seleb.” Ia mengedikkan bahunya.
“ Tapi kan enak jadi seleb. Apalagi kalau udah terkenal, pasti banjir tawaran pekerjaan tanpa lo sibu daftar sana sini kayak gue. Itupun belum tentu lolos.” Malvin terlihat putus asa. Padahal dari yang Alga lihat, wajahnya pun tampan dan ia yakin dia bisa menjadi model yang terkenal. Hanya sepertinya sifat pesimis Malvin harus dihilangkan.
“ Percaya deh, jadi terkenal itu capek.” Alga merangkul bahu Malvin, berusaha menyemangatinya. “ Tapi serius, kita satu agensi?”
“ Perlu gue tunjukin kartunya?” balas Malvin dengan wajah tersinggung.
“ Nggak deh, gue percaya.”
“ Ajarin gue biar jadi terkenal dong,” ucap Malvin terdengar putus asa. “ Gue udah gabung dari kelas satu SMA tapi nggak ada perkembangan. Kata Matius gue nggak berbakat.”
Alga menggeleng-gelengkan kepalanya. Terkadang asisten manager agensinya itu memang mengatakan kata-kata yang pedas tanpa memikirkan perasaan orang yang mendengarnya. “ Kalau lo mau jadi terkenal, selain lo harus berbakat... lo juga harus ganteng,” ucapnya dengan penuh percaya diri.
Malvin mendelik tajam. “ Gue kurang ganteng kali ya?”
Kali ini Alga langsung tertawa. Kenapa Malvin sangat polos begini? “ Udahlah. Kalau emang kita satu agensi, bukannya hari ini ada meeting untuk proyek baru?”
“ Justru itu gue nunggu lo. Biar bisa ke sana bareng.” Malvin tertawa.
Alga mengangguk-angguk mengerti. “ Jadi emang ada maunya. Ya susah sih emang, jaman sekarang semua yang ngedeketin gue pasti ada maunya.”
“ Jangan tersinggung loh.” Malvin tak merasa bersalah sama sekali. “ Tapi emang bener. Siapa tahu gue jadi bisa ikut tenar kalo temenan sama lo.”
“ Jangan terlalu jujur ya, sakit hati gue nih kalo tau lagi dimanfaatkan.”
***
“ Kenapa dia di situ sih?” Elsya mengutuk dirinya yang hari ini minta makan ramen, tapi justru di tempat ini ia bertemu lagi dengan Alga. Ada apa sebenarnya dengan hari-harinya yang mendadak selalu dipertemukan oleh pria itu? Setelah beberapa bulan tak melihatnya, kini takdir seolah mempermainkannya dengan membuatnya melihat pria itu hampir setiap hari. Apa karena ia pernah berdoa ingin bertemu dan melihat Alga lagi? Meski hanya melihatnya dari jauh.
“ Kenapa? Ada siapa emang?” tanya Aksa yang jadi penasaran. Apalagi Elsya langsung menutupi wajahnya dengan buku menu. Ia mengikuti kemana arah tatapan pacarnya itu, yang ternyata mengarah pada sosok pria bertubuh tinggi yang wajahnya tak asing.
Selain karena Alga adalah selebgram dan model yang sering dibicarakan akhir-akhir ini, Aksa juga mengetahui bagaimana masa lalu pria itu dengan kekasihnya. Ia mengetahuinya dari orang-orang yang membicarakan mereka di sekolah dan tentu saja dari Brian juga.
“ Jangan lihat ke sana ih!” Elsya menarik tangan Aksa agar tidak menunjukkan secara terang-terangan jika sedang melihat ke arah Alga. Tapi terlambat, Alga justru sudah menyadarinya. Pria itu kembali menaikkan alisnya seolah keheranan karena pertemuan tak sengaja mereka terjadi begitu sering. “ Apa kita cari tempat makan lain aja?” tanyanya pasrah.
“ Nggak usah. Kan kamu mau makan ramen, kenapa kita harus pergi?”
“ Iya sih.”
“ Kisah kalian kan sudah berakhir, seharusnya udah nggak ada apa-apa lagi, kan? Seharusnya kamu tidak perlu bersikap tidak nyaman begini,” ucap Aksa menasehati.
Mendengar ucapan Aksa seketika itu juga menyadarkan Elsya. Ia tidak seharusnya bersikap berlebihan begini. “ Iya juga ya. Ya udah pesen makanannya yuk.” Ia berusaha sekuat mungkin untuk mengabaikan keberadaan Alga, meski sangat ingin menatap pria itu lagi.
Aksa jelas menyadari jika memang Elsya tak pernah benar-benar menyukainya ataupun serius dengan hubungan mereka. Sebagai seorang pria, Aksa mengetahui mana wanita yang benar-benar mencintainya atau mana wanita yang bahkan tak memiliki perasaan apapun padanya. Tapi entah kenapa, ia tak bisa melepaskan Elsya. Ia begitu menyukai Elsya sampai tak mampu jika harus kehilangannya.
Melihat keberadaan Elsya di sini semakin membuat mood Alga jelek. Bukan karena ia tak menyukai gadis itu lagi, melainkan karena hatinya semakin digoyahkan akan kerinduan yang selama ini ia pendam begitu lama. Melihat Elsya yang kini terus berada di sekelilingnya jelas sangat menyiksanya. Ia nyaris tak bisa menahan diri, ingin sekali menarik gadis itu jauh-jauh dari Aksa dan memeluknya. Hal yang seharusnya ia lakukan sejak dulu tapi sampai saat ini ia tidak pernah mampu melakukannya. Karena Alga menyadari, jika ia menarik Elsya ke dalam pelukannya, ia takut akan melukai gadis itu. Ia begitu takut jika Elsya tak bisa menerima masa lalunya dan justru akan membencinya.