"Kenapa kau lakukan ini padaku, Michael? Apa salahku?" Naira hanya bisa pasrah berada dalam rengkuhan Michael. Kekuatan dalam diri seakan lenyap, yang dilakukannya pun hanya bisa menangis memukul d**a pria itu tanpa tenaga.
"Jangan menangis Naira. Akan kujelaskan semuanya padamu. Aku ini bukan orang jahat, Naira, percayalah." Michael merengkuh tubuh gadis itu dalam pelukan erat. Bersuara selembut mungkin mencoba meyakinkan Naira bahwa dirinya bukan pria seperti yang dibayangkan wanita itu.
"Aku menyukaimu, Naira," tutur Michael. "Kau wanita yang mandiri, terlepas dari bagaimana hidup yang kau jalani selama ini, kau selalu membuatku kagum. Semakin aku menyelidiki hidupmu, aku semakin jatuh cinta. Itulah kenapa aku melakukan ini. Aku tak rela jika manusia abnormal itu menyentuhmu." Michael mengelus punggung Naira lembut.
Sementara mendengar perkataan Michael membuat seluruh jiwa Naira serasa hancur. Bagaimana mungkin orang yang begitu dipercayai Jack malah mengkhianatinya sedemikian rupa.
"Seperti yang kau lihat, bahkan saat malam pertama, si aneh itu malah meninggalkanmu dan memilih tidur di kamar yang berbeda. Tak mengizinkamu masuk ke kamar itu. Lalu bagaimana dia akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Sementara keluarga mereka mengharapkan keturunan darinya. Pernikahan ini tidak boleh gagal, Naira. Kau harus hamil."
"Tapi bukan begini caranya, Michael! Bukankah kau bilang aku hanya harus menikah dengannya selama setahun, urusan keturunan terserah apa kami akan memilikinya atau tidak. Itu yang kau katakan, dan sampai sekarang aku mengingat semua itu dengan baik." Naira melepas pelukan Michael, menatap tajam pada pria itu. "Jangan katakan ini semua sudah jadi rencanamu! Kau menjebakku! Menjebak kami berdua!"
"Haah ...." Helaan napas Michael terdengar berat. Menyugar rambut ke belakang, ia memegang pundak Naira. "Dengarkan aku Naira. Jika tak seperti ini, bagaimana caramu merubah hidup?"
Michael menatap Naira mencoba meyakinkannya. "Naira, apa kau tak bisa berpikir dengan jernih, hah? Lihat Aset ini dan juga harta warisan yang akan dihibahkan pada suamimu, pada putramu. Kau akan memiliki segalanya setelah Jack mati."
"Ap-apa maksudmu?" Naira menatap ragu pada Michael. Tak ingin terjebak pada pemikiran yang kini sedang menjebaknya. "Kau ... tak bermaksud membunuh Jack, 'kan?"
"Bagus sekali. Aku suka pemikiranmu." Michael tersenyum. Tangannya dengan lancang menangkup wajah Naira yang mulai basah dengan air mata. "Kita akan bersama, bahagia dengan seluruh harta ini setelah Jack menyingkir dari hidupmu. Kau akan melahirkan anakku, tapi Jack yang akan mengakuinya sebagai anak. Akan kubuat kau tidur dengannya agar dia merasa kalau anak itu adalah anaknya. Tapi tenang saja, kau tak akan pernah bercinta dengan pria aneh itu. Sebab kau hanya akan menjadi kekasihku. Setelah seluruh harta warisannya jatuh ke tangan anak kita, maka kita pun akan segera meresmikan pernikahan." Michael menjelaskan rencanya secara panjang lebar.
"Kau gila," desis Naira tak percaya. "Bagaimana bisa kau melibatkanku dengan konspirasi segila ini. Aku bukan pembunuh, Michael, dan aku tak mau menjadi seorang pembunuh. Ini dosa Michael." Naira menepis tangan Michael, ia beringsut turun dari ranjang.
"Mau ke mana kau?"
"Akan kukatakan semua ini pada Jack juga Jimin. Kau pria jahat, kau b******n!"
Mendengar perkataan Naira, Michael menggeram marah. Segera ia menyusul wanita itu menariknya dan membenturkannya di daun pintu. "Jangan coba-coba, Sayang. Kau belum tahu siapa diriku. Ingatlah nyawa ibu dan adikmu ada di tanganku."
"Apa ...? Apa yang kau lakukan pada keluargaku?" Air mata kembali jatuh membasahi wajah wanita itu.
"Selama kau mengikuti apa yang aku katakan maka semua akan baik-baik saja. Tapi sekali saja kau mengkhianatiku, maka bersiaplah menghadiri pemakaman mereka." Michael menepuk-nepuk pipi Naira.
"b******n ...," geram wanita itu. Namun, tak berdaya pada keadaan.
Michael mendekatkan wajah, mencium kening wanita itu. Barulah mendorongnya dengan kasar, hingga Naira tersungkur terduduk di lantai. "Hapus jejak air matamu, berdandanlah yang cantik, hari ini kita akan jalan-jalan bersama suamimu yang aneh itu," ucap Michael lalu menghilang di balik pintu meninggalkan Naira yang mulai menangis.
Ia meringkuk di atas lantai membiarkan derai air mata terus mengalir membasahi pipi. Tubuhnya gemetar. Rasanya sakit sekali terjebak dalam keadaan di mana ia tak bisa melakukan apa pun, sedangkan kejahatan tepat ada di depan matanya. Naira pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
***
Jack bergerak gelisah di lantai bawah. Ia menunggu Naira yang tak kunjung keluar dari kamar, padahal Michael mengatakan kalau Naira sedang bersiap-siap. Sesekali pria itu menoleh ke lantai dua. Ingin rasanya meninggalkan Naira untuk pergi berdua saja dengan Michael, tetapi pelayan kepercayaannya terus mengatakan kalau ia harus pergi dengan Naira karena wanita itu kini sudah menjadi istrinya.
Setelah menunggu cukup lama, Naira pun keluar dari kamarnya. Mengenakan pakaian casual dengan rambut dibiarkan tergerai. Kaki jenjangnya yang putih mulus terekspose sempurna berbalut hotpants hitam. Sementara bagian atas ia mengenakan t-shirt lengan panjang motif garis hitam putih dengan belahan d**a rendah.
"Kau cantik sekali," puji Michael memerhatikan wajah cantik sang wanita yang semakin mempesona dengan sapuan make-up naturalnya. "Nyonya cantik sekali, benar, 'kan, Tuan Jack?"
"I-iya, can-cantik," jawab Jack gugup. Pikirannya merotasi bagaimana Naira merayunya tadi yang sontak membuat dadanya kembali berdebar, suhu tubuhnya memanas, hingga tanpa izin Jack meninggalkan Naira dan Michael begitu saja. Dengan kubik di tangan Jack terus melangkah menuju mobilnya.
"Naira, kau belum makan, 'kan?" Michael menyusul langkah kaki wanita itu saat Naira memutuskan untuk mengikuti Jack.
"Aku tak lapar," ketus Naira. Namun, Michael menarik tangannya. Menyeret ke arah dapur. "Makan dulu, jangan membantahku."
"Ck, lepaskan aku!" hardik Naira menghempaskan pegangan tangan Michael. Pria itu pun terkekeh.
"Aku sudah siapkan ini untukmu. Jadi makanlah cepat, baru kita berangkat."
"Tapi Jack sudah menunggu di mobil, aku tak mau dia marah."
"Tak akan ada yang marah, heum ...," tutur Michael lembut, mengusap rambut Naira. "Selama kau percaya padaku, tak akan pernah ada masalah antara kau dan Jack. Sekarang kau makan, aku akan menemui Jack di mobil." Michael mendekatkan wajah ingin mencium Naira, tetapi wanita itu langsung memalingkan diri, hingga yang didapatkan Michael pun hanya ruang kosong.
Bukannya marah, pria itu malah tersenyum. Mengusap rambut Naira sekali lagi, baru kemudian pergi meninggalkannya. "Makan yang banyak, aku ingin kamu sehat untuk bisa melanjutkan malam-malam indah kita nanti," bisik Michael sebelum benar-benar pergi.
Nafsu makan Naira berubah lenyap. Ia menyendok makanannya dengan tanpa minat. Kalau saja tak ingat ia harus makan agar maagnya tak kambuh, ingin rasanya Naira meninggalkan makanan itu. Naira memasukkan sesuap nasi goreng bikinan Bi Darsi, tanpa sadar air mata malah jatuh membasahi pipinya. Segera Naira mengapusnya. Semua tak akan mudah baginya. Ini semua terlalu menyakitkan.
Setelah menghabiskan sarapan Naira pun menyusul dua pria tadi, masuk ke dalam mobil. Bersama Jack, ia duduk di belakang. Sementara Michael duduk di belakang setir kemudi terus mengawasi gerak-geriknya lewat kaca spion.
"Jack, kita mau ke mana?" tanya Naira mengalihkan rasa kesal yang terus membayangi pikirannya.
Jack tak menoleh sama sekali. Yang dilakukannya hanya sibuk memainkan kubik seperti biasa.
"Kita akan jalan-jalan ke Ancol. Tuan dan Nyonya Venien tadi menelepon memintaku mengantar kalian untuk jalan-jalan, juga mempersiapkan bulan madu kalian." Karena Jack hanya diam, maka jawaban yang ingin didengar Naira pun keluar dari bibir Michael. "Oh ya, kalau boleh tau kau ingin liburan ke mana, Nyonya?" tanya Michael sembari melirik Naira dari kaca spion.
Naira menghela napas, membuang muka ke arah luar. "Terserah kau saja, bukankah yang ditugaskan untuk mengaturnya itu kau sendiri."
Michael tersenyum, sedangkan Jack melirik sekilas pada Naira. Ada senyum samar tersemat di sudut bibirnya. "Aku ingin ke Raja Ampat." Suara Jack yang tiba-tiba membuat Naira menoleh.
"Raja Ampat?"
"I-iya," sahut Jack kembali gugup. Ia ingat pernah membaca tentang Raja Ampat di suatu tempat. Karena itulah ia mengusulkan tempat itu sebagai tujuan bulan madu.
"Tapi itu jauh sekali, Jack." Naira menoleh memandang suaminya yang memainkan kubik, menyusun urutan warna di keenam sisi bidangnya.
"Semakin jauh lebih semakin baik menurutku," sahut Michael bergabung dalam perbincangan mereka.
"Awalnya aku bahkan ingin mengantar kalian ke Paris, Roma, atau Swiss. Tapi kita lihat pilihan Tuan Jack saja. Jika dia ingin ke Raja Ampat akan kupesankan penginapan di sana. Atau bagaimana dengan kapal wisata. Itu pasti akan sangat menyenangkan, benar, 'kan, Nyonya Naira. Menghabiskan malam di atas perahu motor di bawah sinar rembulan, pasti sangat indah." Michael mengerlingkan matanya pada Naira.
Wanita itu mendesis kesal. Ia mengepalkan kedua tangannya menahan kebencian yang meletup-letup dalam dadanya. Pikirannya berusaha mencari jalan keluar agar ia hanya pergi berdua dengan Jack. Akan tetapi, itu pasti sulit dilakukan karena Jack sangat bergantung pada Michael.
Desahan napas berat terdengar dari arah Naira. Sesaat kemudian ia merebahkan dirinya bersandar pada Jack yang selalu mengabaikannya. Jack melirik sekilas. Lalu memainkan kubiknya kembali.
"Ka-kau lelah?" tanya pria itu mencoba perhatian.
"Iya, sangat. Lupakan acara ke Ancol, bagaimana kalau kita pergi ke Bogor, heum? Ke Puncak Bogor. Pasti akan menyenangkan menghirup udara segar di sana sambil memakan jagung bakar."
"Ka-kau mau ke sana?" tanya Jack lagi. Naira pun hanya mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Kau de-dengar itu, Michael. Ki-kita pergi ke Bogor. Naira ingin menginap di sana."
"Baik, Tuan," sahut Michael patuh. Kini mobil pun melaju ke arah puncak.
Naira masih diam, memutuskan untuk tetap bersandar di bahu Jack selama mungkin. Mungkin karena terlalu lelah menangis sepanjang pagi tadi. Netranya yang masih terasa bengkak pun tertutup sempurna. Ia terlelap dalam mimpi indah.
Jack yang menyadari istrinya tertidur pulas pun menuntun wanitanya tidur di pangkuan. Memberanikan diri untuk merapikan rambut sang istri, pria itu tersenyum manis.
"Nyonya, sangat cantik, 'kan, Tuan." Suara Michael membuat Jack tersenyum makin lebar.
"Sangat," sahut Jack, menurunkan wajahnya mencium kening wanitanya dengan hangat.