Chapter 42

1677 Words
Bilal, jaksa yang berusia 35 tahun itu duduk terdiam sudah setengah jam setelah dia mendengar kabar dari keluarganya. Kenapa begitu banyak musibah terjadi pada keluarga mereka? Kenapa sang ibu yang terus-menerus menerima musibah itu? Kenapa hanya ibunya yang tersisa selama dia hidup?  Batin Bilal menangis. Sebagai anak, dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Tak bisa menerima bahwa sang ibu sakit lagi.  Miranda memeluknya dari belakang. "Kita akan pergi melihat bunda dan Chana,"  Bilal terlihat diam. Dia tidak punya nafsu untuk bicara. "Bilal, aku akan menyiapkan keperluan kita ke Jakarta," ujar Miranda, dia mengecup pipi suaminya lalu setelah itu melepaskan pelukannya. Dia mulai menyiapkan keperluan untuk mereka pergi. "Aku harus menelepon rumah sakit untuk minta cuti, tapi aku rasa ini tidak bisa aku lakukan, jadi aku akan titipkan pada temanku saja," ujar Miranda.  Bilal terlihat diam. Miranda mengerti perasaan suaminya. Setelah dia mengambil apa yang di perlukan, dia pergi ke kamar dua anak laki-lakinya. "Amran, Askan!" "Ya, ma?" Dua anak laki-laki Bilal dan Miranda menyahut. "Kita akan ke Jakarta, mandi," "Yeeee!" dua saudara itu tertawa senang. "Nenek Momok dan kakak Chana sakit," "..." Dua saudara itu tiba-tiba terdiam.  °°° Liham sedang pusing. Istrinya baru saja masuk rumah sakit hari ini karena kontraksi melahirkan, dan baru saja mendengar kabar buruk dari keluarganya. Wajahnya dipenuhi oleh keringat dingin. Keringat kekhawatiran.  Aran terlihat mengakhiri panggilan. Dia melihat ke arah anak menantunya yang sedang berdiri memperlihatkan wajah frustasi. "Ada apa?" Elizabeth bertanya ke arah suaminya. Aran menoleh ke arah istrinya. "Chana sudah bangun dari koma," Senyum syukur menghiasi bibir Elisabeth. "Alhamdulillah," "Chana hilang ingatan, tangannya cacat tak bisa digerakkan,"  Senyum Elizabeth kaku. "Moti stroke," Aran menutup matanya. Elizabeth menoleh ke arah Liham. Pantas saja wajah menantunya terlihat tidak bagus. "Cucu dan menantu Busran menjadi ledakan bom mobil," "Bom lagi?" Elizabeth terlihat syok. Dia menutup mulutnya agar tidak berteriak. Aran membuka mata, rahangnya mengerat. "Semua anak-anak Nabhan dan Basri jadi sasaran orang tidak dikenal," "Oh God," Elizabeth terlihat menarik dan menghembuskan napas.  "Kali ini cucu Busran yang mana?" tanya Elizabeth setelah menguasai emosinya. "Anak Gaishan dan anak perempuan Bushra, target mereka anak perempuan Bushra," jawab Aran. "Anak yang berumur tiga tahun itu jadi sasaran bom?" mata Elizabeth melotot syok. Aran mengangguk. Elizabeth memijit pelipisnya, dia terlihat mencerna kabar yang terjadi. "Situasi apa yang terjadi disana? Tunggu, kau bilang anak-anak Basri dan Nabhan menjadi sasaran orang yang tidak dikenal?" Elizabeth melihat ke arah suaminya. "Egon juga anak Basri, cucu kita juga anak Basri, Aran." Aran dan Liham saling melihat. Aran cepat-cepat menelepon anak buahnya. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Ya tuan?" "Dimana cucuku?" tanpa basa-basi Aran bertanya. "Tuan muda sedang tidur siang," jawab dari seberang. "Perketat penjagaan di rumah, jangan biarkan cucuku bermain ke luar, ada masalah apapun lapor aku," perintah Aran. "Baik, tuan." Sahut orang di seberang. Aran mengakhiri panggilannya. Dia melihat ke arah Liham. "Egon tidur siang,"  Liham mengangguk mengerti, sedangkan Elizabeth bernapas lega. °°° "Em," suara serak imut Lia kecil terdengar. Dia baru saja bangun tidur. Ah, tepatnya bangun dari pengaruh obat bius penenang. "Kakek Busran ....." nama pertama yang dipanggil oleh gadis itu. Busran yang sedang berbicara dengan anak buahnya menoleh ke arah sang cucu yang baru membuka mata. Dia berjalan cepat ke arah cucu perempuannya. Lia kecil ingin digendong oleh sang kakek. Busran menggendong cucu perempuannya, dia mengecup pipi Lia kecil. "Apakah Lia kecil lapar, hm?" tanya Busran lembut. Lia kecil mengangguk. "Ariel lapar, kakek Busran ...." jawab gadis tiga tahun itu pelan. Dia memeluk sang kakek tanpa niat melepaskan, Busran dapat melihat bahwa kali ini perubahan dari sang cucu sangat intens setelah kejadian tadi sore. "Baik, apa yang ingin Ariel makan, hm?"  "Um, Ariel ingin makan ... soupe a l’oignon ...." Jawab gadis cilik itu pelan di dalam pelukan sang kakek. Busran mengangguk mengerti, ini Ariella yang ingin makan makanan Prancis. "Um ... kakek," panggil Lia kecil takut-takut. "Ya?" Busran menyahut lembut. "Ariel ingin banyak daging ayam dan keju parut ...." ujar Lia kecil. "Ya, soupe a l'oignon dengan banyak daging ayam dan keju parut untuk Ariel, cucu kakek Busran," Busran mengiyakan permintaan dari cucu perempuannya. "Um, kakek ..." panggil Lia kecil lagi. "Ya,?"  "Ariel ingin minum air putih hangat saja," ucapannya kurang jelas karena umurnya baru tiga tahun, juga aksen Prancis masih kental, namun Busran dapat mengerti apa yang dibicarakan oleh cucu perempuannya meskipun kurang jelas. Berbeda jika kepribadian kedua sang cucu yang muncul, dia dapat memahami, karena aksen bicara kepribadian kedua Lia kecil adalah aksen Indonesia lancar tanpa campuran dari aksen manapun. "Ya, air putih hangat untuk cucu kakek Busran yang manis," ujar Busran, dia mengusap rambut coklat tua cucu perempuannya. Rambut perpaduan antara rambut coklat sang ayah dan rambut hitam sang ibu.  "Um, kakek ...." panggil Lia kecil lagi. "Ya?" "Ari ... Ari ... em ...." suara gadis tiga tahun itu terlihat takut berbicara. Busran menunggu apa yang ingin dikatakan oleh cucu perempuannya, dan .... Sssshhh Dia merasa ada sesuatu yang panas mengalir turun dari baju yang dia pakai ke celananya. "..." Gea melihat ke arah sang suami yang sedang menggendong cucu perempuan mereka. Ah, dilantai ada air. Tanpa cucu perempuannya bicarapun, dia sudah tahu bahwa sang cucu perempuan pipis dalam pelukannya. Bodyguard perempuan yang berjaga di dalam ruang rawat keluarga itu terlihat diam ketika melihat sang tuan berlumuran pipis oleh cucunya sendiri. Mau ketawa takut dosa. "Ari pipis ...." suara lirih gadis tiga tahun itu terdengar bergetar takut. "Ya, tidak apa-apa, pipis saja, kakek Busran juga belum mandi, jadi tidak apa-apa," ujar Busran menenangkan cucu perempuannya. Gea mau tertawa takut dosa.  Busran melihat ke arah bodyguard perempuan yang sedang berjaga. "Siapkan baju ganti untuk aku dan cucuku," "Baik," °°° Jam delapan malam, setelah Lia kecil makan makanan yang dia minta, Busran sendiri dan pengawal yang mengantar Lia kecil pulang ke kediaman utama Nabhan.  Ketika mobil berhenti di depan pintu rumah utama Nabhan, kepala pelayan dan beberapa pelayan telah siap menunggu nona kecil mereka. Busran turun dari mobil sambil menggendong cucu perempuannya. Farel dan Jihan keluar dari rumah. Jihan langsung hendak tubuh Lia kecil sambil terisak takut. "Hiks ... ayo dengan nenek Lala,"  Lia kecil terlihat ragu, dia melirik ke arah sang kakek. "Kakek ...." "Kakak Lala, Ariel sedang takut," ujar Busran. Jihan mengangguk mengerti.  "Ya benar, Lia kecil pasti sangat ketakutan, aku melihat berita di tv, mobil mereka meledak karena bom stiker,"  Busran mengangguk, dia berjalan masuk ke dalam rumah, dia ingin membawa sang cucu ke ibunya.  Di dalam kamar pasangan Agri dan Lia besar. "Suamiku ...." Panggil Lia besar. "Aku di sini Lia," sahut Agri lembut. "Aku ingin bertemu dengan tubuh kecilku, aku merindukan dia," ujar Lia besar terdengar sedih dan khawatir.  Agri mengangguk. "Baik," Meskipun sang istri tidak tahu bahwa cicit mereka mengalami kecelakaan, namun hati sang istri tetap merasa khawatir. Agri semakin yakin, Lia kecil dan istrinya tidak dapat dipisahkan. Ada ketukan di pintu kamar mereka. "Masuk," ujar Agri. Pintu dibuka oleh seorang pelayan perempuan, Busran masuk dengan menggendong Lia kecil. "Ayah, ibu." Agri dan Lia besar memandang ke arah masuknya Busran. "Ah, tubuh kecilku, aku merindukanmu ...." Lia besar terlihat berusaha berdiri, Agri membantu sang istri. Ketika mendengar suara sang nenek buyut, tatapan mata Lia kecil berubah. Dia menoleh ke arah sang nenek buyut. Tanpa aba-aba, Lia kecil ingin digendong oleh kakek buyutnya. "Nenek Lia," ujar Lia kecil. Agri berusaha menggendong tubuh cicit perempuannya meskipun tubuhnya sudah berusia seratus tahun, dapat Agri lihat memar besar di leher sang cicit. Mata Agri berubah tajam.  Hap Lia kecil memeluk kakek buyutnya, namun wajahnya menoleh ke arah sang nenek buyut. Lia duduk kembali ke ranjang mereka, Agripun ikut duduk, dia memeluk cicit perempuannya. "Nenek Lia, ada yang ingin membunuh Lia kecil,"  "Apa?" mata Lia terlihat melotot kaget. "..." Busran takut melihat wajah sang ayah. "Oh ya ampun, siapa yang tega menyakiti diriku yang kecil? Hatiku sakit," ujar Lia, tiba-tiba suara Isak sedih terdengar dari suara perempuan 90 tahun itu. "Sayang, jangan menangis," ujar Agri. Lia kecil bergeser dari pelukan kakek buyutnya dan berpindah ke pelukan sang nenek buyut. "Nenek Lia, Lia kecil takut, sangat takut, mereka meledakan mobil Lia kecil, mereka menarik kasar badan Lia kecil, mereka mencekik leher Lia kecil, ini! Sakit sekali, Lia kecil tidak bisa bernapas, Lia kecil menangis, Lia kecil sakit, leher Lia kecil sakit, nenek Lia, mereka orang jahat," adu Lia kecil ke nenek buyutnya, dia bahkan memperlihatkan memar besar yang ada di lehernya. "Oh tubuhku yang kecil, betapa malangnya kau ...."  Suara itu penuh dengan tangis satu besar dan satu kecil dengan nama yang sama.  Lia besar terlihat mengusap punggung cicitnya, ada aliran air mata sedih yang turun. "..." Kamar tua pasangan tuan besar dan nyonya besar Nabhan itu terlihat sunyi bagi orang lain. Hanya isak pilu dari nyonya besar Nabhan yang mengasihani tubuh kecilnya dan tangisan mengadu dari nona kecil. Busran dan Farel tidak bisa membayangkan hal apa yang dilakukan oleh ayah mereka. "Pembunuh kurang ajar," batin Busran. °°° "Buru mereka dimanapun mereka bersembunyi, bahkan jika mereka ke neraka, kejar mereka." Suara tua itu terdengar dingin. "Baik, tuan." Miki menunduk mengerti atas perintah Agri. Setelah itu dia permisi untuk pergi melakukan tugasnya. Agri melihat ke arah Busran. "Bagaimana keadaan Fattah?" "Dislokasi bahu, ayah. Namun dokter tulang sudah menanganinya dengan tepat." Jawab Busran. Agri mengangguk mengeri. "Tunangan Aqlam?" Wajah Busran terlihat kurang bagus. "Amnesia dan cacat," "...." °°° Wajah Naufal terlihat sedih. Dia bolak balik masuk ke ruang rawat neneknya, kakak perempuannya, dan juga sepupunya yang sakit. Hap Ghifan menggendong tubuh bocah tujuh tahun itu. "Apakah Opal tidak ingin pulang dan tidur di rumah?" tanya Ghifan. Naufal menggeleng. "Kenapa?" tanya Ghifan ke arah keponakannya. "Opal ingin menjaga nenek Momok saja ...." suara lirih Naufal terdengar. Ghifan mengangguk mengerti. Mata Naufal memerah, tak lama kemudian air mata jatuh. "Nenek Momok sakit, kalau bukan Opal sebagai cucu yang lihat siapa lagi?" suara serak anak tujuh tahun itu terdengar sedih. Rasa sedih itu menular ke hati Ghifan. "Waktu Opal sakit, nenek Momok yang paling khawatir, waktu Opal hilang di perkemahan, nenek Momok yang selalu menemani Opal," suara bocah itu mulai sesenggukan. Ghifan mengusap rambut cepak keponakannya. "Sekarang nenek Momo sakit, Opal yang gantian jaga nenek Momok hiks! Hiks! Hiks!" Tak pernah anak tujuh tahun itu mengeluarkan air mata tangis ketakutan, bahkan ketika dia berada dalam bahayapun dia tak pernah menangis. Kakeknya mengajarkan dia sebagai pria sejati tidak boleh menangis. Ya, Naufal memegang teguh apa yang diajarkan oleh sang kakek. Namun, sebagai cucu, dia tidak bisa menahan tangisnya. Randra keluar dari ruang rawat istrinya dan berjalan ke arah Naufal yang sedang berusaha untuk diam, namun tak bisa. Hap Dia mengambil alih tubuh sang cucu dari Ghifan. "Kakek Ran, Opal mau jaga nenek Momok saja, nenek Momok sakit, Opal mau jaga nenek Momok," ujar bocah itu. "Ya, jaga nenek Momok." Ujar Randra. "Kakek Ran," panggil Naufal masih sesenggukan. "Hm?"  "Kali ini saja, kali ini saja Opal menangis, lain kali tidak lagi, Opal janji!" ujar Naufal sambil sesenggukan. Mata Randra memerah ketika mendengar ucapan cucunya. Cucu yang mirip dengan dia. "Ya, kali ini saja." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD