Zul setuju, lantas menarikku keluar ruangan setelah mengatakan sesuatu kepada Alif. Dia membawakan tas dan memori kamera pula. Kami menuju ke gerbang belakang sekolah.
Zul berhenti melangkah tepat di gerbang. "Maaf karena tidak bisa mencegah Rio mencekikmu. Kau mau sesuatu? Air, mungkin?"
"Tidak."
Aku menenangkan degup jantung karena kejadian tadi, dan menghela napas berulang kali. Si Rio itu memang gila. Untung saja aku mengenakan masker dan jaket, kalau tidak, entah bagaimana nasibku besok. Belum lagi tatapan kecewa Ero tadi saat aku mengatakan kebohongan. Rasanya sangat menusuk. Apakah dia tahu itu aku? Uang tiga juta yang kudapat memang sebanding dengan resiko yang harus kutanggung.
"Kau sudah bisa melepas maskernya." Suara lembut Zul menyadarkanku kembali. "Terima kasih karena telah melakukan yang kuminta. Mau ke ATM sekarang?"
"Ya. Setelah ini, kita tidak punya urusan lagi." Aku melepas masker, menyerahkan ke Zul.
Zul yang tersenyum, menyandarkan badan ke gerbang lalu menatapku. "Sikap dinginmu malah membuatku semakin tertarik. Kenapa kau menutup diri dari dunia luar?"
Aku tidak punya kewajiban untuk menjawabnya, maka aku hanya menghela napas.
"Lepaskan juga jaketnya!" perintah Zul. "Bisa bahaya kalau Rio melihatnya karena Tania juga bisa dalam bahaya. Dia satu-satunya yang memiliki jaket seperti ini di kelas."
"Rio tidak tahu kalau saksi berasal dari kelasnya. Dia mungkin akan berpikir saksinya dari kelas ketiga senior karena pembelaan tadi."
Zul tertawa pelan. "Yah, kau benar. Apa masih sakit?" Dia mengusap lehernya lalu menunjuk leherku. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau seorang Rio mengamuk. Pernah satu kejadian saat SMP, teman yang mencuri sepatunya sampai koma seminggu karena dihajarnya."
Aku pernah mengalami yang lebih buruk dari dicekik. "Ini bukan apa-apa," jawabku. "Boleh kutanya sesuatu?"
Dia mengerutkan dahi. "Boleh. Kalau kau bertanya tentang pacarku, tenang saja, aku belum punya, kok."
Aku berdecak kesal. "Kenapa kau memintaku berbohong?"
Zul tersenyum kecil, lalu berdiri normal kembali sembari memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana abu-abunya. "Bukankah yang terpenting bagimu adalah uang? Untuk apa kau tahu alasannya?"
Dia benar. Kenapa juga aku harus peduli dengan nasib Rio? Kalau pun dia memang benar, itu bukan urusanku.
"Lupakan pertanyaan t***l itu," ujarku akhirnya.
"Nah, begitu baru gadis yang manis." Zul menepuk pucuk kepalaku, membuatku mundur secara spontan. "Ah, maaf." Pemilik senyum manis itu menggaruk tengkuk dan memerhatikan halaman belakang yang dipenuhi pepohonan rindang. Gesturnya agak kikuk.
Setelah dipikir-pikir, baru kali ini aku berbicara panjang dengan seseorang sejak masuk sekolah. Rasanya tidak buruk juga. Apa karena teman bicaraku adalah Zul? Dia cukup nyaman diajak bicara. Tidak terkesan menghakimiku yang tergila-gila pada uang. Dia malah menawarkan uang, tanpa terkesan merendahkanku. Baru kali ini ada yang seperti menerimaku apa adanya.
Ini gila! Apa yang kupikirkan?
"Cepat lepaskan jaketmu. Aku harus menyimpannya agar Rio tidak mencurigaimu dan Tania."
"Bukankah akan mencurigakan kalau tiba-tiba jaketnya menghilang?" Saat ingin membuka jaket, kepalaku seperti dilempar sesuatu oleh seseorang. Ternyata itu sepatu olahraga berwarna biru milik si otak m***m Ero.
"Sudah kuduga itu kau." Ero menarik tudung jaket pink yang kukenakan, membuatku nyaris terjengkang ke belakang andai tangan Zul tidak menarik pergelangan tangan kiriku tepat waktu.
"Apa yang kau lakukan, Elf?" Zul masih memegang tanganku, tapi tatapannya nyalang ke Ero.
Ero sedikit menarikku ke sisinya, sampai aku bisa merasakan d**a bidangnya bersentuhan dengan sikuku. "Ini tidak ada hubungannya denganmu," kata Ero.
"Aku berjanji untuk melindunginya," kata Zul.
Ero tertawa. "Sejak kapan Tuan Muda yang selalu mendapat perlindungan memutuskan melindungi seseorang?"
Zul menatap Ero kesal. "Lepaskan dia, Elf! Se-ka-rang!" tegas Zul.
Kekesalan Zul dapat terasa dari remasan tangannya pada pergelangan tanganku.
Ero melepas tarikannya pada tudung jaketku, tapi dia malah melingkarkan tangan kanannya di leherku dan meletakkan dagunya di kepalaku, posenya mirip pelukan dari belakang. "Kalau aku tidak mau, kau bisa apa?" tantang Ero kepada Zul.
Aku berusaha membebaskan tangan dan leherku dari dua lelaki ini, tapi keduanya tetap bersikukuh dengan egonya. Tidak ada yang mau mengalah.
Aku mendesis saat merasakan sakit di pergelangan tanganku, lalu Zul refleks melepas cengkeramannya di sana. Dia mendengkus, menatap kesal Ero. "Baiklah. Kau menang, Elf."
Ero pun melepaskan leherku. Dia mundur, lalu mengambil sepatuya. Usai mengenakannya, dia bersedekap di depan Zul yang memiliki tinggi sebatas kupingnya. "Kenapa kau suruh dia berbohong?"
Wajah Zul sedikit cemberut, dia mengalihkan pandangan dari Ero, menatapku sekilas. "Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan untuk mengalahkanmu?"
Aku melepas jaket saat Ero mengambil tasku dari tangan Zul. Dia lalu melemparnya kepadaku. Memasukkan jaket ke tas, aku melirik keakraban dua lelaki, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Ero tertawa, meninju pelan lengan Zul. "Hei, kau marah?"
"Kau membuatku kesal. Aku hampir mencari saksi palsu demi taruhan ini."
Ero semakin tergelak. "Kau sangat ingin menang dariku, ya?" Dia kembali tertawa sambil mengacak rambut Zul.
Menepis tangan Ero, Zul berkata. "Tentu saja. Setiap taruhan, aku selalu kalah."
"Kali ini kau yang menang. Kau senang?" tanya Ero, dengan seringai di wajahnya.
Zul menaikkan bingkai kacamata, tersenyum lebar. "Tentu saja!" Dia menyeringai, matanya berbinar. "Saat aku serius, apa pun bisa kulakukan."
"Begitu? Artinya taruhan selama ini kau tidak serius?"
"Tidak seserius kasus Rio."
Aku menghela napas. Kupikir dua orang ini benar-benar mencoba membela masing-masing pihak dalam kasus tadi, rupanya hanya taruhan. Pantas saja Zul tidak mempermasalahkan aku yang gila uang. Lah, dia sendiri juga gila taruhan. Tapi apa, ya, yang mereka taruhkan?
Sebelum perbincangan dua lelaki itu berlanjut, kami dikejutkan dengan suara jatuh yang cukup kuat tidak jauh dari tempat kami berdiri. Tanpa menunggu komando, kami mendatangi lokasi.
Setibanya di lokasi berupa halaman yang dipenuhi rerumputan, aku dikejutkan dengan seorang perempuan berjaket warna merah muda dalam posisi tengkurap bersimbah darah di jalan setapak. Kepalanya yang paling banyak mengeluarkan darah.
Kulirik Ero yang terduduk lemas, menatap perempuan tak bergerak itu penuh ketakutan, dengan mulut menganga. Dia coba mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang terdengar. Dia memegang kepala, terus menggeleng, lalu tiba-tiba meneriakkan, "Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Bukan aku. Bukan aku. Bukan aku," sambil meringkuk layaknya janin dalam kandungan, layaknya vamir yang takut terkena sinar mentari.
Zul berlutut di depan Ero yang terduduk, lalu merengkuh wajahnya yang sudah pucat itu. "Elf! Bernapaslah! Sadarlah, Elf!" Dia menepuk-nepuk pipi Ero. "Elf!"
Ero semakin membeliakkan mata dan sekarang tubuhnya bergetar. Dia mendongak, mulai menangis, sesenggukan, mengatakan, "Bukan aku. Bukan aku," berulang kali.
Zul mengangguk. "Hemm... aku tahu." Dia kemudian memeluk Ero, menepuk-nepuk punggungnya, dan terus mengatakan, "Aku di sini, Elf. Akan selalu bersamamu. Itu bukan salahmu."
Aku menghela napas melihat mereka. Daripada memerhatikan dua lelaki itu, aku lebih baik mencari tahu yang terjadi, karena mungkin saja ini bisa menghasilkan uang. Menyiapkan kamera, aku pun mulai mengambil gambar gadis itu dari berbagai sudut. Seragamnya yang berantakan, rambut panjang yang menutupi wajah, juga sebelah sepatunya yang hilang. Mengetahui lebih lanjut, aku membalik tubuh sang korban, memeriksa lehernya. Tidak ada denyut, dia sudah mati. Terpampang name tag Wulan Dhita di seragam putih yang sudah penuh rona merah. Ada dua bintang warna biru di atas saku, menandakan kelas XI IPA. Dia menggenggam sesuatu. Kuambil kertas dalam genggamannya. Tertulis, "Satu kembali".
⁂ ⁂ ⁂