Chapter 32

1566 Words
"Jadi, kakek Busran ingin memanggil psikolog untuk adik Lia?" tanya Aqlam di ruang belajarnya. Nibras mengangguk. "Ya, sepertinya ada masalah kepribadian dari adik sepupuku itu," ujar Nibras. Aqlam terlihat berpikir, apa yang dikatakan oleh sang ayah, Aqlam juga merasakannya. Dengan kejeniusan dia, tidak mungkin anak tiga tahun seperti Lia kecil bisa berbicara lancar layaknya orang dewasa. Aqlam melihat serius ke arah ayahnya, "Ternyata bukan cuma Aqlam saja yang merasa janggal dengan adik Lia, ayah dan yang lainnya juga." Nibras melihat ke arah anak lelakinya.  "Semenjak tahu bahwa Lia kecil itu ingin sekali dipanggil dengan nama gadis dari nenek besar, Aqlam merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi, namun belum Aqlam lihat baik-baik," ujar Aqlam, dia melihat ke arah lain. Nibras hanya mengangguk. Ayah dan anak itu terlibat percakapan ringan. "Bagaimana sekolahmu?" tanya Nibras. "Baik. Tapi, membosankan karena tidak ada Chana," jawab Aqlam jujur. Nibras mengerti, anak ini sudah menjadi ekor Chana kemanapun. Jika Chana tak ada di sekolah, tentu saja itu membosankan bagi sang anak. "Tiga minggu lagi akan ujian nasional. Hari Senin depan try out terakhir, sudah tiga kali try out tanpa Chana," ujar Aqlam. "Aqlam," panggil Nibras pelan. Aqlam melirik ke arah ayahnya. Wajah Nibras terlihat ragu untuk mengatakan kalimatnya. "Katakan saja, ayah."  Bibir Nibras yang ragu-ragu itu akhirnya terbuka, "Jika Chana bangun dari komanya ... kau sudah dengar dari dokter yang merawat Chana bahwa jaringan syaraf pada tangannya mengalami putus karena ledakan itu ... jika ... jika Chana tidak seperti semula lagi, tidak sempurna lagi ... apakah kamu masih ingin bersamanya?"  "...." Beberapa detik kemudian. "Jika kakek Ran bisa hidup tanpa beban merawat nenek Momok selama mereka hidup bersama lebih dari empat puluh tahun, jika kakek besar tanpa keberatan merawat nenek besar yang pikun lebih dari tujuh puluh tahun, jika ayah saja tidak keberatan dengan yang terjadi pada ibu. Apakah Aqlam harus kalah dengan kakek Ran, kakek besar dan ayah?" Aqlam memandang serius ke arah sang ayah. Nibras melihat lama ke arah anak lelakinya. Ya, ini yang dia ajarkan pada sang anak. "Kamu memang putra Nabhan." "Ya, aku memang putra Nabhan." °°° "Cucu kita belum juga bangun, aku tidak tahu siapa yang mencoba mencelakai cucu kita, Silvio. Tapi, aku tahu, ini pasti berkaitan dengan keluargamu yang terkutuk ini," sindir Mali. "Amor," pria 68 tahun itu menoleh ke arah sang istri yang sedang emosi. Silvio meletakan laporan perusahaan Ruiz ke atas meja, dia berdiri dan berjalan ke arah sang istri yang tidak ingin melihat wajahnya. Semenjak kecelakaan kedua cucunya, sang istri pasti menuduh ini adalah perbuatan Ruiz. Namun, setahu dari Silvio, tidak ada lagi darah Ruiz yang hidup. Jadi, siapa yang mencoba mencelakai cucunya? "Tidak ada lagi Ruiz yang hidup, amor," ujar Silvio tegas. "Heum, memangnya kamu tahu?" Mali melirik sinis ke arah suaminya, dia mendengkus. "Paman, keponakan bahkan sepupu-sepupu kamu punya banyak anak haram di luar sana, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa darah Ruiz tidak ada lagi yang hidup?" Silvio berusaha agar menguasai emosinya. Dia harus sabar jika menghadapi sang istri. Mereka telah menikah lebih dari 46 tahun. Selama itu pula dia selalu mencintai istrinya tanpa syarat. "Amor, tidak ada lagi anak haram atau anak sah dari paman, keponakan atau sepupu-sepupuku, aku tahu itu. Pertengkaran keluarga Ruiz yang bertahun-tahun ini telah memakan banyak darah Ruiz, tidak ada lagi darah Ruiz yang hidup selain keturunan kita berdua. Anak kita Ben dan kedua cucu kita, Chana dan Naufal," ujar Silvio meyakinkan sang istri. "Jika memang benar apa yang kamu katakan bahwa tidak ada lagi darah Ruiz yang hidup selain anak dan cucu kita, itu berarti cucu-cucu kita aman dari bahaya atau ancaman Ruiz liar, tapi kenyataannya, cucu perempuanku, Chana! Dia masih menutup mata tidur di atas ranjang rumah sakit!" Mali membalas marah ke arah Silvio. Silvio menyentuh kedua bahu istrinya, namun sang istri menghindar. "Ini artinya masih ada Ruiz yang hidup!" Mali berusaha agar dia tidak berteriak marah. "Amor, tenang. Jangan marah, minum obatmu," Silvio khawatir pada sang istri. "Aku tidak mau minum obat!" Mali terlihat menghindar. "Amor, lihat aku--," "Aku tidak mau melihat atau mendengarkanmu!" sela Mali. Silvio harus ekstra sabar dalam menenangkan sang istri.  Istrinya ini punya darah tinggi yang kapan saja bisa membahayakan istrinya. "Aku berjanji, tidak ada Ruiz atau siapapun itu yang berhubungan dengan Ruiz di masa lalu yang akan menyakiti cucu-cucu kita," janji Silvio kepada sang istri. Mali tetap membuang wajahnya ke arah lain. "Amor," panggil Silvio. "Selama kita menikah, aku tidak pernah melupakan janjiku untuk melindungi kamu dan anak kita Ben "Selama aku memutuskan untuk menjalani sisa hidupku denganmu, aku tidak keberatan mengorbankan darah Ruiz demi anak kita, Ben. Demi kamu dan anak kita, demi apa yang kamu inginkan agar anak kita aman dan jauh dari ancaman apapun, aku rela mengambil jalan ini "Aku rela menanggung dosa memusnahkan darah Ruiz, darah yang mengalir dalam tubuhku--," Hap Mali memeluk erat suaminya. Ya, apa yang dikatakan oleh suaminya itu benar. Selama mereka menikah, demi permintaan dia yang menginginkan kedamaian hidup anak cucunya. Sang suami tidak keberatan melenyapkan saudara-saudaranya. Mali juga tak sampai hati jahat seperti itu. Namun, keadaan brutal dari saudara-saudara suaminya yang memaksa sang suami untuk mengambil jalan berdarah ini. Suaminya benar, tidak ada lagi darah Ruiz yang hidup selain anaknya Ben dan kedua cucu mereka. Seharusnya dia tidak terlalu berlebihan dalam meragukan suaminya. "Minum obat, lalu kita istirahat," ujar Silvio. Mali yang berada dalam pelukan Silvio mengangguk. °°° "Nenek Laras dan kakek Iqbal sakit-sakit terus, Opal jadi sedih," ujar Naufal. Wajah bocah itu terlihat lesu. Randra melirik ke arah cucu lelakinya. "Nenek Laras dan kakek Iqbal mungkin akan segera sembuh, kan setiap minggu kontrol dan selalu terapi," ujar Randra. Naufal melihat ke arah kakeknya, "Kakek Ran, kalau nanti kakek Ran umurnya udah tua, Opal mohon, kakek Ran jangan sakit-sakit," ujar bocah tujuh tahun itu. "...." "Pfftt!" Moti menahan tawa, sang cucu ini pagi-pagi seperti ini sudah sangat imut. "Ya, InshaAllah," balas Randra, dia tidak bisa berjanji pada sang cucu, sebab sakit atau tidaknya seseorang, itu tergantung dari Tuhan. "Nenek Momok," panggil Naufal, bocah itu sedang mengigit roti bakar selai coklat. "Hum?" sahut Moti, wanita itu juga sedang mengigit roti bakar. Randra sedang membetulkan kerudung sang istri yang sedang berantakan. Naufal melihat serius ke arah kakek dan neneknya, "Jujur saja, Opal sangat penasaran dengan kisah cinta antara nenek Momok dan kakek Ran." "Uhuk! Uhuk!" Moti melotot ke arah cucu laki-lakinya. Randra tertawa geli. "Huh! Terlalu mesra, Opal lihat saja Opal jadi cemburu," celetuknya. "Pffthahaha!" °°° "Halo Lia kecil, perkenalkan nama tante adalah Mentari, Lia kecil bisa memanggil tante dengan sebutan tante Tari, atau apapun yang Lia kecil suka," ujar seorang perempuan berusia 32 tahun. Lia kecil mengangguk. "Tante Tari tahu loh nama dari Lia kecil, nama Lia kecil itu adalah Lia Rahmawati Farikin, kan? Biasa dipanggil Lia kecil, benar kan?" ujar Mentari. Glung glung Lia kecil mengangguk kuat. "Benar sekali. Tante Tari tahu darimana? Lia kecil kan belum memperkenalkan nama Lia kecil," tanya Lia kecil bingung. Mentari tersenyum manis. "Tante Tari dengar dari om Ariansyah, om Ariansyah itu adalah keponakan dari nenek Gea, neneknya Lia kecil. Nah, om Ariansyah itu suami dari tante Mentari, jadi secara hirarki, Lia kecil ini adalah keponakan manis dari tante Mentari," jawab Mentari lembut. "Oh ... rupanya seperti itu ... Lia kecil juga ingin bertemu dengan om Ariansyah," ujar Lia kecil. °°° "Om Busran, Lia kecil mengalami kepribadian ganda, kepribadian ganda adalah kondisi di mana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Kepribadian ganda disebut juga gangguan identitas disosiatif atau dissociative identity disorder, dan umumnya disebabkan oleh pengalaman traumatis yang terjadi secara berulang di masa kanak-kanak," (*1) ujar Mentari ke arah Busran dan anggota keluarga Nabhan yang lainnya. Busran dan Farel saling melirik, Gea mengerutkan keningnya. "Tapi Lia kecil tidak pernah mengalami trauma berulang di masa kanak-kanak, dia masih kecil," ujar Gea. Mentari mengangguk mengerti. "Menurut pengakuan dari Lia kecil bahwa, sudah dua kali Lia kecil bertemu dengan nenek Lia, pertama ketika Lia kecil berusia satu tahun, umur seperti itu tidak bisa diingat oleh anak seperti Lia, yang kedua ketika Lia kecil berusia dua tahun, diumur yang begini juga ingatan anak baru saja terbentuk, namun belum terlalu kuat," ujar Mentari. "Ada beberapa kondisi yang menyebabkan kepribadian dari Lia kecil ini terbentuk," ujar Mentari. Keluarga Nabhan mendengarkan baik-baik. "Mentari akan menjelaskan lagi lebih dalam apa itu kepribadian ganda," ujar Mentari ke arah seluruh keluarga Nabhan. "Penyebab dan faktor risiko kepribadian ganda, penyebab kepribadian ganda belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita kepribadian ganda memiliki pengalaman traumatis yang berulang-ulang di masa kecilnya, dalam hal ini masa kecil dari Lia kecil, pengalaman ini dapat berupa, penganiayaan atau penyiksaan yang didapatkan oleh anak, pelecehan secara fisik atau emosional, pola asuh orang tua yang membuat anak merasa takut, peperangan, bencana alam," (*2) ujar Mentari memberi jeda penjelasannya. "Selain faktor-faktor yang Mentari sebutkan tadi, kepribadian ganda juga rentan terjadi pada orang yang keluarganya memiliki riwayat kepribadian ganda," ujar Mentari. Keluarga Nabhan mencerna baik-baik penjelasan dari Mentari. "Riwayat keluarga kepribadian ganda?" Rafi mengerutkan keningnya. "Ya, riwayat keluarga kepribadian ganda." Mentari mengangguk membenarkan. "Namun melihat dari masa lalu Lia kecil memang tidak ada satupun faktor yang saya sebutkan tadi yang terjadi pada Lia kecil, seperti kekerasan, pelecehan dan sebagainya, kemungkinan adalah–" "Adalah riwayat keluarga yang memiliki kepribadian ganda." Terdengar suara seorang remaja di dalam ruangan itu. Semua mata memandang ke arah Aqlam, tuan kuda Nabhan saat ini. "Ya, benar." Mentari membenarkan. Aqlam melihat ke arah Mentari lalu ke arah keluarganya. "Keluarga Rousseau memiliki seorang ilmuwan laki-laki, dia sangat pintar namanya adalah Albert Constantine Rousseau, namun dia mati karena bunuh diri enam puluh tahun yang lalu, dia adalah saudara sepupu dari kakek buyut ayah Lia kecil," Aqlam memandang serius ke arah semua keluarga Nabhan. "Bu-bunuh diri?" Gea tergagu ke arah Aqlam. "Ya, bunuh diri," ujar Aqlam. Farel dan yang lainnya juga terkejut. "Namun itu bukan masalahnya, di keluarga kita juga ada." Lanjut Aqlam. "Apa?!" semua keluarga Nabhan melihat kaget ke arah Aqlam. "Nenek besar." Ujar Aqlam singkat. °°° (*1,2) https://www.alodokter.com/kepribadian-ganda Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD