Chapter 9

1616 Words
"Anak-anak, ibu punya pengumuman penting untuk kalian, dengarkan baik-baik yah." Ujar Rasmi di depan kelas. Seketika ruang kelas itu sunyi dari suara anak-anak. Rasmi tersenyum ke arah anak walinya. "Nah, ini kan sudah memasuki semester dua, setiap tahun sekali akan ada kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah dan bekerja sama dengan beberapa universitas yang ada di sini, karena juga akan adanya pelajaran les tambahan untuk kelas enam, maka kegiatan ini dibuat, yaitu hari Jumat nanti kita akan adakan kegiatan kemping atau kemah di PLTA Saguling nanti," ujar Rasmi memberikan informasi kepada anak-anak didiknya. "Yee!" "Hore!" "Kemping!" "Kemping! Kemping! Kemping!" Sorak-sorakan anak-anak di dalam kelas itu. "Eh, tenang dulu! Tenang dulu, ibu belum selesai pengumuman nya." Ujar Rasmi. Seketika kelas itu sunyi lagi, tidak ada yang bersuara, namun senyum lebar menghiasi bibir mereka, wajah mereka terlihat ceria. "Kegiatan ini akan dilakukan bersama-sama dengan kakak-kakak mahasiswa mapala, yaitu mahasiswa pencinta alam dari beberapa fakultas yang ada, nah! Nanti kalian akan dibagi dalam kelompok oleh kakak instruktur Kara, terserah kalian mau memilih siapa saja, bebas." "Yeee!" "Hore!" "Bebas! Bebas! Bebas!" "Luky, kau denganku! Kita bikin geng!" "Andri! Kita juga jangan mau kalah!" "Ok! Jangan mau kalah!" Sorak-sorakan dari anak-anak itu. Rasmi tertawa geli, anak-anak didiknya sangat antusias. "Hei, masih ada pengumuman lagi." Ujar Rasmi. Seisi kelas itupun sunyi. "Kalian juga bisa belajar di tempat itu, nanti kakak-kakak mahasiswa akan membawa kalian untuk keliling daerah itu dan akan mengajarkan kalian beberapa keahlian yang tidak diajarkan di sekolah, seperti bertahan hidup dihutan, mencari makanan, dan sebagainya, ah! Ada satu lagi pengumuman, jika ada yang tidak ingin pergi, tidak apa-apa, nanti ibu akan memberikan surat ijin dan pemberitahuan kepada orang tua kalian, tanda tangani dan contreng tanda 'mengijinkan', jika tidak mengijinkan, contreng tanda keberatan, besok kalian akan bawa surat ijin ini kembali kepada ibu agar ibu mendata siapa-siapa saja yang akan pergi dalam kegiatan ini, paham anak-anak?" ujar Rasmi menjelaskan. "Paham Bu." Anak-anak menyahut. "Baik, sekarang persiapan untuk pulang." "Hore!" "Ye!" °°° "Naufal, apalagi yang mau kamu bawa ke perkemahan nanti?" Popy bertanya sambil memeriksa barang-barang yang akan dibawa oleh putranya ke acara kemping. Kemarin Naufal memberikan surat pemberitahuan dan ijin untuk kegiatan perkemahan. Popy dan Ben memberi ijin karena mereka tahu bahwa putra mereka itu sangat menyukai acara kemping atau kemah. "Seharusnya semuanya sudah siap mama, jaket anti hujan sekaligus anti dingin sudah dilipat papa Ben, persediaan makanan ringan sudah, minuman sudah, pakaian dalam dan kaus kaki sudah," ujar Naufal. "Apa harus mama Poko nyuruh mang Ujang buat masukan rumah kemah?" tanya Popy. Naufal menggeleng. "Tidak perlu mama Poko, nanti sekolah yang menyediakan rumah kemah," ujar Naufal. "Ibu Rasmi bilang, tenda perkemahan kita akan dibangun oleh kakak-kakak mahasiswa yang akan bergabung dalam kegiatan kita." Naufal menjelaskan. Popy mengangguk. "Oh...mama Poko kira siswa harus bawa tenda mereka sendiri," Popy melihat ke arah Naufal. "Nanti kamu sering lihat dan jaga mbak Awa-mu yah? Mbak Awa kan siswa baru, jadi dia masih terasa asing dengan sekitarnya, apalagi kalian kali ini akan berkemah di Bandung, disana kan mbak Awa-mu baru pergi sekali, itupun sudah lama waktu masih kecil." Ujar Popy. "Ok, mama Poko." Naufal mengedipkan sebelah matanya. "Tiga hari kan disana?" Popy bertanya. Naufal menggeleng. "Dua hari, hari Jumat pergi dan hari minggu kita pulang," jawab Naufal. Popy manggut-manggut. "Nanti mama Poko telepon om Alan buat jenguk kamu kalau sudah sampai di tempat kemah," ujar Popy. Naufal manggut-manggut. "Ok," dia mengedipkan sebelah matanya ke arah Popy. Popy tersenyum ke arah putranya. "Oh, iya, bagaimana dengan anak yang bernama Jonathan itu? Apa dia masih menganggu kamu lagi atau tidak?" Popy bertanya penasaran ke arah anaknya. Naufal menggeleng. "Kita sekarang sudah jadi teman, dia tidak menggangu Nauf lagi dan mbak Awa, kita sekarang sering makan siang bersama," jawab Naufal. Popy manggut-manggut. "Oh begitu yah...memang seharusnya seperti itu, kalian saling jalan sama-sama, jangan nakal-nakal lagi," ujar Popy. Naufal mengangguk. "Tentu saja, Jonathan juga tidak berani mengganggu Naufal lagi, dia kan sudah pernah merasakan kepalan ini," ujar Naufal sambil mengusap lembut kepalan tangannya. "Hahahahahaha!" Popy terbahak-bahak. "Ada untungnya juga sebenarnya kamu belajar karate dari kakek Ran," ujar Popy. Naufal mengangguk. "Ya. Untung saja kakek Naufal itu kakek Ran," timpal Naufal. Popy tersenyum geli. "Tidak ada yang bisa mengalahkan kakek Ran." Ujar Naufal bangga. "Hehehehe," Popy terkekeh geli. Putranya ini paling lengket dengan kedua orang tuanya. Sret Ben terlihat mengangkat sebuah tas ransel anti air dan melihat ke arah anaknya. "Semua sudah siap, papa Ben sudah menyiapkan obat anti nyamuk, kotak pertolongan pertama ada di ranselmu, papa Ben menyisihkannya di saku jaket anti air, ada minyak kayu putih untuk berjaga-jaga jika masuk angin." Ujar Ben. Naufal mengangguk mengerti. "Di celana hitam ada perlengkapan lainnya, ada pisau kecil untuk berjaga-jaga ketika di hutan, meskipun kamu berkemah tak jauh dari keramaian tetapi disana tetap tempat berhutan," ujar Ben memandang serius ke arah anaknya. "Siap," ujar Naufal. Ben mengangguk mengerti, "pakai topimu, perjalanan agak jauh dari Jakarta ke Bandung." Naufal menuruti. Ben mengantarkan putranya ke sekolah tempat Naufal dan siswa lainnya berkumpul untuk melakukan kegiatan perkemahan tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Basri dan mahasiswa pencinta alam. °°° "Awa, nanti jangan jauh-jauh dari Naufal yah? Harus dekat-dekat Naufal terus," ujar Daimah ke arah putrinya. "Baik bunda." Sahut Marwa. "Kalau ada yang panggil kamu untuk pergi jauh-jauh dari tempat kemah, jangan diikuti, kalau ada Naufal nggak apa-apa, kalau malam nanti kamu perlu sesuatu bilang saja ke adikmu Naufal, tidak apa-apa, bunda sudah telepon Naufal tadi." Ujar Daimah. Marwa mengangguk mengerti. "Ayo, ayah dan bunda ngantar kamu ke sekolah, disana ada bus sekolah yang antar ke Bandung. Harus sampai di sana jam delapan, soalnya ada yang harus sholat Jumat juga." Daimah masuk ke dalam mobil, dia membawakan tas ransel milik Marwa, terlihat Alamsyah sudah ada di jok kemudi, Marwa mengikuti ibunya duduk di belakang, sementara itu Ismail terlihat memasuki jok depan. "Bunda tidak duduk di depan?" tanya Ismail. Daimah menggeleng. "Dibelakang saja, ibu mau lihat persediaan diajengmu." (*Diajeng adalah panggilan adik dalam bahasa Jawa.) Dimas mengangguk mengerti. "Kali ini lumayan jauh yah kalian, di Bandung. Dulu mas di Fak-Fak tidak sejauh sekolah kamu, kita kemahnya di belakang sekolah saja." Ujar Dimas. "Awa juga tidak tahu, mas." Sahut Marwa. "Awa baru sekali ke Bandung, itupun juga sudah lama, sekarang tidak tahu apa-apa di daerah itu." Ujar Marwa. "Disana ada sepupu ayah, nanti kalau ada apa-apa ayah telepon om Alan untuk melihatmu, ada juga teman-teman ayah disana," Alamsyah melirik ke belakang. "Baik ayah." Sahut Marwa mengerti. "Kemarin-kemarin kamu ke rumah temanmu yang cari masalah dengan Naufal kan?" tanya Ismail. Marwa mengangguk. "Iya, dia sudah minta maaf, kita juga sudah rukun." Ismail melirik ke arah ayahnya dan mengangguk mengerti. Alamsyah menginjak gas dan mobil melaju keluar dari gerbang rumah mereka. "Awa, kok kamu bawa jaketnya dua?" Daimah bertanya bingung. "Apa kamu salah masukin jaket ini?" "Satunya untuk Sehat, waktu mau berkemah, dia bilang tidak mau ikut karena tidak ada perlengkapan kemah, jadi ada beberapa barang yang Awa bawa dua, seperti jaket anti air, kaus kaki dua pasang, dan perlengkapan yang lainnya." Jawab Marwa ayu. Daimah manggut-manggut. Sedangkan Alamsyah mengerutkan keningnya. "Tidak ada perlengkapan kemah?" batin Alamsyah. Dia ragu-ragu ketika mendengar jawaban dari putrinya. Beberapa hari ini dia perhatikan ketika menjemput putrinya pulang dari sekolah, dia juga mengantarkan Sehat pulang ke rumah, namun sudah tiga kali Sehat minta diturunkan di depan gang rumahnya saja, tidak seperti yang pertama dia mengantarkannya. Naluri Alamsyah terlihat waspada, ada yang aneh dari anak itu. "Apa orang tuanya lupa membelikan perlengkapan kemah untuk Sehat? Atau orang tuanya tidak mengijinkan sehat ikut kegiatan kemah?" Daimah bertanya ke arah anaknya. "Um..." Marwa terlihat berpikir. "Kalau itu...Awa tidak tahu...yang Awa tahu hanya Sehat bilang tidak mau ikut karena tidak punya alat kemah." Jawab Marwa. "Jadi Awa bilang kalau Awa punya dua atau tiga alat-alat kemah, ayah juga punya banyak, mas Mail juga punya, jadi Awa pinjamkan untuk Sehat." Lanjut Marwa. "Oh..." Daimah manggut-manggut. Dia terlihat senang-senang saja dengan pertemanan putrinya, sejauh yang dia tahu, Sehat menjadi teman yang dekat dengan putrinya, dia juga senang. Mobil yang mereka naik melaju ke arah sekolah Marwa yang baru dua minggu dia sekolah di situ. °°° "Apa yang kamu pilih untuk Naufal?" Randra bertanya lembut ke arah Moti. Moti mendongak dan tersenyum lebar ke arah suaminya. "Kantung tidur serbaguna," "Kantung tidur serba guna?" Randra menaikan sebelah alisnya. Glung glung Moti mengangguk antusias. "Opal senang sekali berkemah, dia tadi malam meneleponku bahwa dia akan pergi berkemah ke Bandung, Momok beli kantung tidur untuk Opal saja," "Ah! Opal ingin hadiah besar dari Momok, jadi kantung tidur kan besar dan bagus," sambung Moti tersenyum ria. Randra manggut-manggut. Dia melihat ke arah kantung tidur serba guna yang ada di genggaman istrinya, Moti terlihat antusias  memegang kantung tidur serbaguna itu. Dia tersenyum hangat. Ini yang dia inginkan dari kehidupannya. Mereka terbang dengan pesawat pribadi Randra dari Athena menuju ke Delhi tiga hari yang lalu, dia tidak sempat menanyakan apa-apa saja yang dibeli istrinya untuk sang cucu yang super cerewet itu karena mereka kelelahan, istrinya ingin melihat beberapa bangunan terkenal di Delhi jadi Randra menunda pertanyaannya. Setelah Naufal menelepon dirinya bahwa cucunya dikatakan 'anak sialan dan anak terkutuk', Randra merubah ekspresi wajahnya menjadi menyeramkan. Dia menelepon putranya, Alan untuk mengurus masalah tentang Marchetti Group. Marchetti Group adalah perusahaan dari Italia yang berbasis pada produksi alat-alat perlengkapan pesawat terbang, jangkauan bisnis dari Marchetti Group sudah meliputi Indonesia. Setelah menelepon Alan,  malamnya, Popy menelepon ayahnya dan mengatakan bahwa itu hanya masalah kecil, tidak perlu diperpanjang lagi. Jadi masalah itu dianggap selesai oleh Popy dan Randra. Setelah beberapa saat. "Um...kayaknya Momok ada lupa sesuatu deh...tapi apa yah?" wajah bingung Moti. "Apa yang ingin kamu ingat?" Randra jongkok di depan kursi roda istrinya. "Ada sesuatu yang penting...tapi kayaknya Momok lupa...Aqlam...em...ah! Sekarang Momok ingat! Aduh! Momok udah pikun-pikun! Hiiiiiss!" gemas Moti. Plok Dia menepuk jidatnya gemas. Randra tersenyum geli, "apa yang kamu ingat?" "Beberapa hari lagi ulang tahun om Agri yang ke seratus, jadi Momok mau milih hadiah buah om Agri, sekalian buat tante Lia juga!" "Kita pilih hadiahnya disini saja, Momok udah lupa, kalau aja Momok ingat, kita bisa pilih hadiah untuk om Agri dan tante Lia waktu di Athena aja," "Dasar Momok...tukang pikun-pikun...hiiiss..." Momok gemas pada dirinya sendiri. Randra mengangguk mengerti. Dia tersenyum geli ke arah istrinya. "Baik, kita akan pilih hadiah untuk orang tua Busran." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD