Chapter 6

1615 Words
Sret Streeeet "Dengan begini kamu tidak akan kedinginan," Aqlam memakaikan jaket bulu pada Chana. "Hujan terus...ini sudah dua hari..." ujar Chana sambil memandangi jalanan. Aqlam mengangguk. "Ayo pulang, naik mobilku saja, nanti aku akan menelepon tante Poko kalau kamu naik mobilku," ujar Aqlam. Chana mengangguk. Tak Tak Tak Sret Sang supir dari Nabhan membawakan payung untuk Aqlam, Aqlam menerima payung itu dan dia merangkul Chana. "Ayo." Aqlam dan Chana berjalan memasuki mobil hitam dari kediaman Nabhan. Sementara itu terlihat sebuah mobil berkaca hitam sedang parkir di seberang jalan, terlihat dua orang saling melirik ketika mobil yang dinaiki oleh Aqlam dan Chana telah berjalan. Salah seorang lelaki merogoh ponselnya dan terlihat sedang memanggil seseorang. Beberapa detik kemudian bunyi panggilan tersambung. "Halo, sebaiknya kamu punya alasan yang tepat untuk menyelamatkanmu, kau menggangu waktuku," terdengar suara dingin dari seberang telepon. "Siapa?" terdengar juga suara merdu seorang wanita di seberang. "Orang-orangku," jawab lelaki diseberang telepon kepada wanita itu. "Tuan, nona Ruiz pergi ke sekolah tanpa diikuti oleh pengawal atau keamanan, hanya satu orang supir yang bertugas mengantarnya ke sekolah, namun dia sering pulang dengan mobil seorang teman sekolahnya." Ujar lelaki yang menelepon. "..." Untuk beberapa detik terdengar sunyi di seberang telepon. "Sayang, apa yang kamu inginkan pada Ruiz?" terdengar lelaki diseberang berbicara kepada wanita di sampingnya. "Musnahkan mereka." Jawab wanita itu. Pria itu mengangguk mengerti. Dia berbicara dengan lelaki yang meneleponnya. "Kau dengar apa yang dikatakan oleh istriku?" Pria yang menelepon itu mengangguk meskipun dia tidak terlihat oleh pria diseberang telepon. "Saya dengar, tuan." Pria itu mengangguk puas. "Aku ingin tak ada sisa dari Ruiz." Suara dingin itu mengakhiri panggilan telepon. Klik Pria yang menelepon tadi melirik ke arah temannya, "bergerak secepatnya tanpa sisa, habisi mereka." "Baik." Temannya mengangguk mengerti, lalu mereka melajukan mobil mereka. °°° "Kakek Ran, kapan kakek Ran dan nenek Momok pulang ke Jakarta? Naufal udah kangen sama nenek Momok nih," bocah tujuh tahun itu berkata manja, tangan kirinya memegang telepon dengan layar bergambar lelaki tua dan tangan kanannya memegang sebuah pensil. "Pakai banget kangennya," sambung bocah itu genit. "Hahahaha," terdengar suara tawa geli dari lelaki paruh baya. "Secepatnya, setelah nenekmu selesai menikmati pemandangan di kota Athena lalu nenekmu juga ingin ke Delhi mengunjungi kuil teratai, kakek Ran dan nenek Momok akan pulang ke Jakarta," jawab pria paruh baya itu. "Kakek Ran, Naufal mau ngomong sama nenek Momok, pentiiing banget," ujar Naufal. "Baik," sahut Randra. "Naufal ingin bicara denganmu," terdengar suara lembut. Beberapa detik kemudian suara wanita paruh bayah terdengar. "Opal, ini nenek Momok, Opal bagaimana kabarnya?" "Nenek Momok! Nenek Momok! Opal kangen banget sama nenek Momok! Kapan nenek Momok pulang ke Jakarta? Kabar Opal kesepian!" suara genit itu berubah menjadi suara sedih. Twiiing Dimas, sang kakak sepupu memutarkan bola matanya. "Sok sedih." Celetuk Dimas, tuan muda penerus dari Basri Group. "Hahahaha," terdengar tawa dari seorang anak berusia 12 tahun. Sret Naufal melirik ke arah dua kakak sepupunya yang sebaya itu. "Bilang saja iri denganku, karena disini aku yang paling disayang oleh nenek Momok, heum!" Naufal mendengus. "Pfftt!" Ismail, anak 12 tahun itu menahan tawa. Dimas menggelengkan kepalanya. "Dasar pamer," cibirnya. Naufal tak mempedulikan, dia kembali fokus ke arah layar telepon, pasang raut wajah sedih. "Nenek Momok, lihat itu, kalau tidak ada nenek Momok disini, kak Dimas dan kak Mail selalu mengejek Opal, mereka bilang Opal tukang pamer," "Empft!" wajah Moti menahan tawa, tampang sang cucunya sungguh lucu. "Dimas, Mail, jangan ribut dengan adik Opal yah? Opal kan masih kecil, kalian kan sudah besar, tugas kakak itu untuk menjaga dan melindungi adiknya, jangan mengejek yah?" suara Moti terdengar dari layar ponsel. Piww! Kedua wajah dari anak yang akan naik masa remaja mereka itu berubah masam. "Dasar tukang lapor," Dimas mencibir pelan. Ismail terlihat diam saja sambil mengangguk. "Baik nek, Mail baik- saja kok sama Naufal," ujar anak 12 tahun itu. Moti tersenyum. Naufal memandang ke arah layar dengan wajah sedih. "Nenek Momok, kak Dimas bilang Opal tukang lapor," "Haishmmmp!" Dimas melototkan matanya ke arah Naufal sambil menggeratakan giginya kesal. "Dimas, jangan begitu dengan adik, adik Opal kan masih kecil, jangan berantem yah? Saudara itu harus saling sayang," ujar Moti dari seberang, wanita yang kini telah berusia 64 tahun itu tersenyum. "Iya nek, Dimas ngerti kok, Dimas juga sayang sama Naufal, sayang banget," Sret Hap "Eh?!" Naufal memandang kaget ke arah Dimas yang memeluknya. Ketika pandangan yang ke beberapa detik, wajah Dimas semakin membesar ke arahnya dan... "Mmmmmccccccuuuaaahh!" Sebuah kecupan panjang dari Dimas mendarat di jidat Naufal. "Eh??!" wajah Naufal memerah, dia melototkan matanya ke arah kakak sepupunya. Sret Dengan tangan kanan, Naufal menyentuh tempat kecupan dari Dimas, matanya melotot hampir keluar dari sarangnya. "Kakak Dimas Jorok!" "Ini air liur!" Teriak Naufal membahana di ruang keluarga Basri. "Hahahahahaha!" anggota keluarga Basri yang sedang berkumpul tertawa terpingkal-pingkal. Alan tertawa sambil memegang perutnya, sedangkan Liham membuka lebar mulutnya tertawa, mungkin sebuah kepalan tangan bisa muat di dalam mulutnya. Moti tertawa diseberang, tingkah lucu dari cucu-cucunya adalah suatu hal yang menyenangkan baginya. Naufal berhenti mengikuti mereka berkeliling negara sejak dia berusia lima tahun, karena itu adalah masa Naufal memasuki taman kanak-kanak. Moti dan Randra kembali berkeliling negara berdua saja. Itulah sebabnya Naufal sangat manja kepada kakek dan neneknya, dari bayi merah, dia sudah mengikuti kakek dan neneknya itu. "Iiihh! Kak Dimas jorok! Naufal kan sudah mandi!" bocah tujuh tahun itu memerah wajahnya. "Hahahaha!" Dimas tertawa. "Kan kata nenek Momok, kita sebagai sesama saudara harus saling sayang, aku baru saja mencium sayang wajahmu, huumm...harummm," ujar Dimas. "Masih pakai bedak bayi padahal sudah besar begini," lanjut Dimas. "Hahahaha!" Tawa seisi ruangan. Naufal mencebikan bibirnya kesal, bocah yang merupakan salah satu cucu yang paling cerewet itu memandang dongkol ke arah keluarganya, wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca. "Sudah... sudah...jangan marah lagi yah...nenek Momok akan belikan hadiah untuk Opal kalau pulang ke Jakarta nanti, nanti nenek Momok beli hadiahnya yang paling besar untuk Opal," ujar Moti membujuk cucunya. Naufal yang sedang dongkol itu mengangguk kuat. "Iya nenek Momok, belikan Naufal oleh-oleh yang bagus, yang paling besaaaaaaaarr untuk Opal, biar nggak usah kasih kak Dimas dan yang lainnya," ujar bocah itu mengangkat bangga dagunya. Moti tersenyum hangat. "Baik, nenek Momok akan belikan oleh-oleh yang paling bagus dan yang paling besaaaaaaarr untuk Opal," ujar Moti. "Yaps!" Naufal mengangguk senang, reputasinya sebagai cucu tersayang masih dipegang olehnya. °°° "Bagaimana menurutmu game terbaru ini?" Dimas bertanya ke arah Aqlam, teman sebayanya. "Game ini sangat bagus, banyak ilmu pengetahuan yang kita dapatkan disini, dari bertahan hidup, cara menyerang lawan tanpa senjata dan cara melarikan diri dari hewan buas," Ismail, sang sepupu sebayanya yang menjawab. Dimas mengangguk mengerti. Ismail melirik ke arah Aqlam. "Bukankah benar sang pencipta?" Aqlam tersenyum manis. Sret "Heh?!" Dimas memandang cengo ke arah Aqlam. "Kamu yang..." ucapan Dimas menggantung ketika melihat senyum lebar dari Aqlam. "Wah! Hebat!" Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya takjub memandang ke arah Aqlam. Ismail tertawa geli. "Hehehe, kau baru tahu?" Glung glung Dimas mengangguk. "Sayang sekali ketinggalan informasi," celetuk Ismail. "Yah...apa boleh buat, kau sudah masuk sekolah menengah pertama di umur yang sebelas tahun, dan sekarang kau masuk kelas akselerasi hanya dua tahun, beberapa bulan lagi kau dan kak Chana akan lulus dan masuk SMA, kita yang baru mau masuk SMP bisa apa? Padahal kita umur dua belas tahun sama sepertimu," ujar Dimas. Ismail mengangguk membenarkan. "Jenius memang seperti itu, kalau kita membutuhkan waktu untuk bisa mendapat tahap sepertimu, itu akan susah," Aqlam tersenyum. "Semua orang diberikan kelebihan dan kelemahannya masing-masing oleh Tuhan, kalian hanya melihat sisi kelebihanku tapi tidak melihat sisi kelemahanku," ujar Aqlam bijak. Ismail dan Dimas mengangguk serentak. "Yah...kau bahkan sekarang lebih bijak dari umurmu,"  ujar Dimas. "Aku harus dijewer mamaku dulu baru belajar, setelah dijewer aku diceroros dulu hingga mulut berbusa baru bisa pergi belajar," lanjut Dimas masam sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aqlam dan Ismail tersenyum geli. Alamsyah ditugaskan kembali ke kota Jakarta, dia dipromosikan menjadi Kapolres di Polres Metro Jakarta Pusat. Sebelumnya dia ditugaskan di polres Fak-Fak di Papua Barat menjadi kapolres selama dua tahun. Dia baru saja diangkat menjadi Komisaris Besar setelah 17 tahun dia lulus dari akademi kepolisian, prestasi dan pendidikannya tidak perlu diragukan lagi, dia telah menyandang gelar master ilmu kepolisian dan juga telah mengambil master hukum. "Mail, tolong panggilkan ayahmu ke lantai dua di ruang santai yah? Ada yang perlu dibicarakan," Daimah Rasiyah, perempuan yang berumur 33 tahun itu berbicara ayu pada putra sulungnya. "Baik Bun," sahut Ismail. Sret "Aku panggil ayah dulu, kalian berdua main saja, nanti aku menyusul," ujar Ismail ke arah Aqlam dan Dimas. Dimas dan Aqlam mengangguk ke arah teman sebaya mereka. Tak Tak Tak Ismail keluar dari ruang khusus main game yang ada di kediaman Basri, dia pergi mencari ayahnya. Tak Tak Tak Terdengar suara langkah kaki lain mendekat ke arah Aqlam dan Dimas. "Mas Dimas, mas Mail dimana?" terdengar suara merdu dan ayu dari seorang gadis cilik berusia sembilan tahun ke arah mereka. Dimas dan Aqlam melirik ke arah gadis cilik itu. "Mas-mu sedang ke taman, panggil ayahmu, disuruh bude Asih," jawab Dimas. "Yah...Awa kan ada perlu dengan mas Mail," ujar gadis itu cemberut. "Ada perlu apa memangnya? Apa penting sekali?" tanya Dimas. Marwa, gadis cilik sembilan tahun itu mengangguk. "Tadi siang waktu Awa pulang dari sekolah, terus Awa nemu hp orang, nah...Awa lupa beritahu ayah tentang ini, pas lihat Opal megang hp buat videoan sama eyang putri Momok, baru Awa sadar kalau hp yang Awa nemu belum diberitahu ke ayah, rencana mau dititip sama mas Mail saja supaya dikasih ke ayah," jawab Marwa ayu. "Oh... begitu..." Dimas manggut-manggut. "Tunggu saja mas-mu disini, nanti sebentar lagi dia datang," ujar Dimas. Marwa memandang ke arah Aqlam dan Dimas, lalu dia menggeleng sopan. "Awa titip saja yah hp ini di mas Dimas, nanti tolong bilang mas Mail bawa ke ayah, Awa sudah mengantuk jadi mau tidur saja dengan mbak Chana," ujar Marwa. Dimas mengangguk mengerti. Sret "Mari mas Dimas, mas Aqlam, Awa pergi tidur dulu," ujar Marwa setelah menyerahkan sebuah ponsel hitam ke arah Dimas. Dimas mengangguk mengerti. Sepeninggal Marwa, Dimas memandang ke arah Aqlam. "Dari dulu sudah diajarkan bude Asih kalau tidak boleh berkumpul dengan laki-laki lain selain keluarga," Aqlam mengangguk mengerti. "Aku mengerti, dia tidak enak hati jika duduk disini karena ada aku yang statusnya bukan saudara lelaki darinya," ujar Aqlam. "Nah begitulah, eh! Hp ini nyala!" Dimas berseru ketika melihat layar ponsel yang dia pegang menyala. Terlihat gambar seorang lelaki berwajah bule sedang merangkul mesra gadis cantik. Mata Dimas dan Aqlam melihat ke arah layar ponsel itu. "Ricardo Valentino Marchetti..." Aqlam bergumam. °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD