Chapter 10

1687 Words
"Huuuh! Akhirnya kita sampai juga," Naufal turun dari bus yang dia Naiki selama tiga jam Dia menengok mencari-cari seseorang, ketika matanya menangkap dua orang gadis berusia sembilan tahun turun dari bus, dia mengangguk puas, rupanya kakak sepupunya ada, tidak hilang dari pandangan, sesuai dengan amanat dari ibu dan juga pamannya. "Ayo semuanya! Kita berkumpul, istirahat dulu, ini baru jam sebelas siang siang, kakak-kakak yang muslim akan solat Jumat, nanti kalian akan ditemani oleh kakak yang lain." Ujar instruktur yang ditugaskan oleh pihak sekolah. "Baik kak." Sahut anak-anak. "Kalian akan istirahat selama beberapa jam, jam tiga nanti kita akan sama-sama membangun tenda dan perkemahannya, mengerti?" seorang instruktur perempuan memberi informasi kepada seluruh siswa sekolah dasar yang telah turun dari bus. "Mengerti kak!" jawab siswa-siswi serentak. Beberapa jam kemudian waktu menandakan bahwa sudah malam. Matahari akan segera tenggelam beberapa menit lagi, terlihat anak-anak sedang berkumpul sambil makan malam. Sret Jonathan dan dua temannya, Amar dan Christian datang dan duduk di samping Naufal. Naufal menoleh ke arah Jonathan, dia tersenyum. "Naufal, ibuku menitipkan camilan ini untukmu dan juga Awa," Jonathan memberikan sebuah kresek pada Naufal. "Terima kasih," Naufal meraih kresek itu. Marwa yang baru saja datang melihat isi dari kresek itu. "Wah...ini kripik ubi jalar!" ujar Marwa antusias. Dia mendongak ke arah Jonathan. "Terima kasih Vano," ujar Marwa ayu. Jonathan tersenyum lebar sambil mengangguk. Kemudian dia ingin mengatakan maksudnya yang lain selain membawakan titipan dari ibunya. "Aku...bolehkah aku dan teman-temanku gabung bersama kalian saja?" ujar Jonathan. Naufal tanpa berpikir panjang langsung mengangguk. "Kenapa tidak? Kita kan teman." "Dan instruktur Kara juga sudah membagi kita menjadi satu kelompok." Lanjut Naufal. Jonathan dan dua temannya tersenyum senang. Mereka sedang membuka menu makan malam mereka, namun terlihat seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun mendekati mereka, dia mendekat ke arah Naufal. "Naufal, kakak instruktur Kara memanggilmu," ujar bocah itu. Naufal mendongak ke arah bocah itu. "Dimana?" "Katanya di sebelah area tiga, di belakangnya mungkin, karena Sani yang memberitahukan ku bahwa kamu dipanggil kakak instruktur Kara." Jawab bocah itu. Naufal melihat ke arah teman-temannya, lalu ke arah menu makanan malam mereka, dia mengangguk mengerti. "Baik, aku akan pergi." "Katanya sekarang," ujar bocah itu. "Penting sekali katanya," sambung bocah itu. "Baik." Sahut Naufal sambil mengangguk. Bocah itu berjalan ke arah kemahnya dan kelompoknya. Marwa menoleh ke arah adik sepupunya. "Di belakang area tiga? Bukankah itu di pinggir sungai?" Naufal mengangguk. "Tapi ini matahari sudah tenggelam, untuk apa kamu dipanggil kesana?" Jonathan bertanya bingung. "Mungkin ada yang penting," jawab Naufal. "Tadi kau dengar kakak Robi sendiri yang bilang kan?" Marwa dan yang lainnya mengangguk mengerti. "Kalau begitu kita akan menemanimu dulu, lalu setelah kembali dari instruktur Kara, kita akan makan malam, bagaimana?" usul Jonathan. "Itu ide yang bagus, kita kan satu kelompok, jadi harus sama-sama dan saling melengkapi," ujar Marwa. Teman-teman yang lainnya menganggukkan kepala mereka, termasuk Sehat Annisa yang pendiam dan penakut itu. "Baik." Sahut Naufal. Mereka membatalkan dulu acara makan malam mereka dikarenakan Naufal dipanggil oleh instruktur dari mereka. "Bawa senter, aku akan melapor pada kakak Cici kalau kita akan menemui instruktur Kara." Ujar Naufal. Marwa dan yang lainnya mengangguk. Naufal mendekati kakak yang bernama Cici, dia merupakan pengawas di kelompok mereka. "Kakak Cici, aku dan teman-teman akan menemui instruktur Kara, aku dipanggil oleh instruktur Kara, kami berenam," ujar Naufal. Cici, gadis yang berumur 24 tahun itu mendongak ke arah Naufal, dia menurunkan mangkuk mie instan yang dia makan. "Kakak akan menemani kalian," ujar Cici. Naufal menggeleng setelah melihat apa yang dipegang oleh kakak pengawasnya. "Tidak perlu kak, kakak Cici makan saja, tidak baik makan setengah-setengah, kami akan segera kembali," ujar Naufal. "Um..." Cici terlihat berpikir, dia melihat ke arah mangkuk mie instannya yang sudah mulai membengkak mie-nya. "Baik, hati-hati, setelah kakak selesai makan, kakak Cici akan menyusul kalian, di tenda instruktur Kara, kan?" tanya Cici. Naufal menggeleng. "Bukan, di belakang area tiga," jawab Naufal. "Hah?!" Cici terbingung. "Area tiga? Tapi itu kan agak jauh..." ujar Cici sambil berpikir. "Ya, memang agak jauh, namun tidak apa-apa, kami harus cepat, aku khawatir kami akan terlambat," ujar Naufal. "Menurut instruktur Kara, ini sangat penting." Cici ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu, namun mengingat bahwa Naufal harus cepat, dia menganggukkan kepalanya. Sepeninggal Naufal, Cici merasa ada sesuatu yang aneh. Dia kehilangan selera makannya, entah apa yang dia rasakan. Seperti kegelisahan, detak jantungnya bergerak kuat tak menentu, seperti ada bisikan di hatinya bahwa dia harus menyusul anak-anak dibawah pengawasannya. Dia melihat lagi ke arah mangkuk mie instannya. "Habiskan secepatnya lalu aku menyusul mereka." Gumam gadis 24 tahun itu. Lalu dia meraih mangkuk mie instan dan memakannya secepat yang dia bisa. Naufal menghampiri teman-temannya sambil membawa senter. "Ayo." Enam orang anak itu berjalan menjauh dari perkemahan dan mendekati hutan yang sedikit curam, disana ada sebuah aliran sungai tempat mengambil air dari orang-orang yang berkemah. Matahari telah tenggelam tidak ada menyisakan sedikit cahayanya, Naufal memimpin jalan, setelah beberapa menit, mereka menuruni tempat yang sedikit curam itu. Sebelum sampai di sungai, mereka berjarak sekitar sepuluh meter, Naufal berhenti. Dia memandangi sekelilingnya. Sunyi. Itu yang dirasakan oleh Naufal dan teman-temannya. Sehat terlihat ketakutan karena suasana yang gelap meskipun mereka menggunakan senter baterai. Dia merangkul erat tangan Marwa. Sedangkan Jonathan memperhatikan sekelilingnya. "Kakak instruktur Kara! Kami disini!" Jonathan membuka suaranya. "..." Tidak ada sahutan. "Aneh, bukankah tadi kakak Robi bilang kalau instruktur Kara ada di belakang area tiga?" Jonathan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Amar dan Christian mengangguk. "Benar," sahut mereka serentak. "Ayo jalan lagi," ujar Jonathan. Tak Tak Tak Yang lainnya mengangguk, ketika mereka berjalan beberapa langkah, Naufal bersuara. "Berhenti." Sret Jonathan dan yang lainnya berhenti berjalan. "Ada apa Naufal?" tanya Jonathan. Naufal memperhatikan sekelilingnya, dia menerangi area di sekitarnya, terdapat siluet seseorang di pinggir batu sungai. Naufal menajamkan penglihatannya, ada yang bergerak-gerak dan dia mendengar bunyi aliran air bercampur dengan suara seseorang yang tidak jelas. Ada yang janggal disekitarnya, rasa sunyinya bukan seperti alami, dia mendengar ada suara sesuatu yang melewati semak-semak dan tanah disekitarnya. Nalurinya mengatakan bahwa berhenti berjalan dan mengatakan bahwa mereka harus berbalik. Namun dia penasaran dengan siluet orang itu. Setelah dia maju selangkah, dia melihat jelas objek yang berjarak delapan meter darinya itu. Matanya membulat lebar, ada cairan gelap disekitar batu itu. "Lari!" °°° "Loh Aqlam, kok kita nggak langsung pulang?" Chana bertanya ke arah Aqlam. "Kita akan singgah di restoran jepang dulu, bukankah kamu mengatakan padaku bahwa kamu lelah karena terus belajar untuk persiapan ujian nanti? Jadi kita harus menyegarkan pikiran dan otak kita, terlalu belajar itu tidak baik." Jawab Aqlam. Chana manggut-manggut. "Kamu benar, hari ini kita belajar sampai hampir jam tujuh, kepalaku sakit karena angka-angka bercampur huruf selalu dilihat di buku pelajaran les, huuh..." Chana menghembuskan napas frustasi karena belajar. Mereka akan ujian nasional dua bulan lagi, jadi persiapan belajar mereka harus kuat. Beberapa saat kemudian mereka sampai di restoran. Chana dan Aqlam duduk berhadapan. "Chana, hari Senin adalah hari ulang tahun kakek buyutku yang ke seratus, kami akan adakan di sebuah gedung milik Nabhan, nanti aku akan menjemputmu pada jam enam sore," Aqlam memandang ke arah Chana yang sedang menerima ice cream nya. Glung glung Chana mengangguk. "Kakek Agri sudah satu abad yah! Hebat!" Chana memandang takjub ke arah Aqlam. Aqlam tersenyum manis. "Aku juga ingin hidup bersamamu selama satu abad," ujarnya lembut. Wajah Chana memereh tersipu malu, dia melanjutkan makan ice cream stoberi yang dia punya. Aqlam tahu bahwa Chana tersipu malu, jadi dia tidak melanjutkan percakapannya lagi dan mencicipi ice cream yang dia punya. Setelah beberapa saat, Chana ingin memesan makanan lain. Dia mendongak ke arah bocah 12 tahun didepannya. "Aqlam, makan steak sapi Kobe, Chana pengen makan," Aqlam mengangguk mengerti. "Baik, tunggu disini, aku akan bilang pada pelayan." Glung glung Chana mengangguk. Aqlam berdiri dari kursinya dan mendekat ke arah pelayan. Beberapa detik setelah kepergian Aqlam, seorang wanita cantik mendekat ke arah Chana. "Permisi nona manis, apakah kau tahu dimana aku bisa menemukan paviliun khusus untuk pengunjung di restoran ini?" wanita cantik itu bertanya. "Paviliun khusus untuk pengunjung?" Chana terlihat mengingat-ingat. Wanita cantik itu mengangguk. "Ya, paviliun khusus, aku ingin makan dalam suasana damai tanpa gangguan," Chana terlihat berpikir, "mungkin pelayan disini tahu, aku tidak begitu paham letak restoran ini," ujar Chana. Wanita cantik itu tersenyum manis. "Maukah kamu menemaniku?" "Um..." Chana melihat ke arah Aqlam yang masih berbicara dengan pelayan atau mungkin orang yang bertanggung jawab dengan restoran ini. Glung glung "Baik." Ujar Chana tanpa keberatan. Wanita cantik itu tersenyum senang. "Terima kasih nona cantik, kau boleh memanggilku Alice, aku datang kesini untuk berlibur, aku belum terlalu tahu mengenai kota dan tempat ini," ujar wanita cantik yang bernama Alice itu. Chana mengangguk, "kakak bisa memanggilku Chana," Chana berdiri dari kursinya. "Ah Chana...nama yang indah, seindah orangnya," wanita yang bernama Alice itu memandangi wajah mulus dan indah dari Chana, tak tahu mengapa dia mengepalkan kepalan tangannya. "Terlalu cantik." Gumam Alice pelan tanpa di dengar oleh Chana. Sret Dia meremas kuat paper bag yang dia pegang. Ketika Chana ingin mengajaknya berjalan untuk menanyakan dimana letak tempat paviliun khusus, Alice menghentikannya. "Chana," Sret "Ya?" Chana menoleh ke arah Alice. Alice tersenyum manis. Sret Dia menyodorkan paper bag yang dia pegang. "Bolehkah kau membantuku untuk membawakan paper bag ini? Jari-jariku agak kram," ujar Alice. Chana melihat ke arah paper bag itu, tanpa pikir panjang dia mengangguk. Sret Chana mengambil paper bag itu, ketika dia akan berjalan, Alice memanggilnya lagi. "Chana," "Ya?" sahut Chana lagi, dia menoleh ke arah Alice. "Bisakah kau menolongku? Sepertinya penyakit asmaku kambuh," ujar Alice. Chana mengangguk, "apa yang perlu aku bantu?" Alice tersenyum manis, dia menunjuk ke arah paper bag dengan dagunya. "Tolong ambilkan tabung inhalerku di paper bag itu," Chana mengangguk, dia bekerja cepat mengingat bahwa orang yang disampingnya ini punya penyakit asma. Dia merogoh sebuah benda hitam yang muat di telapak tangannya. Sret "Apakah benda ini?" Chana memandang ke arah Alice. Ketika melihat benda hitam yang dipegang oleh Chana, senyum Alice melebar hingga hampir menyentuh sisi telinganya. Dia mengangguk sambil menaikan sebelah alisnya. Aqlam telah selesai berbicara dengan pelayan restoran, dia berbalik ke arah tempat mereka duduk, namun tidak menemukan Chana di kursi, lalu dia melirik ke arah kiri, terlihat Chana sedang berbicara dengan seorang wanita cantik, dia memegang sebuah paper bag warna hitam, di tangan Chana ada sebuah benda yang seukuran telapak tangan anak kecil. Chana terlihat memegang bagian atas benda itu. Sret Mata Aqlam membulat sempurna. Dia berlari ke arah Chana. Tak Tak Tak Alice memandangi wajah Chana serius. "Tarik tutup yang ada pada benda itu." Ujar Alice. Sret Chana menarik tutup benda itu. Shh "Chana!" Terdengar teriakan Aqlam. Tak Tak Tak Sret Alice terlihat menjauh dari tubuh Chana, dia tersenyum manis. "Kamu terlalu cantik, dan aku tidak suka ada sainganku hidup." Alice keluar dari pintu restoran dan tersenyum lebar. "Buang itu!" Aqlam berteriak diujung paru-parunya. "Ah?!" Chana melihat bingung ke arah Alice yang meninggalkannya lalu ke arah Aqlam yang berlari ke arahnya dengan wajah kaku bercampur panik. Tak Tak Tak "Buang itu!" Aqlam mendekat. "Granat!" suara Aqlam menggelegar di seisi restoran. Chana melihat ke arah tangannya. Tak Tak Tak Sret Wush BOOOM! °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD