Rendra Hinata

1029 Words
Di kamarnya yang bernuansa khas cowok penyuka bola, Rendra Hinata terbaring di ranjang berbedcover bendera klub Barcelona. Pria itu tengah sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil berpikir kalimat apa yang tepat untuk disampaikan kepada gadis yang selama ini lumayan dekat dengannya. Cit, tadi ada apa, sih? ketiknya di kolom chat aplikasi hijau. Tanda centang hitam dua saja yang muncul, tak dibaca, padahal status Citra sedang online. Hal ini membuatnya sedikit heran. Tak biasanya gadis itu bersikap begini terhadapnya. Apa kira-kira salahnya kali ini? Ia berpikir keras mengingat-ingat kejadian tadi sore tapi tak menemukan satu pun kejanggalan dengan sikapnya. "Ah, apa iya gara-gara aku bilang kami cuma jalan biasa aja, itu?" gumamnya seorang diri, bingung dengan perubahan sikap Citra yang begitu kentara. Gadis itu bahkan sampai meninggalkannya begitu saja di cafe tadi tanpa berpamitan. Bahkan saat diteriakinya, Citra terus berlalu dengan tertunduk dan tak menoleh sedikit pun. Sudah berkali-kali diteleponnya, tapi tetap saja gadis itu tak menjawab panggilan. "Apa sebaiknya langsung ke rumahnya aja, kali, ya?" tanya Rendra lagi masih kepada dirinya sendiri. Kemudian, ia memutuskan besok sore saja menanyakannya saat menjemput gadis itu dari tempat kerja seperti biasa. Mungkin gadis itu hanya sedang bemasalah dengan hormon bulanannya, pungkasnya membatin dan mulai mengabaikan sikap aneh Citra. Pagi itu, Citra sudah melupakan segalanya. Walaupun sakit itu masih ada dan nyeri d**a juga masih terasa, setidaknya ia telah berdamai dengan lukanya. Semalaman ia memikirkan petuah Ibaz. Pria itu bilang yang terpenting jangan sampai mengulangi lagi kesalahan yang sama dengan menyimpulkan perasaan lelaki hanya berdasarkan kenaifan saja. Semuanya harus dipikirkan dahulu dengan pikiran yang logis. "Cit, kamu mau bawa bekal apa tidak? Ini mama masak udang tepung dan lodeh kesukaan kamu, loh," ujar mamanya memanggil dari dapur. Citra yang tengah mematut diri di cermin berteriak menyahuti, "Sebentar, Ma!" Buru-buru ia keluar kamar sembari meraih tas kerjanya di meja dan tak lupa kunci mobil sudah berada dalam genggaman. Ia akan siap berangkat setelah sarapan dahulu bersama papa dan mamanya. Berjalan ke dapur menghampiri sang mama yang tengah memasak, Citra asyik menghidu aroma masakan kesukaannya itu. Sayur lodeh dengan udang goreng tepung serta sambal terasi adalah perpaduan menu yang selalu berhasil menggugah seleranya. Apalagi sang mama memang sangat pandai mengolah bumbu-bumbu dan menciptakan rasa yang selalu pas di lidah Citra maupun papanya. Mereka keluarga yang jarang sekali makan di luar, sebab di rumah mereka, sang mama senantiasa memasak berbagai jenis masakan yang enak dan bervariasi. Mamanya juga tak jarang praktik resep menu baru dari makanan yang sedang viral. Hal mana membuat Citra tetap lebih mengandalkan masakan mamanya ketimbang jajan di luaran. Begitu pun dengan sang papa. Mereka berdua bahkan terkenal di kantor masing-masing sebagai yang paling rajin membawa bekal makan siang. Jadi bila teman-teman kerja menawari makan siang bareng, selalu saja ditolak. Tak jarang teman-temannya ikut mencicipi bekal mereka dan tak henti memuji mamanya yang pandai memasak. Hanya saja, hobi positif mamanya itu tak menurun kepada Citra. Citra tak begitu suka masak. Ia bisa masak, tetapi tak begitu dapat menikmati masakannya sendiri sebab katanya tak bisa sesedap hasil masakan sang mama. "Waaah, aromanya sampai ke kamar, Ma. Citra mau lah bawa bekal lagi hari ini," ucap Citra sembari menghampiri rak piring dan mengambil salah satu kotak makan di sana. Sambil tangannya sibuk menyiapkan bekal untuknya sendiri, Citra menanyai papanya apa ingin bawa bekal juga. "Papa nggak, nanti ada jadwal meeting, jadi ada jatah katering buat papa." Pak Galih menjawab beralasan. "Oh, iya, Ma. Ngomong-ngomong soal katering meeting, kemarin ada temen yang nyeletuk kalau maunya kapan-kapan Mama yang handle katering buat meeting kantor. Gimana, dong?" Ditanya suami seperti itu, Bu Widya segera menjawab panik, "Nggak mau, Pa. Bisa-bisa mama kerepotan sendiri nanti. Mana Citra ini nggak pernah mau bantuin lagi. Masa' tiap disuruh bantu-bantu malah bilang gak PD lah, takut rasanya aneh lah, takut merusak selera customer lah, hadeeeh ... padahal sih males aja, tuh, palingan." Citra terbahak mendengar repetan Bu Widya. Mamanya memang seringkali mendapat tawaran job untuk handle katering di suatu acara rutinan. Namun, beberapa kali beliau mau terima dengan berharap Citra pasti bersedia membantunya, berakhir dengan ia harus kelabakan seorang diri sebab ternyata Citra tak mau membantu sama sekali. "Nggak lah, Ma. Itu jujur, loh. Citra masih gak seenak mama eksekusi rasanya, jadi kan takut kalau sampai bikin pelanggan kecewa. Ntar nggak jadi order berlanjut lagi setelahnya," kata Citra beralasan. "Ish, daripada gitu mending mama gak ngapa-ngapain, udah dapet setoran dari dua sumber juga, aman Mama sih." Bu Widya berkata diplomatis penuh kemenangan. Citra dan Pak Galih saling berpandangan geli. Bu Widya memang sekocak itu sikapnya. Teman-teman Citra–khususnya Hesty–sangat suka main ke rumah Citra salah satunya adalah karena Bu Widya yang sangat supel dan humoris. "Huuuu ... enak banget jadi Mama, pengangguran tapi paling kaya di rumah," cibir Citra memonyongkan bibir. "Iya, nih. Kita harus setor upeti sama Mama kalau pengen kelangsungan urusan perut dan rumah kita terjamin," pungkas Pak Galih dengan wajah kesal. "Papa yang cari duit aja harus rela cuma terima jatah sekedar duit jajan dan bensin dari Mamamu. Apa-apaan, tuh!" Pak Galih pura-pura memasang wajah jengkel sembari terus menyuapkan nasi lodehnya dan mengunyah tanpa henti. Kali ini ia sarapan sepiring penuh, karena menunya juga adalah salah satu favorit beliau. "Wkwkwk ... siapa dulu, dong. Kan mama emang pemegang kekuasaan tertinggi urusan perbendaharaan rumah ini." Bu Widya menjawab bangga. Ia lalu ikut makan bersama suami dan putrinya. Begitulah sehari-harinya pagi mereka. Melewatkan sarapan bersama sembari penuh canda dan tawa. Hal yang membuat semangat kerja mereka terjaga dengan sempurna. Pak Galih lalu pamit mendahului pergi ke kantor sebab ia ingin sampai lebih pagi di hari meeting seperti itu. Citra menyusul tak berapa lama kemudian. Mereka meninggalkan Bu Widya yang lalu bersibuk ria membereskan bekas piring dan mencucinya bersama peralatan memasak yang lain. Tak berhenti di situ, pekerjaan rumah lain seperti bersih-bersih, beberes dan juga mencuci baju dengan mesin cuci pun dilakukan sendiri oleh beliau. Bu Widya ini tipe ibu yang tak ingin mempercayakan urusan keluarganya kepada pembantu. Ia hanya menyewa pembantu insidental bila sedang dalam kondisi sakit atau ada acara hajatan yang ia selenggarakan di rumah. Atau juga menggunakan jasa laundry untuk mencuci. Selain itu, semuanya dilakukannya sendiri. Sebuah contoh sosok ibu rumah tangga yang sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD