Aku meloncat lagi, berusaha mengambil amplop.
Dia tertawa. "Aku punya penawaran menarik. Bagaimana kalau aku memberimu tiga juta untuk sekali kencan denganku?"
Perubahan rencana. Bahaya kalau berurusan dengan Zul. Lebih baik aku mengambil uang dari Dimas. Ketika berniat pergi, dia menahan tanganku.
"Kencan dengan most wanted SMA Pertiwi, mendapat uang dan kesenangan, tapi kau menolak?"
Aku tatap balik iris cokelatnya tanpa gentar. Tanpa suara, aku menunjukkan ekspresi menantang seolah mengatakan, ‘apa kau mau main-main denganku?’
Dia berdecak kesal. "Baiklah, baiklah aku mengalah," dia sedikit berdeham, "lupakan kencan itu, kembali ke topik masalah. Kita harus mengungkap kesalahan Rio. Kau tahu, kan, dia memanfaatkan situasinya yang seolah dikeroyok itu untuk menuntut ketiga senior. Rio adalah pihak yang salah."
Aku menatapnya datar. Mungkin Rio memang salah, tapi bisa saja setelah aku pulang itu, Rio yang gantian dihajar, kan?
Zul mengusap tengkuk, terkesan kikuk ketika mengalihkan pandangannya sekilas ke area taman depan kelas. "Bukan sok ingin jadi pahlawan pembela keadilan, aku hanya tidak suka Rio berbuat semena-mena karena jabatannya sebagai anak kepala sekolah."
Aku mengernyit karena sulit menangkap maksudnya.
Dia melepas cengkeraman tangannya. "Aku akan berikan tiga juta kalau kau bersaksi membela ketiga senior."
Aku tersenyum dan membuka tangan, meminta uangnya lebih dulu. Kalau Zul membelaku, Rio pun tak akan berkutik, maka aku bisa bersaksi di kasus itu.
Dia mengeluarkan dompet dari tas, lalu melemparnya kepadaku. "Aku tidak punya cash, kau bisa menjamin dompetku. Usai sidang, kita ke ATM. Setuju?"
Aku mengangguk.
Zul mengais isi tasnya. “Aku tidak ingin kau dalam bahaya kalau mengungkapkan identitasmu.” Dia mengeluarkan jaket polos warna merah muda dengan gambar teddy bear kesil di bagian d**a kanan jaket. "Tania sudah pulang, dan jaketnya ketinggalan di kelas, kau bisa pakai ini. Yang ini juga." Dia menyodorkan masker. "Saat bersaksi, katakan...." Zul membisikkan sesuatu kepadaku.
Walau tidak mengerti alasan aku harus berhohong seperti permintaannya, tapi demi tiga juta, akan kulakukan.
“Kau bisa bicara, kan?” tanya Zul sebelum kami menuju ruang OSIS di lantai atas.
Aku menatapnya tajam, dia hanya tertawa.
“Aku hanya ingin memastikan saja, karena aku jarang mendengar suaramu.”
“Aku bisa bicara. Aku malas bicara kalau tidak penting.”
Zul tertawa pelan. “Baiklah.”
⁂ ⁂ ⁂
Aku masuk ke ruang OSIS yang seperti ruang pertemuan. Tampak Dimas duduk di antara dua rekannya. Di paling depan adalah ketua OSIS bersama sekretaris dan seorang guru BK (Bimbingan Konseling). Di seberang ketiga senior, ada Rio yang duduk bersama Ero.
Kenapa ada Ero di sini?
Zul membisikkan sesuatu kepada ketua OSIS, kemudian menyerahkan memori dari kameraku yang berisi foto-foto perkelahian. Ketua OSIS lantas menyuruhku duduk di kursi, di tengah mereka semua, sendirian, tepat di depannya. Sidang baru akan dimulai.
"Baiklah, sekarang kita akan mulai rapat terkait perkelahian yang terjadi seminggu yang lalu. Saya Alif Zakaria Pratama selaku ketua OSIS akan memimpin rapat." Semua mata mengarah ke Alif yang saat ini membuka sebuah map, entah berisi apa. "Kepada kedua pihak, saya ingin pastikan cerita sebenarnya dari kejadian saat itu. Bisa saya mulai?"
Dimas dan Rio mengangguk bersamaan.
Alasan Alif yang memimpin rapat dan bukan guru BK adalah kebijakan kepala sekolah, yang ingin anak didiknya terbiasa memegang tanggung jawab sejak dini. Sesuai dengan gelar ketua OSIS itu, Alif lah yang mendapat kesempatan untuk menunjukkan kharisma kepemimpinannya.
"Rio, kau bilang, Dimas dan dua lainnya memintamu datang ke kelas X IPS 3, lalu kau dipukuli oleh mereka," kata Alif.
Dimas berdiri, padahal Alif belum menyelesaikan kalimatnya. "Tidak! Dialah yang meminta kami datang. Dia bilang mau membicarakan tim inti sepak bola."
Rio menggebrak meja dengan tangan kanannya. "Enak saja! Kalian yang memanggilku untuk membicarakan itu. Aku ketua tim 2, jadi kalian ingin membicarakan tentang anggota timku yang berpotensi masuk inti. Minggu lalu temanku itu sudah menemui guru BK untuk bersaksi."
Teman Dimas yang tak kutahu namanya ikutan berdiri. "Jangan bohong! Jelas-jelas kau yang ingin merekomendasikan teman dekatmu itu untuk masuk tim inti!"
Dimas tak mau kalah. “Temanmu hanya bersaksi kalau kau tidak latihan karena mau menemui kami. Dia bahkan tidak tahu kalau kau menerima pesan dari kami! Jelas kau yang berbohong di sini!”
"Tolong tenang!" Suara menggelegar Alif membuat semuanya bungkam. "Cerita kalian mengenai kejadiannya berbeda. Hanya ada satu fakta yang bisa dipastikan, yaitu orang yang lebih dulu menyerang. Semua mengakui kalau Rio lah yang mulai menyerang, benar?"
Rio menghela napas. "Benar, tapi itu karena dia memancing emosiku dengan mengatakan temanku tidak berguna."
Alif menatapnya tajam. "Aku tidak ingin mendengar alasannya. Baik, akan kulanjutkan. Orang yang paling dirugikan dari kejadian itu adalah Rio, karena luka perkelahian membuat tangannya cedera."
Dimas langsung berdiri dan lagi-lagi menggebrak meja. "Lukanya bukan karena perkelahian dengan kami. Aku memang memukulnya beberapa kali, tapi tidak mungkin sampai mencederai tangannya sefatal itu. Lagipula aku memukulnya karena bentuk pembelaan diri."
Rio juga berdiri. "Kau melakukannya. Kau yang menghajarku sampai seperti ini."
Lalu begitu saja, adu mulut kembali mewarnai sidang, tentang siapa yang memukul siapa, tentang apa yang dipukul dan apa yang malah terluka. Aku harus memijat tulang hidung agar tidak terlalu pusing mendengar suara mereka. Di antara wajah-wajah khawatir dan bingung, aku menangkap sosok Zul di sudut kursi pihak ketiga senior. Dia terlihat memikirkan sesuatu. Aku tahu topik utamanya adalah pengeroyokan yang menyebabkan Rio terluka, dan Dimas benar-benar bertempramen buruk seperti Rio. Hanya dengan kesaksianku, kasus ini akan dimenangkan ketiga senior.
"Semuanya harap tenang!" Alif membuat suasana kembali hening. "Dari kondisi lukanya, jelas kalau perkelahiannya tidak seimbang. Selain kalah dalam segi jumlah, bobot badan Rio yang sedikit lebih unggul dari ketiganya nyatanya tidak membuatnya menang dalam perkelahian itu. Jadi, pembelaan dari Dimas yang mengatakan kalau tindakannya cuma untuk membela diri, rasanya tidak sesuai dengan kondisi Rio. Maka, kita perlu keterangan saksi."
Ketua OSIS menatapku, mengangguk kecil untuk memintaku bicara, tapi sebelum aku buka suara, Ero menginterupsi. "Apa saksi seperti dia bisa diterima dalam rapat ini? Kami tidak tahu asal usulnya, wajahnya juga ditutupi masker."
Alif membenarkan letak kacamatanya. "Saksi tidak ingin mengungkapkan identitas demi keamanan dirinya. Zulmi sudah mengkonfirmasi dia dapat dipercaya, dan kita semua jelas mengenal kepribadian Zulmi. Belum pernah ada keluhan tentang prilaku Zulmi di sekolah ini, dan dia bahkan sudah direkomendasikan sebagai next Ketua OSIS. Apakah ada yang meragukan keputusannya membawa saksi ke sidang ini?"
Hening.
"Baiklah, Saksi, silakan lanjutkan," kata Alif kemudian.
Aku berdeham. "Minggu lalu, ketika aku menunggu hujan reda..." Aku pun menceritakan semuanya mulai dari memotret hujan sampai mendapat foto-foto mereka. Memori kameraku yang terhubung ke layar putih di depan kami pun menampilkan adegan perkelahian Rio menghajar ketiga senior dengan mudah. Dalam foto-foto itu tertera tanggal dan waktu, jadi tidak akan ada yang meragukannya. Menjelang akhir penjelasan, aku harus berbohong seperti permintaan Zul. Aku mengatakan, "Ketiga senior tumbang dan mengaduh kesakitan, lalu Rio pergi meninggalkan mereka dengan luka ringan di wajahnya. Dimas sama sekali tidak mencederai tangan kirinya. Kemudian aku pulang karena hujan sudah berhenti."
⁂ ⁂ ⁂