Chapter 5

1391 Words
Wajah Ben tanpa ekspresi ketika dia sedang mengunyah nasi. Git git git Bunyi kunyahannya bisa terdengar seisi ruangan makan di kediaman Basri. Kunyahan itu seperti ingin mengunyah daging dengat kuat, atau mungkin saja seperti terdengar seseorang mengunyah batu. Otot-otot rahangnya terlihat jelas. "Ben, apakah nasinya keras?" Popy bertanya bingung ke arah suaminya. Dia mengunyah nasi yang sama dengan Ben, namun dia tidak merasakan bahwa nasi itu keras. Popy juga melihat ke arah kakek dan neneknya, namun ekspresi Laras dan Iqbal biasa-biasa saja. Hanya suaminya saja yang ekstra luar biasa dalam mengunyah nasi. "Huuh!" Ben mendengus dongkol. "Ini sudah malam dan putriku belum juga pulang," wajah Ben tetap datar. "Ooh..." Popy manggut-manggut tanda mengerti. Suaminya ini sedang kesal karena putri mereka belum juga pulang ke rumah. "Kan tadi Aqlam sudah bilang pada kita kalau Chana akan makan malam di rumahnya, nenek Lia juga ingin bertemu dengan Chana, sebentar lagi Aqlam akan mengantar Chana pulang." "Putriku sudah berumur empat belas tahun, dia sudah menjadi anak gadis yang besar, tidak bisa sembarangan keluar rumah." Ujar Ben. "Ssh...huh..." Popy menarik dan mengeluarkan napas. "Ben..." Popy memandang serius ke arah suaminya. Anggota keluarga yang lain juga memandang ke arah Ben. Terkecuali Naufal, bocah 6 tahun itu sedang makan makanannya tanpa memperhatikan sekitarnya. Nanum, dia memasang pendengarannya baik-baik. Ben menatap Popy. "Ada Aqlam, dia adalah anak yang baik," ujar Popy mengingatkan Ben. "Anak kecil itu?" Ben mencebikan bibirnya. "Aku ragu dia bisa melindungi putriku dengan tubuh kurus keringnya," ujar Ben. "Dia terlalu keperempuanan." Lanjut Ben ketus. "Huhmm..." Popy tak mau mengambil pusing ucapan suaminya. "Sudahlah Ben...Aqlam itu anaknya baik...kamu seperti tidak mengenal dia saja...dari kecil dia sudah bergaul dengan Chana...dan Chana baik-baik saja...malahan Chana menjadi anak yang pintar berkat Aqlam yang selalu mengajarkannya pelajaran apapun." Ujar Laras, nenek 89 tahun itu. "Benar apa kata nenekmu..." Iqbal, kakek yang sekarang sudah berusia 91 tahun itu mengangguk membenarkan. "Oh...dan nilainya Chana juga bagus...dia peringkat satu terus karena ajaran dari anak itu..." sambung Laras. Iqbal dan Popy manggut-manggut. Sedangkan Ben menelan makananya dengan perasaan dongkol. "Um...eyang...sup tulang sapi ini enak...kakak Aqlam pernah berkata padaku bahwa ini katanya bisa menyehatkan tulang dan sendi dan...em...ah...dan bisa menghambat proses penuaan, ini cocok untuk eyang." Naufal, bocah yang asik dengan makanan sendirinya itu menyuarakan pendapatnya kepada sang nenek buyut, Laras. "Ah...benarkah? Bagikan untuk eyang Laras..." Laras tersenyum antusias. "Baik," Naufal mengangguk lalu dia menyendokan sup tulang sapi ke sebuah mangkuk kecil dan diberikan pada nenek buyutnya. "Ini eyang...masih panas...hati-hati..." ujar Naufal. "Terima kasih Naufal," ujar Laras. "Ok," sahut Naufal sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Laras. "Hahaha...oh lucunya cicitku yang ini..." Laras gemas terhadap Naufal. "Apakah eyang Iqbal mau? Aku akan ambilkan." Naufal menawari kakek buyutnya. "Hm...makanan itu terlalu berat untuk dicerna oleh tubuhku..." jawab pria 91 tahun itu. "Rasanga juga tidak terlalu enak dilidahku," lanjut Iqbal. Naufal menggelengkan kepalanya. "Tidak eyang, kakak Aqlam mengatakan bahwa makan sup tulang sapi baik untuk pencernaan, apalagi kan eyang susah sekali mencerna makanan lain di umur yang sudah begini? Nah...ini sangat baik bagi pencernaan eyang dan juga bisa mengurangi resiko diabetes." Balas Naufal, dia meyakinkan kakek buyutnya. "Em..." Iqbal terlihat berpikir. "Tiba-tiba eyang ingin merasakan rasa sup tulang sapi itu...sudah lama sekali tidak merasakannya..." ujar Iqbal berubah pikiran. "Baik, Naufal akan mengambilkan sup tulang sapi ini untuk eyang." Naufal bersemangat. ♡♡♡ "Kerja bagus, hari ini aku akan mengajarkanmu bagaimana menghitung cepat tanpa menggunakan alat penghitung," ujar Aqlam kepada bocah 6 tahun. Naufal, bocah 6 tahun itu mengangguk semangat. "Ajarkan aku kakak ipar, aku berjanji akan bekerja keras dimasa depan, nama kakak ipar akan selalu harum bagaikan bunga Gardenia nilik nenek Momok di kebun belakang rumah." Ujar Naufal bersemangat. "Baik," Aqlam mengangguk puas. Aqlam mengajarkan Naufal pelajaran matematika, hubungan antara kedua anak lelaki itu bagaikan simbiosis mutualisme. Aqlam yang susah mendapatkan restu dan perhatian dari ayah Chana, membuat dia mendekati Naufal yang merupakan adik dari Chana. Naufal adalah anak yang pintar, dia tahu mana yang bisa diandalkan dan mana yang tidak. Berdasarkan penilaiannya, Aqlam adalah kakak yang baik. Sebab, dari dia bayi merah, Aqlam selalu bermain dan membelikan hadiah untuknya. Naufal selalu memuji Aqlam berdasarkan kejujuran dan kebenaran yang dia lihat, sebagai bentuk terima kasih karena Aqlam telah mengajaknya ke tempat-tempat hiburan anak-anak, Aqlam mengajaknya ke puncak, dan Aqlam membelikannya mainan, bukan hanya itu, Aqlam juga mengajarinya dengan senang hati mengenai permasalahan matematika dan mata pelajaran yang lainnya, Naufal adalah siswa kelas satu sekolah dasar. Setelah pelajaran selesai, Naufal melirik disekitarnya dan memandang serius ke arah Aqlam. "Kakak ipar, aku punya informasi penting untukmu," bisik Naufal sok misterius. Aqlam melihat serius ke arah Naufal. "Informasi apa yang kau dapatkan?" Naufal melirik kiri dan kanannya. Lalu dia berbisik lagi. "Ini tentang papa Ben," Aqlam memandang serius ke arah Naufal. "Langsung saja, jangan berbelit, tidak ada siapa-siapa disini," "Eh?! Hehehehe," Naufal cengegesan. "Ehem," Naufal memperbaiki suaranya agar terlihat tegas. "Begini, rupanya papa Ben bukan hanya tidak suka padamu, papa Ben mengatakan..." Naufal menggantung ucapannya. Wajah serius Aqlam memandang ke arah Naufal. "Papa Ben mengatakan..." Naufal menggantung ucapannya. "Akhir pekan ini aku akan membawamu ke puncak kakek buyutku dan kamu bisa memanen semua buah beri sesukamu," ujar Aqlam serius. Naufal tersenyum lebar, lalu dia membetulkan senyumnya lagi. "Ehem...aku sebenarnya sibuk pada akhir pekan nanti, tapi...tapi karena kakak ipar memaksaku untuk ke puncak kebunmu, yah...aku sebagai adik ipar yang baik hanya bisa menurut saja...kalau diingat-ingat ini sebenarnya sudah musim buah persik...ah sayang sekali kalau tidak dipanen--," "Kau bisa memanen seluruh buah persik yang ada di kebun puncak di vila kecuali pohon persik di kompleks tempat sampah yang berada di sebelah kolam ikan koi, karena itu milik nenek buyutku," suara serius Aqlam memotong ucapan Naufal, bocah 6 tahun itu. Naufal tersenyum hingga sudut bibir-bibirnya hampir menyentuh telinganya. "Baiklah jika kakak ipar memaksaku untuk memanen buah persik di kebun vilamu," ujar Naufal sok cool. "Jadi begini, dua hari yang lalu ketika kakak ipar membawa kak Chana pergi ke rumahmu untuk makan malam, papa Ben menjelek-jelekanmu, papa Ben mengatakan bahwa tubuh dari kakak ipar itu kurus kering sehingga kakak ipar diperkirakan tidak bisa melindungi kak Chana jika ada bahaya dimasa depan, bukan hanya itu, disetiap kesempatan dengan mama Poko yang beruntung saja aku lewat waktu itu, papa Ben terlihat menghasut mama Poko untuk menjauhkanmu dari kak Chana, alasannya bermacam-macam, dari kakak ipar kurus kerempeng, dari tubuh kakak ipar yang pendek dan kecil, sampai keraguan dari papa Ben bahwa kakak ipar ini bukan laki-laki sejati dikarenakan kakak ipar selalu mengerjakan pekerjaan yang menjurus ke keperempuanan, seperti memasak untuk kak Chana, menyetrika baju sekolah kak Chana, membuatkan sarapan untuk kak Chana, dan bahkan merawat bunga-bunga seperti kesukaan para perempuan, kakak ipar terlalu keperempuanan." Ujar Naufal serius. "..." Aqlam terlihat diam, dia sedang memandang serius ke arah Naufal. "Aku terlalu keperempuanan?" "..." Naufal terdiam untuk sementara, dia melihat wajah dari kakak ipar masa depannya. "Em...tapi menurutku kakak ipar itu terlihat perhatian dan pengertian pada kak Chana dan yang lainnya," ujar Naufal setelah melihat ekspresi Aqlam, dia cepat-cepat memilih jalan aman. "Menurutku, kakak ipar cocok untuk menjadi suami masa depan kak Chana," lanjut Naufal meyakinkan Aqlam. Aqlam mengangguk puas dengan ucapan Naufal. ♡♡♡ "Bagaimana menurutmu? Kau suka yang mana?" "Aku suka yang ini, Bas." Atika sedang melihat ke arah halaman majalah yang ia pegang. Nibras, sang suami hanya mengangguk saja. "Aku pikir itu juga bagus," "Tidak, ini tidak cocok untuk umur mereka, warna ini terlalu tua, umur Chana dan Aqlam cocok dengan warna biru yang ini, aku menyukai warna mata Chana, ini adalah baju couple yang indah," bantah Atika. "Yah...atur saja sesukamu," ujar Nibras sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kalau ujung-ujungnya adalah keputusanmu, kenapa harus menanyakan pendapatku?" batin Nibras dongkol. Tak Tak Tak Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Sret Atika dan Nibras menoleh ke arah langkah kaki itu. "Eh?! Oh...Aqlam kamu sudah pulang nak? Sini! Ini ibu sedang memilihkan baju couple untukmu dan Chana," ujar Atika antusias ke arah Aqlam. Aqlam berhenti dan memandang serius ke arah ibunya. "Ibu, aku akan melihatnya nanti, sekarang aku ingin berbicara serius dengan ayah," "Um? Oh...yah...silakan," ujar Atika. Aqlam memandang serius ke arah ayahnya. "Ayah, aku ingin kumpulkan seluruh bodyguard yang Nabhan punya, sekarang." ♡♡♡ Krek "Akh!" Brak Bugh Bagh Kretak "Akh! Akh! Akh!" "Ugh!" Atika memandangi bodyguard-bodyguard Nabhan yang terbaring sambil berteriak kesakitan, mereka semua babak belur. Bagh Bugh "Akh!" Sret Bodyguard terakhir jatuh sambil memegang wajahnya. "Jangan sungkan padaku." Suara anak laki-laki 11 tahun serius ke arah bodyguard-bodyguard itu. Sret Tak Tak Bodyguard yang berada di luar arena pertarungan Nabhan mundur seketika. Nibras dan Farel menelan serentak air ludah mereka. Sedangkan Agri duduk sambil merangkul Lia di pelukannya, dia mengangguk puas dengan cicitnya itu. Aqlam memandang serius ke arah ayah dan kakeknya. "Aku, Aqlam Nailun Nabhan, umur sebelas tahun, berat badan empat puluh lima kilogram dan tinggi seratus lima puluh enam centimeter, mengundang ayahku, Nibras Arelian Nabhan untuk tanding di arena ini." ♡♡♡ Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD