1. Rumah Impian (1)
Sebuah penelitian mengatakan, manusia dewasa tidak bisa mengingat masa kecilnya─dari bayi sampai sekitar usia empat tahun, istilah ini disebut amnesia infantile. Seiring bertambah usia, ingatan seseorang tentang masa kecilnya akan semakin terkikis. Namun, hal itu tidak berlaku untukku. Aku masih mengingat masa kecilku sejak usia tiga tahun dan peristiwa kelam yang menyertainya. Di antara banyak kenangan yang tercetak di ingatan, ada satu memori yang setiap hari akan selalu terbayang sebelum aku melangkah ke luar rumah. Kenangan itu tentang teman kecilku bernama Tama. Kami sangat dekat, tapi karena suatu peristiwa, aku berpisah dengannya. Sampai sekarang, aku masih mencari Tama karena dialah tujuan hidupku.
"Kau harus hidup agar bisa pulang," kata Tama waktu itu, waktu pertama kali kami bertemu.
Saat itu aku tertawa mendengarnya yang terkesan sok peduli. "Aku tidak punya tempat untuk pulang," kataku.
Di luar dugaan, Tama terlihat sedih, lalu menangis sambil memelukku. Di tengah sesenggukan, dia berkata, "Kau pasti kesepian... Aku juga tidak punya tempat untuk pulang... Bagaimana ini?"
Saat itu, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian di tempat asing. Setelah dibuang ibu kandungku ke panti asuhan dan mengalami mimpi buruk penyiksaan; dipungut oleh seorang lelaki beranak satu yang mengaku suami kedua ibuku, lalu kembali dibuang di keramaian; aku pun menyerah tentang hidup; tapi saat itu, saat Tama menangis untukku, aku seperti memiliki harapan. Walau harusnya mendapat penghiburan, aku justru menghibur Tama dengan mengatakan, "Kalau begitu, kita buat tempat untuk pulang bersama-sama.”
Begitulah awal kedekatanku dengan Tama, si anak lelaki usia sembilan tahun yang cengeng, namun berhati hangat. Setelah mendengar ajakanku, Tama menghapus air matanya. "Aku mau membuat rumah bersamamu. Itu akan menjadi tempat kita pulang. Kau ingin rumah yang bagaimana?"
Jiwa kekanakanku saat itu pun merespon Tama dengan antusias. "Yang bertingkat tiga seperti di TV. Aku juga mau di depannya ada tempat permainan seperti jungkat-jungkit, perosotan, ayunan, juga pohon untuk kita panjat nantinya. Aku suka memanjat pohon."
Tama bertepuk tangan meriah sambil tertawa senang. "Bagus, aku setuju. Tentang lokasi rumahnya, aku mau yang dekat laut dan kebun binatang. Aku sangat ingin pergi ke kedua tempat itu, karena katanya di sana menyenangkan."
Aku mengangguk-angguk. "Boleh saja. Apa lagi yang kau mau?"
"Aku juga mau lokasinya dekat dengan sekolah, biar kita tidak lelah kalau mau pergi bersekolah."
"Bagaimana dengan bagian-bagian rumahnya?" tanyaku pula.
"Aku mau halaman belakangnya dibuat seperti pet shop biar bisa untuk memelihara binatang. Aku suka kucing, kelinci, dan kambing. Oh, harus ada kolam renangnya juga, karena aku suka berenang. Lantai dua bisa kita buat untuk arena melukis dan area bermain, dan lantai tiga khusus kamar tidur. Kita ajak juga anak-anak lain─yang tidak punya tempat untuk pulang─ke sana, biar ramai. Bagaimana menurutmu?"
Aku tertawa, lalu mengangguk. "Setelah bebas dari sini, kita harus kumpulkan uang yang banyak untuk membangun rumah impian kita."
Sayangnya, meski sepuluh tahun telah berlalu, aku masih belum bisa membangun rumah impian kami. Lebih parahnya lagi, kini serangkaian pembunuhan berantai mulai menimpa orang-orang yang kukenal, dan itu berkaitan dengan kenangan kami tersebut. Di tengah usahaku mencari Tama dan si pembunuh, aku berharap, Tama bukanlah pelaku dari pembunuhan berantai ini.
***
Sekitar sebulan yang lalu, awal dari segalanya...
"Ero!"
Lelaki di sebelahku menolehkan kepalanya ke pintu kelas. Dia menguap dan mengucek mata. "Apa?" tanyanya sembari bertopang dagu dengan muka malas.
Lelaki yang mendatangi Ero meletakkan flashdisk ke meja, setengah menggebrak. "Isinya cuma kumpulan tugas dan materi! Kau bilang banyak blue film-nya. k*****t!" Dia Rio, si anak kepala sekolah, adalah teman sekelasku yang memiliki postur atletis. Ngomong-ngomong, dia ikut klub sepak bola, dan masuk tim inti sepak bola sekolah.
Ero melihat flashdisk di meja dalam sekali pandang, lalu diacungkannya benda mungil berwarna putih itu ke wajah Rio. "Ini bukan fd yang kuberikan tadi," katanya, dengan mata menyipit, nyaris terpejam. "Lagipula, sejak kapan flashdisk-ku isinya materi dan tugas sekolah?"
Rio menggaruk belakang kepalanya. "Iya, ya, kau kan malas belajar, tidak mungkin menyimpan file materi."
Ero mengangguk, seolah bangga dirinya anak pemalas.
"Berarti tertukar saat tabrakan sama ketos tadi," kata Rio pula.
Ero mengembuskan napas berat, dia mengusir Rio dengan gerakan tangan. "Ya, mau tertukar dengan siapa pun, terserah. Pergilah! Aku masih mengantuk. Baru dapat tidur jam 5 pagi." Kemudian dia meletakkan wajah dalam lipatan tangan, dan akhirnya memejamkan mata, sementara Rio hanya menggelengkan kepala, lalu keluar kelas.
Ero bisa tahu itu bukan flashdisk miliknya hanya dalam sekali pandang? Haruskah aku kagum pada iris gelapnya yang sering menonton film bokep itu?
Biar kujelaskan sedikit tentang makhluk pemalas nan m***m ini. Julukannya 'Ero', berasal dari kata e****s. Orang-orang memanggilnya begitu, karena kecintaannya yang berlebihan pada adegan p***o. Bukan cuma membaca manga atau menonton anime tema m***m, yang real pun dia lihat kalau terkait seks. Dia dijuluki "Ero Sensei" (Sensei artinya guru, dalam bahasa Jepang) karena menjadi ketua fansclub pecinta p***o.
Segala macam adegan seks, Ero tahu. Semua situs blue film, bisa dia akses. Tabletnya banyak dilengkapi aplikasi sejenis media player hanya untuk melihat video dalam berbagai format. Jangan tanya berapa puluh giga koleksinya. Para lelaki di sekolah memujanya, menjadikan rekan seperjuangan dalam menghilangkan keperjakaan, dan beberapa yang tak sabar malah mengajak langsung praktek.
Ero bilang, "Jangan praktek dulu! Kau boleh mengkhayal, tapi tidak boleh mempraktikkannya sebelum dapat menghasilkan uang sendiri."
Spontan, jawabannya mendapat tepuk tangan meriah oleh para pemuda kurang kerjaan yang mendengar.
Kalau tidak salah, ada satu orang waktu itu yang bertanya, "Kenapa begitu?"
Dengan luwesnya, Ero bilang, "Biar bisa beli k****m. Masa uang emak dihabiskan untuk beli begituan? Mau jadi anak durhaka?"
Dia pun kembali mendapat respect dari para penggemarnya itu. Aku bahkan bingung, bagian mana yang keren dari perkataannya.
Begitulah Ero di mata para lelaki. Lain lagi menurut kaum hawa. Mereka menghujatnya. Ada yang jijik, bahkan ada yang langsung kabur saat melihatnya. Gosip yang beredar di kalangan perempuan: Ero selalu mencari cewek cantik untuk dijadikan tumbal fantasinya.
Pernah ada satu kejadian saat Ero menyelamatkan seorang kakak kelas di gang sempit dari kelakuan b***t preman. Saat itu dia berkata, "Demi d**a Mbak cantik yang bergoyang-goyang memanggilku, jangankan dua preman kelas teri, ribuan yakuza pun akan kuhajar." (Yakuza adalah istilah untuk geng mafia di Jepang).
Keesokannya saat di sekolah, Ero datang ke kelas dengan wajah babak belur dan ada satu jejak telapak tangan membekas di pipinya. Saat para pria mengagumi sikap kepahlawanan Ero, para perempuan justru ketakutan karena mendengar versi cerita dari si kakak kelas bahwa Ero berkata m***m dan sangat menjijikkan sampai membuat ingin muntah.
Ero tidak punya pacar, mungkin tak akan pernah. Teman dekat Ero adalah si ketua kelas yang jadi idaman hati setiap perempuan di sekolah. Namanya Rivaldo Zulmi Ardafa.