Chapter 20

1379 Words
"Sayang, aku berjanji, akan ada kesempatan di lain hari," suara bass pria terdengar di dekat telinga dari seorang wanita. "Ya, aku harap waktunya segera tiba." Ujar wanita itu. Pria itu tersenyum. "Itu hanya keberuntungan mereka, yang perempuan mungkin cacat atau bisa mati dimasa depan, untuk yang laki-laki, pasti ada cara," Wanita itu mengangguk. "Berhati-hati dengan Basri, mereka pasti sedang waspada sekarang, mungkin saja mereka tidak akan pernah melonggarkan pengawasan mereka." Ujar wanita itu. Pria itu terlihat mengangguk. "Aku tahu." Tangan pria itu mendekat dan menyentuh bahu wanita itu. "Jadi bisakah kita..." suara serak pria itu terdengar. Cup °°° "Mari Lia kecil yang memindahkannya, ini bagian dari Lia kecil," suara gadis tiga tahun itu terdengar bersemangat ketika dia akan memindahkan sebuah tempat sampah imut yang berbentuk buah anggur. "Uh...manisnya diriku yang kecil ini..." suara tua Lia ketika melihat sang cicit perempuannya berusaha untuk memindahkan tempat sampahnya agar sesuai dengan visi Lia. Sret Sret "Nenek Lia juga manis..." Ujar Lia kecil ke arah sang nenek buyut ketika dia telah memindahkan tempat sampah itu. Lia kecil bahkan tidak mengambil napas dulu, dia memilih membalas ucapan nenek buyutnya. "Huh...huh...huh..." Lia kecil mengambil napas. Agri yang melihat interaksi antara dua orang yang berbeda generasi itu tertawa geli. Dia sangat terhibur dengan adanya sang cicit perempuan. "Ayo nenek Lia, kita akan menaruh makanan di dalam tempat sampah ini, besok kita akan duduk bersantai disini dan menikmati makanan yang sudah kita taruh," ajak Lia kecil. Lia besar mengangguk. "Baiklah..." Lia besar dan Lia kecil mengambil beberapa makanan dan meletakannya  ke dalam tempat sampah berbentuk anggur yang dipindahkan Lia kecil tadi. Pelayan Nabhan yang melihat nyonya besar dan nona kecil mereka itu hanya bisa tersenyum maklum. Kemungkinan sirkuit otak dari Lia besar dan Lia kecil hampir mirip. "Akan sangat sempurna jika ada beberapa macam moci untuk di taruh disini, itu akan sempurna, bagaimana nenek Lia pendapatmu?" tanya Lia kecil ke arah Lia besar. "Uh???" wajah Lia besar penuh dengan tanda tanya. "Moci...?" Lia besar memandang bingung ke arah Lia kecil. "Iya, moci," Lia kecil mengangguk. "Um...diriku yang kecil...apa itu moci?" tanya Lia besar dengan nada ingin tahu ke arah Lia kecil. "Moci adalah makanan yang terbuat dari beras, nenek Lia bisa menyebutkannya dengan kue beras, teksturnya lembut dan agak kenyal, enak sekali, bentuknya bulat seperti bulat pingpong, apakah nenek Lia mengerti?" Lia kecil menjelaskan ke arah Lia besar pengertian dari Moci. Lia besar manggut-manggut. "Oh... rupanya itu adalah bola pingpong yang bisa dimakan..." "Pfft!" pelayan Nabhan menahan tawa, wajah mereka memerah lucu. Setiap hari ada saja tingkah dari nyonya besar dan nona kecil mereka yang membuat mereka tertawa. (*Note : penulis akan memanggil Lia besar untuk Lia tua dan Lia kecil untuk Lia muda.) °°° "Nenek Mali, Nenek Momok, ayo masuk," Aqlam yang sedang duduk di dekat bed rumah sakit Chana itu tersadar bahwa ada kedua nenek dari Chana yang sedang berada di pintu ruang rawat Chana. Mali tersenyum ke arah Aqlam, dia mengangguk dan mendorong kursi roda dari Moti memasuki ruang rawat cucu perempuannya. Moti terlihat memegang sebuah rantang makanan di tangannya. Dibelakang Mali ada Randra yang juga berjalan masuk. Termasuk ketiga anak lelakinya, Alan, Bilal dan Liham. Ketika Mali dan Moti mendekat ke arah Aqlam, Moti tersenyum sambil memberikan rantang makanan yang dia pegang. "Ini, makanan yang nenek Momok buat untuk Aqlam, ah...nenek Mali juga buat, ini untuk Aqlam agar Aqlam cepat sehat." Ujar Moti. Aqlam tersenyum manis ke arah Moti, dia menerima rantang makanan itu. "Terima kasih nenek Momok, terima kasih nenek Mali. Aqlam akan makan makanan ini sampai habis." Ujar Aqlam ke arah Moti dan Mali. "Sama-sama," Moti dan Mali mengangguk serempak. Aqlam tahu bahwa nenek dari Chana sangat mengkhawatirkan dirinya. Dia juga tidak ingin menambah kekhawatiran dari orang-orang terdekat Chana pada dirinya. Sudah cukup Chana yang mereka khawatirkan. Jangan lagi dirinya. "Ada om Alan, om Bilal dan om Liham yang datang, ingin menjenguk kamu juga..." ujar Moti. Aqlam melihat ke arah belakang Mali, terlihat keluarga Moti masuk dan duduk di sofa. Aqlam tersenyum ke arah Randra dan yang lainnya. "Halo om Bilal dan om Liham, bagaimana kabar om? Apakah baik-baik saja?" Bilal dan Liham tersenyum, mereka mengangguk. "Kabar om Bilal baik." "Kabar om Liham juga baik." Timpal Liham ke arah Aqlam. Aqlam mengangguk lalu dia meletakan rantang makanan itu, "Aqlam akan makan makanan yang nenek Momok dan nenek Mali masak, Aqlam akan cuci tangan dulu," ujar Aqlam. Mali dan Moti mengangguk. Aqlam berjalan ke wastafel dan mencuci tangannya. Sementara itu Mali dan Moti mengambil tempat di samping tempat tidur Chana. Sret Moti memegang telapak tangan Chana. Perempuan 64 tahun itu mengusap punggung tangan cucu perempuannya. "Chana...cepat bangun...nenek Momok rindu Chana..." suara serak Moti terdengar sedih. "Nenek Momok udah bawa tanaman origanum untuk Chana...itu tanaman asli dari Yunani...Chana ingin sekali nenek Momok bawakan tanaman asli dari Yunani kan?" mata Moti memerah, air mata tergenang di rongga matanya. "Chana bilang...ingin belajar memasak...hiks...nenek Momok udah bawa tanaman origanum..." suara serak Moti bercampur duka. Tes Tes Air mata itu tak mampu Moti tahan. Dia tidak bisa mengontrol lagi emosinya ketika melihat lagi kondisi cucu perempuannya. "Hmmpp! Hiks! Hiks! Hiks! Katanya mau masak bareng nenek Momok...hiks...hiks...hmmmpp!" Hap Mali memeluk tubuh Moti, dia juga tidak bisa menahan tangis ketika melihat lagi tubuh cucu perempuannya yang sedang terbaring di bed rumah sakit penuh dengan lilitan kain kasa. Randra terlihat sedih, matanya juga memerah, ledakan yang dialami oleh Chana sungguh kuat. Ini adalah keajaiban bahwa cucu perempuannya itu bisa selamat. Chana beruntung, ada Aqlam di tempat kejadian. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada cucunya itu, Chana tak tahu bentuk dari granat yang dia pegang,  yang gadis lima belas tahun itu tahu adalah tabung inhaler yang merupakan obat asma. "Kakek Ran bilang...kakek Ran yang akan jadi juri nanti...hiks...hiks...hiks...." Moti dan Mali saling memeluk sambil terisak. "Momok...ingat tubuhmu...tenangkan dirimu... kamu harus menjaga kesehatanmu...hiks..." ujar Mali dengan suara serak sambil terisak. "Pasti sakit...Chana pasti sakit...sakit itu tidak enak...Momok udah pernah rasa...sakit itu tidak enak...hiks...hiks..hiks..." suara serak Moti. Randra yang mendengar kalimat istrinya itu berubah dingin ekspresinya. Ya, sakit itu tidak enak. Tubuh cucu perempuannya pasti sakit, karena Moti pernah merasakan sakit itu. 46 tahun sudah tragedi itu telah berlalu, istrinya hampir melupakan tragedi itu perlahan-lahan, karena dia dan istrinya keliling negara. Namun, tragedi yang hampir serupa terjadi lagi pada keluarganya. Sang istri yang telah hampir melupakan kenangan buruknya itu teringat lagi. Alan, Bilal dan Liham terlihat sedih. Apa yang terjadi pada ibu mereka, mereka tahu pasti. Itu adalah kenangan yang tidak ingin diingat oleh siapapun. Itu adalah luka pedih. Ibunya adalah wanita yang kuat. Tuhan memberikan mereka ibu yang hebat. Mampu bertahan melahirkan mereka meskipun dalam keadaan cacat permanen. Mampu merawat mereka dengan keterbatasan yang dialami oleh mereka. "Nenek Momok...nenek Momok rawat tanaman Origanumnya Chana...nanti kalau Chana udah bangun dan sehat lagi...Chana bisa rawat..." Aqlam yang mendengar rintihan tangisan dari nenek dari Chana itu mengepalkan kuat kepalan tangannya. "Aku kurang kuat untuk melindungi Chana..." suara jernih Aqlam terdengar. Sret Moti dan Mali menoleh ke arah dimana Aqlam sedang berdiri sekarang. Remaja yang baru saja mencuci tangannya itu menunduk menyesal ke arah Moti dan Mali. "Maaf..." suara Aqlam terdengar serak bercampur sedih. "Hamph!" Moti menahan tangis. Dia mengisyaratkan agar Aqlam mendengat ke arahnya. Tak Tak Tak Hap Ketika Aqlam mendekat, Moti memeluk tubuhnya. "Bukan salah Aqlam...bukan salah Aqlam..." ujar Moti. "Aqlam adalah anak yang kuat...nenek Momok sangat bersyukur ada Aqlam disisi Chana... Aqlam telah melindungi Chana sebisa Aqlam..." Sret Aqlam memeluk erat tubuh Moti. Hap Mali juga bergabung memeluk Aqlam. Dia juga terlihat terisak sedih. °°° "Belum juga ditemukan orang di belakang layar?" suara dingin Farel terdengar. Miki, perempuan 48 tahun itu mengangguk menyesal. "Sinyalnya berada di tengah lautan Pasifik, ada yang memakai jaringan khusus dari radio internasional pacifict ocean, kami mengecek sekali lagi, dan tidak ada riwayat dari negara manapun." Jawab Miki. Wanita bermata sipit itu juga terlihat agak kesal dengan informasi yang dia dapat. Kejadian ini sudah satu minggu, dan dia belum menemukan tersangka utama atau dalang dibalik ledakan granat yang menimpa Aqlam dan juga peristiwa Naufal. Pelaku sungguh lihai dalam pelarian.  Wajah Farel terlihat jelek. "Manusia siapa yang berani-beraninya menyentuh Chana dan cucuku," ujar Farel dingin tanpa ekspresi. Glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi Farel bergesekan. Dia sangat kesal sekali. Sementara Busran, sang adik yang berada di ruang kerja kakaknya itu hanya mengambil tempat diam. Dia terlihat berpikir, siapa sebenarnya musuh yang sangat berpotensi menyebabkan kekacauan ini. Tak Tak Tak Ceklek "Farel! Busran! Dasar anak tidak berbakti!" terdengar suara imut gadis berusia tiga tahun tiba-tiba lari dan menerobos masuk ke dalam ruang kerja Farel. Sret Gadis tiga tahun itu menongka pingganya dengan tangan kiri, dan tangan kanan dia angkat dan menjulurkan jari telunjuknya, wajahnya terlihat tegas dan serius. "Mengabaikan panggilan dari ibu kalian, tidak ada surga bagi kalian!" "Eoh?!!" "..." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD