"Tony, bagaimana kabar sekolahmu?" Sang mama menatap putranya yang baru saja meletakkan tas sekolah di atas sofa.
Ruang rawat VIP itu terasa sangat nyaman bagi mereka berdua. Bahkan lebih nyaman dari rumah mereka yang dulu. Segala fasilitas mewah yang tak mereka miliki di rumah ada di sana. Udara pun selalu senjuk karena pendingin ruangan yang terpasng di dinding.
"Baik, Bu," jawab Tony tanpa melihat ibunya. Meski tak separah Jack, nyatanya Tony juga tak bisa berinteraksi jika harus menatap lawan bicaranya.
"Apa ada hal menarik yang ingin kau ceritakan?" tanya sang ibu kembali. Tony pun menggeleng. Selembar kertas ia keluarkan dari tas sebelum menunjukkannya pada sang ibu.
"Ini undangan untuk datang ke sekolah seni lukis di Bali. Hebat sekali. Kapan kau mendapatkannya?"
"Tadi kepala sekolah memanggilku dan memberikan ini."
Sang bunda meraih tangan putranya. Menepuk jemarinya dengan lembut. "Apa kau ingin ke sana, Nak?"
Tony melirik sekilas lalu memalingkan wajah. Bundanya pun tersenyum penuh kasih.
"Ibu tahu kau sangat menginginkannya. Pergilah, ibu merestuimu. Yang terpenting kau harus berjanji kalau kau akan selalu menjaga diri dengan baik."
Awalnya Tony sedikit ragu dengan keputusannya menunjukkan kertas itu pada ibunya. Namun, melihat reaksi sang bunda yang begitu baik, Tony pun mengangguk bahagia.
"Ak-ku bisa, Ibu. Tapi Ibu bagaimana?"
Kembali sang mama tersenyum. "Jangan khawatirkan ibu, Nak. Setelah operasi ibu akan bisa berjalan lagi. Kakakmu pasti akan sangat bangga saat tahu kau mendapatkan undangan ini," tutur ibunya. Merangkai kata demi kata kebohongan untuk membesarkan hatinya.
Wanita beruban itu tahu betul apa yang terjadi. Undangan itu datang pasti karena putrinya sudah membayar semua biaya sekolah adiknya. Sekolah seni lukis yang sangat diidamkan Tony sejak dulu.
Sama seperti biaya rumah sakit di mana ia dirawat. Sang ibu yakin seratus persen jika ini semua berkaitan dengan kepergian Naira ke luar negeri. Wanita paruh baya itu hanya bisa berharap agar Naira tak mengambil jalan bodoh untuk mendapatkan semuanya. Tidak dengan menjual dirinya.
Sejenak diam Tony terdiam, memikirkan banyak hal sebelum mengambil sebuah keputusan. Teringat akan kakaknya yang pamit untuk pergi ke luar negeri juga membuatnya bingung. Terutama tentang orang yang akan menjaga ibunya selama masa perawatan.
Mengerti dengan apa yang mengganggu pikiran putranya, sang mama kembali menyentuh jemari tangan anak itu. "Di sini sudah banyak orang yang menjaga ibu. Ada dokter, juga suster yang baik hati yang merawat ibu setiap saat. Jadi kau persiapkan saja dirimu untuk keberangkatan itu."
"Baik, Bu," sahut Tony pada akhirnya.
"Kapan kau akan berangkat, apa ada hal-hal lain yang harus ibu tanda tangani?"
"Tidak, Bu. Kata kepala sekolah, pihak sekolah sudah mengirim semua file kepada Kak Naira. Kak Naira sudah menandatanganinya secara online sebagai wali."
Sang bunda tersenyum, meminta Tony untuk memeluknya. "Aku ingin kau berjuang untuk mimpimu. Jangan pikirkan keadaan ibu dan kakakmu, karena kami selalu ada untuk mendukungmu, Sayang. Kau sangat spesial dan sangat luar biasa. Ibu yakin kau akan berhasil di masa depan nanti."
Tony menitikkan air mata haru. Ia pun menceritakan kalau keberangkatanya diatur seminggu lagi. Rumah tinggal juga sudah disiapkan di sana. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan ibunya. Semua fasilitas selama tinggal di Bali telah diatur dengan baik. Ibu dan anak itu pun berusaha saling menguatkan satu dengan yang lain.
***
Jimin tersenyum di dalam balkon kamar. Memandang langit yang sedikit mendung, hingga bintang yang muncul bisa dihitung dengan jari.
"Naira," gumamnya pelan. "Rasanya tak sabar menanti esok tiba. Aku ingin lihat secantik apa dirimu dengan gaun itu."
Senyuman tak pernah hilang dari bibir manisnya. Besok ia akan menunjukkan pesonanya di depan Naira. Di tengah pesta topeng akan jadi hari paling bersejarah dalam hidupnya.
Lelah berdiri di balkon, Jimin pun masuk ke kamar. Merebahkan diri di atas ranjang seraya memerhatikan layar ponselnya. Ratusan foto Naira ada di sana. Foto-foto yang ia dapatkan dengan mencuri-curi pada setiap kesempatan yang ada. "Naira, buktikan padaku kalau kaulah sosok yang aku cari."
Puas menatapi raut cantik di layar ponselnya, Jimin pun memejamkan mata, membiarkan lelah membuatnya terbang melayang ke alam mimpi. Mimpi indahnya bersama Naira, istri Jack Venien.
***
Sedikit gelisah di dalam kamar, Naira berusaha meyakinkan diri kalau pintu kamarnya sudah terkunci. Begitu pula dengan jendelanya. Ia tak ingin kecolongan lagi.
Namun, kendati sudah merasa yakin Naira masih saja bergerak gelisah. Pikirannya tiba-tiba memunculkan bayangan Jack. Mungkinkah sekarang ia harus ke kamar Jack. Sepertinya tidur dengan Jack bisa menjadi satu-satunya pilihan yang paling aman. Apalagi, kini mereka sedang ada di puncak. Naira sungguh sangat ketakutan.
Sekali lagi Naira melepaskam gagang pintu yang sudah dipegangnya. Berpikir kembali untuk melangkah ke kamar yang ada di sebelahnya. Namun, pada akhirnya Naira memutuskan untuk pergi ke kamar itu jua.
Tiga kali ketukan pintu terdengar, tetapi Jack tak kunjung membuka pintu itu untuknya. Sementara hatinya semakin takut kalau tiba-tiba Michael datang memergokinya.
"Jack, ayolah kumohon buka pintunya," ratap Naira penuh harap. Sekali lagi mengetuk pintu kamar itu dengan sedikit lebih keras. Barulah setelah itu terlihat gagang pintu yang berputar. Penghuninya membuka pintu dari dalam.
"Ada ap ...?"
Tanpa menjawab pertanyaan Jack, Naira langsung memeluk tubuh suaminya. Badannya gemetar, seperti orang kedinginan. Ketakutannya pada Michael membuatnya jadi begitu tegang.
"Ka-kau tak apa-apa?" tanya Jack.
Naira pun mengangguk lemah. "Izinkan aku tidur di sini, Jack. Kumohon."
"Iya," sahut Jack, membiarkan Naira mengunci pintu. Mereka pun menuju peraduan dan merebahkan diri di sana.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Naira hati-hati saat melihat Jack memunggunginya. Pria itu mengangguk. Senyum Naira seketika mengembang. Dengan serta merta mengulurkan tangan untuk memeluk suaminya.
Malam ini menjadi malam pertamanya tidur seranjang dengan Jack. Ada harapan lain dalam diri Naira. Berharap semoga ikatan mereka bisa segera berubah. Ia akan berusaha mencintai suaminya dan Naira pun berharap Jack bisa mencintainya juga. Sampai suatu saat kontrak setahun itu bisa menjadi kontrak pernikahan seumur hidup untuk mereka.
Merasa nyaman berada di sisi suaminya, Naira pun memejamkan netranya terlelap dengan cepat menyambut mimpi yang menyapanya.
Pagi menjelang di Puncak Bogor. Semilir angin pegunungan menyapa sepasang insan yang terlelap saling berpelukan. Hawa dingin tak lantas mengusik ikatan mereka, tetapi lebih merapatkan pelukan mereka menciptakan kehangatan yang membuat keduanya enggan untuk bangun.
Naira mengerjap mata pelan. Sebuah tangan melingkar manis di atas perutnya. Sementara satu tangan lainnya menjadi bantal, terulur di bawah lehernya. "Jack ...," gumam wanita itu. "Kau sudah bangun?"
"Heum ...."
Sebuah jawaban terdengar dari belakangnya. Semua terasa hangat dan lembut, Jack seakan bukan pria autis yang dikenal Naira.
Kecurigaan tiba-tiba merayap di hati Naira. Takut kalau yang memeluknya sekarang bukan suaminya, Naira menoleh pelan. Senyum pun kembali tersemat di bibirnya. Jack yang memeluknya dari belakang tengah memejaman netranya. Begitu tenang dan damai.
Tangan Naira terulur gugup membingkai wajah itu. Ia belum pernah sedekat ini dengan suaminya. Namun sekarang sapuan napas hangat sang pemuda bisa dirasakannya menyentuh wajah. Bolehkan sekali saja ia berharap Jack menjadi sosok yang normal?
Netra Jack Venien masih terpejam merasakan sentuhan jemari Naira yang mengusap lembut pipi kanannya.
"Jack, bisakah kita pergi berbulan madu tanpa Michael?" tanya Naira ragu.
Mendengar pertanyaannya, tanpa diduga Jack malah membuka mata. Tatapan mereka pun beradu secara tak disengaja. Naira terkesima memandang netra hitam di hadapannya. Seketika ingatannya tertuju pada Jimin Venian, saudara kembar Jack yang mendatanginya dua hari lalu. Ada sesuatu yang menggelitik rasanya membuat Naira tak ingin melepaskan tatapan itu.
Jack pun tampak tak ingin memalingkan wajah. Membiarkan netranya terjebak dalam tatapan teduh Naira yang memandang tanpa berkedip. Jantungnya berderbar tak seirama. Sedikit gugup, tetapi tetap mencoba untuk diam, ditambah posisinya yang susah untuk digerakkan karena tangannya tertindih kepala istrinya.
"Jack ... ak-aku ...." Tiba-tiba saja Naira tergagap. Rasa gugup menyusup masuk dalam dirinya. Semua ucapan Michael mengusiknya hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa terlibat dalam konspirasi sekeji itu. Ingin sekali ia membuka mulut untuk mengadukan semuanya, tetapi suaranya tertahan di ujung lidah ketika bayangan ibunya dan Tony melintas begitu saja.
Perlahan tangan Jack yang melingkar di pinggang Naira bergerak naik, memberanikan diri menyentuh pipi Naira yang terasa sedikit dingin. Naira memejamkan mata merasakan tangan besar itu menangkup wajahnya. Anggap saja ia berdosa, sebab yang menari di imajinasinya justru saudara kembar Jack. Menyadari kesalahannya, Naira membuka mata. Semakin terkesiap ketika Jack sedikit mengangkat bobot tubuhnya mengikis jarak di antar mereka berdua.
Untuk pertama kalinya kedua bibir mereka bersentuhan dalam suasana mendebarkan seperti itu. Naira sangat gugup menunggu apa yang akan dilakukan Jack. Namun, setelah beberapa detik Jack hanya diam saja, akhirnya Naira sendiri yang mengambil inisiatif melumat bibir suaminya lebi dahulu.
Jack menggeliat. Ia mencoba permainan itu. Mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Naira. Netranya pun memejam sempurna guna menghalau kegugupannya. Sementara tangan Naira bergerak merangkul leher suaminya membuat ciuman mereka meresap semakin dalam.
Tak berhenti sampai di situ saja. Naira menurunkan tangannya, menyusupkan satu tangan ke balik baju Jack, mencari nipel kecil milik suaminya. Jack menggeram. Ingin melepaskan diri dari ciuman Naira, tetapi wanita itu malah menguncinya makin dalam.
Tahu kalau suaminya begitu gugup, Naira menuntun tangan pria itu untuk menyusup ke balik pakaiannya. Memberikan akses agar Jack bisa mendapatkan dadanya. Semakin gugup dengan kegilaan yang dilakukan Naira, Jack mencoba mengikuti arahan tangan Naira untuk meremas dadanya. Awalnya sedikit takut, tetapi kemudian berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Bermain dengan benda kenyal itu memberi rasa yang baru baginya. Naira melenguh saat Jack mulai berimajinasi sendiri dan mencari kesenangan sendiri dengan dadanya. Beberapa kali Jack membuat Naira tanpa sadar mengeluarkan desahan yang menggelitik libido pasangannya.
Semakin terjebak dalam gairah yang baru saja bangkit, Jack bergerak gelisah. Sekarang ia tak mengerti harus melakukan apa. Sampai kemudian Naira melepaskan ciumannya, mendorong kepala suaminya untuk menyesang dadanya.
"Lakukan, Jack ...," pinta Naira memberi petunjuk.
"Ap-apa yang harus aku lakukan?" tanya Jack polos membuat Naira merasa geli dalam hatinya. Namun, demi membuat pria itu menyetubuhinya, Naira pun meminta agar Jack menyesap dadanya. Tanpa bantahan Jack berniat melakukan itu ketika tiba-tiba ketukan pintu menghentikan aksi mereka.
"Tuan Jack, apa kau sudah bangun? Bukankah hari ini Tuan ingin jalan pagi dengan Nyonya Naira. Aku akan membangunkan Nyonya juga, jadi silahkan Tuan bersiap-siap."
Naira menggeram mendengar suara Michael. Sementara Jack secepatnya beringsut turun dari ranjang. Ia pun berlari ke kamar mandi mengikuti intruksi Michael untuk bersiap-siap. Turun dari ranjang menyusul suaminya, Naira tak lantas pergi ke kamar mandi. Ia memilih untuk membuka pintu, membiarkan Michael tahu keadaannya yang sedikit berantakan.
"Bisakah kau berhenti mengganggu suamiku? Mulai sekarang akulah yang akan mengurusnya, apa yang harus dilakukannya, jam berapa dia harus bangun semua akulah yang bertanggung jawab sebagai istrinya."
Bukannya terkejut dengan keadaan Naira yang berantakan, Michael malah tersenyum miring. Dengan lancang menarik Naira dalam pelukannya, hingga tubuh Naira berbenturan dengannya. "Aku senang kau sudah melakukan aksimu, Sayang. Jaga batasanmu, jangan sampai ia memasukimu atau aku akan menghajarmu," ancam Michael lalu mendorong Naira, hingga tersungkur kembali ke ruangan.