"Pagi, Hes!" Sapaan datar Citra mengejutkan Hesty yang tengah fokus meneliti notesnya. Gadis berkacamata itu lalu mendongak sebentar ke arah temannya yang baru memasuki ruangan tanpa menjawab sapaan basa-basinya.
"Aku mau ngobrol banyak hal sama kamu, tapi ntar aja lah, harus checking dulu, nih. Gak bisa diganggu," jawab Hesty akhirnya.
Citra mengabaikan kesibukan temannya itu. Menjelang akhir bulan seperti ini memang divisi mereka sedang sibuk-sibuknya. Banyak laporan yang harus tutup buku beserta rekapitulasinya. Dia sendiri juga sama saja sedang banyak pekerjaan.
Hanya saja, dengan suasana hati seperti itu, ia merasa sedang lebih bersemangat dalam bekerja, sehingga semuanya tak dianggapnya berat. Bekerja sesuai bakat dan minat juga bidang keilmuan yang digelutinya memang adalah hal menyenangkan dan rezeki tersendiri dari Tuhan.
Menjelang saat makan siang, barulah Hesty selesai dengan tugasnya yang mendesak tadi. Barulah kemudian ia mendekati meja Citra untuk mewawancarai temannya itu dengan lebih seksama.
"Apa?" tanya Citra saat Hesty sudah sengaja menyeret kursinya ke sebelah meja Citra.
"Ayo, ceritain gimana tadi malam?" Hesty tak sabar mengorek info kepada sahabatnya itu.
"Tadi malem? Emangnya harus ada apa? Gak ada apa-apa, kok, semalem," jawab Citra tak mengerti.
Hesty terperangah mendengarnya. Ia sendiri malah sudah berprsaangka bahwa semalam telah terjadi huru-hara atau yang sejenisnya.
"Lho? Kirain Rendra datengin kamu ke rumah? Nggak?" tanyanya heboh.
"Nggak ada," jawab Citra dengan ekspresi wajah yang entah.
"Hah? Minimal telfon, gitu?" Kembali Hesty mengorek info.
"Dia cuma chat yang bunyinya 'Ada apa, sih, Cit?' gitu doang, tapi kuabaikan lah."
"Yah, kok diabaikan, sih?"
"Lha mau gimana? Masa' aku harus jawab yang sebenernya? Bahwa aku lagi patah hati dan hancur berat karena ternyata cintaku padanya selama ini bertepuk sebelah tangan, gitu?"
"Ya seenggaknya kasih tahu kalau memang ada masalah. Jangan-jangan dia emang beneran gak ngerti attitude cowok yang deketan sama cewek, kali, ya, Cit? Seenaknya aja kasih harapan padahal dia tahu gak ada rasa di hatinya."
"Maksudmu menyelidiki apakah memang niatnya untuk memberiku harapan palsu, begitu?"
"Iya. Cari tahu alasannya bersikap seperti pacar kepadamu, tetapi ternyata bisa setenang itu memproklamirkan dia tak ada rasa apa pun. Maksudnya apa, coba?" ungkap Hesty penuh emosi.
Citra mengembuskan napas panjang demi menyabarkan hatinya.
"Kata Ibaz sih itu bukan faktor kesengajaan. Dia bilang memang aku aja yang salah, terlalu naif memandang perhatian kecil darinya sebagai bentuk ungkapan cinta, padahal itu hal yang wajar aja dilakukan olehnya sebagai sekedar temen,"
"Hah? Ibaz siapa, tuh?" Hesty menyela cerita Citra sebab menemukan nama yang sama sekali asing di sana.
"Kenalan baru. Tahu nggak, selepas kamu pulang kemarin itu, si Ibaz ini nyamperin aku lalu bilang kalau dia dari tadi di sebelah bilik kita, yang kehalang pembatas itu, dan mendengar semua curhatku padamu. Sial!"
"Wadhuhh!" Hesty terkejut hingga spontan terpekik.
"Malu banget deh aku pokokmya. Tapi dia rupanya baik, dia malah minta izin duduk di depanku dan panjang lebar menjelaskan bahwa para wanita harus dapat menelaah lebih jauh dahulu perhatian atau perlakuan baik dari seorang pria kepadanya. Apakah itu sebuah ungkapan cinta atau hanya sebatas memang perilakunya biasa seperti itu ke semua cewek." Panjang lebar Citra bercerita tentang sosok Ibaz.
Hesty bergumam sambil mengangguk-angguk setuju dengan pemikiran si Ibaz ini.
"Wah, baik juga dia sampai mau menjelaskan hal seperti itu padamu."
"Nah, makanya itu, Hes. Aku udah minta nomor hpnya. Kelak aku akan memerlukan banyak bantuan dari dia sepertinya," ungkap Citra kemudian.
"Terus, terus, kalau penampilannya gimana si Ibaz ini? Cakep, gak?" Kekepoan Hesty segera membuat Citra tergelak.
"Apaan, sih, kamu. Pasti fokusnya ke tampang dulu, deh!" tegur Citra kepada Hesty yang semakin mendekatkan kursinya demi dapat mendengar penjelasan Citra dengan lebih konsentrasi.
"Ibaz itu tinggi besar, rambutnya sedikit ikal dan tebal banget, dan dia keren juga sih menurut penglihatanku." Citra melanjutkan setelah diam beberapa saat.
"Aiiih ... happy, dong, kamunya? Dapet penasihat yang oke dan cakep pulak," goda Hesty seraya terkekeh geli.
"Huuu ... cuma orang lewat yang kebetulan iba sama aku dan memutuskan memberikan pencerahannya biar aku gak sampai melakukan kesalahan yang sama, itu aja, kok."
"Tapi kan lumayan juga buat digebet," sahut Hesty dengan senyum tertahan. Dikedip-kedipkannya sebelah mata demi menggoda sang sahabat yang wajahnya auto semerah tomat.
Citra melemparkan tatapan teguran ke arahnya. Ia rasa harus berhati-hati sekarang dengan hatinya sendiri. Tak boleh lagi ia sampai melakukan kesalahan-kesalahan fatal yang jadi topik nasihat Ibaz kemarin. Ia harus pandai memfilter perasaannya sendiri.
Akhirnya mereka keluar ke kantin kantor untuk makan siang setelah bel tanda istirahat siang berbunyi di seantero ruangan. Meskipun membawa bekal, Citra selalu memakannya di kantin demi menemani Hesty dan juga memesan minuman dingin.
Citra meraih tas kerja dan mengambil ponsel yang saat bekerja memang seringkali tak diacuhkannya. Ia juga terbiasa mengatur mode silent agar fokusnya saat bekerja tak terganggu.
Diulurkannya ponsel itu ke arah Hesty dan menunjukkan rentetan panjang missed calls dari kontak bernama Rendra dengan emot love di layar. Mereka melanjutkan obrolan sambil berjalan ke arah kantin.
Astaga, ia sampai lupa menghapus emot sialan itu dari namanya. Spontan dihapusnya dan mengganti dengan emot marah merah padam.
"Angkat aja sebentar, Cit. Siapa tahu dia mau ngejelasin semuanya. Daripada kamu masih terus bertanya-tanya penasaran, kan mending tanya langsung aja, tuh." Hesty sedikit menyarankan.
"Ah, nggak mau. Semuanya udah jelas, Hes. Gak mungkin lah aku masih mau ketemu atau kontak sama dia lagi. Ngapain, coba?" tukas Citra menolak saran Hesty.
"Ya paling nggak biar kamu ngerasa pasti. Siapa tahu dia ternyata semalam baru sadar kalau dia rupanya juga memendam rasa sama kamu, hayo?" Hesty membujuk temannya itu.
"Nggak ada. Dia cuma tanya kenapa aku marah-marah dan langsung pergi ninggalin dia. Mana ada cowok setidak peka itu, coba! Kesel banget, kan?" Citra malah merajuk kinj. Bibirnya mengerucut dengan kedua alis bertaut.
"Iya, sebel sih pastinya digituin. Ya udah blokir aja nomornya. Aman," pungkas Hesty seraya mengedikkan bahunya cuek.
"Nggak ah. Kalau kublokir dia malah akan datengin aku langsung kayaknya. Dan aku beneran lagi gak mau ngomong langsung sama dia untuk masalah apa pun sekarang."
Pembicaraan mereka berakhir saat sampai di kantin kantor yang siang itu hampir penuh. Ya, kebanyakan karyawan kantor ini memilih makan di kantin kantor sebab tak perlu harus keluar dengan mengambil kendaraan mereka yang terparkir di basement.
Citra biasanya sering diajak Rendra makan siang bareng ke luar dengan motor gedenya. Oh, kalau ingat banyak kejadian di antara mereka berdua yang menurutnya adalah seperti kegiatan sepasang kekasih, Citra jadi kembali kesal sendiri dengan pengakuan Rendra.
Pria itu benar-benar sebuah kontradiksi yang sudah merenggut segala harapan semunya. Yah, mungkin yang terbaik memang tahu sekarang. Daripada andai dia masih lama lagi bersama dengan Rendra dalam ketidaktahuannya. Itu akan sama saja dengan kegiatan yang membuang-buang waktu dan menyia-nyiakan umurnya saja.