"Tulisan kali ini berisi ...." Aarumi nyaris melotot saat membaca judul tulisan yang tertera pada kertas di tangannya. Jika sebelumnya karena merasa tidak mampu, kali ini malah sangat bersemangat.
"Resensi n****+ 'Dunia Sophie' !" Aarumi nyaris berteriak girang, membayangkan setelah membaca tulisan ini, dia akan bisa menceritakan pada teman sekelasnya seolah-olah dia sudah membaca buku ini sampai tamat!
Dengan semangat Sophie mulai membaca tulisan itu.
"Sophie merupakan gadis usia empat belas tahun yang mendapatkan pelajar filsafat dari seseorang ‘misterius' melalui surat-surat bertuliskan atas namanya."
"Sophie mendapat surat tentang filsafat mengenai Plato, salah satu tokoh besar filsafat. Plato merupakan filsafat yang lebih condong ke aliran idealisme, namun dia juga tidak memungkiri mengenai indrawi. Menurut Plato dunia indra bersifat tidak tetap karena pada hakikatnya, ‘ada’ tidak kekal dan hanya segala sesuatu yang datang dan pergi, layaknya busa sabun, yang ada lalu hilang. Inilah kelemahan pancaindra menurut Plato. Plato juga berpendapat bahwa, kita mungkin bisa mengetahui sebuah benda meski tidak memiliki benda tersebut. Hal itu karena menurut Plato, bahwa jauh sebelum itu, kita sudah memahami hakikat benda itu dengan akal di dunia ide. Plato percaya bahwa sebelum melihat dunia ini, kita terlebih dahulu sudah mengenal ‘dunia ide’ karena itu kita tahu sebuah kuda, karena kita sudah melihat kuda ide.”
Karena bahasanya cukup berat, Aarumi buru-buru mencatat poin penting agar tidak lupa, kemudian baru melanjutkan bacaannya.
"Dunia ide merupakan dunia yang hanya bisa di jelajahi jiwa. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Plato yakin bahwa kelak kita akan kembali ke dunia ide, kerinduan (eros) untuk kembali pada asal-usul yang sejati. Rasionalisme merupakan filsafat politik Plato, dimana menurut Plato akal digunakan untuk mengatur masyarakat.
Setelah itu Sophie mendapat pelajaran filsafat mengenai Aristoteles melalui surat yang dia temukan di gubuk sang Mayor. Aristoteles merupakan murid dari Plato. Berbeda dengan Plato, Aristoteles menganggap bahwa sesuatu yang nyata yaitu sesuatu yang ada. Aristoteles bisa dibilang penganut aliran materialisme. Aristoteles benar-benar membantah pendapat Plato mengenai dunia ide. Menurut Aristoteles kuda ‘ide’ merupakan kuda representasi dari apa yang kita lihat sebagai spesies kuda. Seluruh pemikiran dan gagasan kita masuk ke dalam kesadaran kita melalui apa yang pernah kita dengar dan pernah kita lihat, manusia tidak memiliki ide bawaan tetapi akal sebagai pembeda."
"Kesamaan dari Plato dan Aristoteles yaitu terletak pada penggemaan terhadap ajaran pengobatan Yunani, hanya dengan menjaga keseimbangan dan kesederhanaan sajalah kita dapat mencapai kehidupan yang bahagia dan selaras. Aristoteles juga memiliki filsafat politik dan pandangan mengenai wanita. Aristoteles berpendapat bahwa wanita adalah pria yang tidak sempurna. Pria menyediakan bentuk sedangkan wanita hanya subtansi."
"Periode dan kebudayaan mulai di domisi oleh Yunani, Macedonia, Syria dan Mesir. Helenisme merupakan sebuah pahaman awam ataupun orang di dunia yang berbicara, berkelakuan dan hidup seperti orang Yunani. Helenisme berusaha mengatasi masalah yang ditimbulkan Aristoteles, Plato, dan Socrates. Ada empat aliran filsafat kala itu, kaum Sinis, kaum Stoik, kaum Epicurean dan kaum Neoplatonisme. Percampuran dua kebudayaan juga terjadi, terdiri dari Bangsa Indo-Eropa, Bangsa Semit, Israel, Psikis, Kredo dan Goethe."
"Baca resensinya aja kepala gue pusing ...."keluh Aarumi spontan, sembari memejamkan sejenak matanya yang terasa lelah karena terus di jejali kata-kata asing di matanya.
"Abad pertengahan merupakan awal transisi aktual dari zaman Yunani Kuno. Tokoh yang terkenal kala itu St.Agustin yang lahir pada tahun 354-430 SM. Mereka membawa doktrin bersifat separuh agama dan separuh filsafat dengan menegaskan bahwa dunia terdiri dari dualisme, kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap, ruh dan materi. Pada abad ini juga pengaruh bangsa semit (Arab) di Spanyol mulai terasa. Abad ini juga mengenal filsuf terbesar dan alih teologi bernama Thomas Aquinas 1225-1274 M."
"Selesai? " Aarumi tersenyum puas, masih tidak percaya kalo kini, seorang Aarumi yang malas membaca buku sudah tahu isi dari buku tebal—ya meski hanya dari rensensi semata. Setidaknya, dia sudah tahu! itu poin pentingnya...
Aarumi tersenyum lebar, membayangkan ekspresi terkejut kakaknya saat nanti dia menceritakan mengenai buku ini. Dia sudah tahu alurnya, tanpa perlu membaca panjang-panjang. Meski ya, pengalaman membaca yang sering Afiffah katakan pada Aarumi pasti tidaklah sama dengan sekedar membaca rensensi saja.
Aarumi tercengang, tidak terasa tinggal sisa beberapa lembar lagi di hadapannya. Aarumi dengan semangat mengambil lembaran berikutnya. Kali ini kembali ke cerpen bersambung. Ada kertas kecil yang di necis dibagian ats kertas itu.
"Apa nih? " gumam Aarumi bingung. "Kisah inj menceritakan tentang seorang kariyawan wanita yang merasa terganggu dan kesal dengan bosnya yang terus-terusan menodong dirinya untuk menikahi dengannya."
"Lah ini udah ada penjelasan singkatnya, ngapain gue baca lagi? " senyum Aarumi nyaris terbit di wajahnya, berpikir tidak perlu membaca panjang lebar kertas berjumlah lima kertas itu. Namun disisi lain, sejujurnya Aarumi penasaran alasan kenapa kariawan yang biasanya, di n****+-n****+ merasa tertimpa durian runtuh saat di cintai bos, malah diajak nikah, tapi ini malah gak mau?
"Apa jangan-jangan bosnya jelek? atau bosnya udah punya istri?" Untuk mencari jawaban Aarumi langsung membaca pada dua lembar terakhir.
—"Iya, ukhti." Lily langsung berdoa dalam hati. " Aamiin."
"Sekarang gue siap..." perut Lily sejak tadi berdemo, aneka ragam makanan di hadapannya semakin membuat perutnya bergejolak.
Lily mengawali dengan mengambil sepotong paha ayam. Mulut Lily sudah terbuka dan tinggal satu langkah lagi ayam itu masuk ke mulut Lily.
Tapi tiba-tiba,
"Berhenti!" Suara intrupsi itu membuat Lily kaget dan spontan menjatuhkan ayamnya ke lantai.
"Kamu mau makan semua ini!" kata pria yang sekarang berdiri di samping Lily dengan wajah datar tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
Mata Lily melotot.
"Ada urusan apa ya sama bapak?” kata Lily sewot, tapi berusaha tetap memposisikan kesopanan antara bos dan kariawan.
“Kenapa bapak selalu aja ganggu hidup saya sih!" desisnya pelan.
"Apa urusan saya. Apa kamu gak pernah belajar di sekolah? Apa kamu gak tahu kalo semua makanan ini banyak mengandung lemak, itu gak baik buat kesehatan."
Lily menghela nafas keras. Dia jadi pusat perhatian lagi di kantin. Sudah pasti akan semakin banyak karyawan yang membencinya karena dianggap carmuk (cari muka) pada bos.
Ingin rasanya dia menjambak rambut kilmis pria itu, tapi Lily tidak berdaya. Lily masih ingat fakta bahwa orang yang ada di hadapannya ini bosnya semenyebalkan apapun sikapnya, Lily harus menahan diri sebagai karyawan.
Lily memilih menyimpan kedongkolannya dan kembali duduk, berusaha tidak peduli.
Tapi Agara berbuat ulah lagi, dia tiba-tiba menarik tas ransel Lily, spontan Lily terseret mengikuti langkahnya, ia layaknya bocah nakal yang di seret karena berbuat onar.
Lily tidak bisa berbalik untuk berjalan dengan benar. Mau, tidak mau, Lily harus menyiramkan langkahnya dengan Agara agar tidak terjatuh, bukan hanya itu Lily juga harus menebalkan mukanya karena menahan malu akibat ulah manusia bernama Agara itu.
"Ih enak banget jadi Lily, disukai bos setampan dan sekaya Agara ...." begitulah samar-samar yang Lily dengar sebelum keluar dari kantin.
"Kamu itu calon istri saya, saya tidak mau punya istri penyakitan!" kata Agara, akhirnya pria itu melepas tas Lily setelah mereka keluar dari kantin.
Lily mendelik, mencoba sabar, tapi tidak bisa sepenuhnya. Wajah Lily memerah menahan marah dan malu sekaligus.
"Helllo.... siapa juga yang mau nikah sama orang gila kayak lo!!!!!" sampe kucing berbulu domba gue gak bakal mau nikah sama orang aneh kayak lo !" kata-kata itu akhirnya terucap lancar dari mulut Lily. Lily sudah tidak peduli pada kedudukan statusnya. Masa bodoh
"Sil, semua makanan itu buat Lo aja. Ini uang buat bayarnya." Lily menghampiri Prisil yang sejak tadi mengikuti mereka dari belakang dengan jarak aman tentunya.
"Tapi, Ily..."
"Gue gak nafsu lagi makan. Gue dah kenyang. Gue mau langsung balik," pungkas Lily.
Jika kelak Prisil akan memulai program dietnya, akan Lily sarankan untuk melihat wajah menyebalkan pria di hadapannya ini. Pria gila yang menjadi salah satu alasan kenapa Lily ingin segera resign dari kantor. Tapi sayangnya selama waktu dekat, Lily tidak bisa resign karena masih terikat kontrak menyebalkan itu.
Sialan. Benar-benar sial.
"Hay. Kamu mau ke mana? Saya belum izinin kamu pergi?" teriak Agara.
"Saya mau ke kuburan, bos mau ikut? Ayo ikut, biar sekalian saya kubur!" sahut Lily, kejam.
Percuma ganteng kalo akhlaknya nol! makan tuh ganteng!
**
Dengan perut keroncongan dan emosi meluap Lily berjalan menyusuri jalan ibu kota yang tampak mendung.
"Kayaknya bakal hujan nih..." Lily mendongak menatap langit.
Dan benar saja tidak lama hujan pun terjun bebas dari langit mengguyur tubuh Lily tanpa permisi.
"Oke..." Lily menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, "Hujan itu anugerah, gue gak boleh ngomelin hujan cuman karena gue kesel sama tuh bos gila."
Lily menghembus nafas berkali-kali dan rasa kesalnya perlahan menguap, bersamaan hujan yang terus mengguyur Lily dengan deras.
"Rasanya udah lama gak mandi hujan.”
Lily tersenyum kecil dan meneruskan langkahnya.
Tidak seperti tadi, kali ini Lily memutuskan untuk berjalan sampai pangkalan ojek. Lily tahu jelas jika hujan seperti ini alat transportasi akan sangat ramai dan sulit mendapatkan tempat, terlebih lagi dia basah kuyup seperti ini.
Hujan kali ini terbilang menyenangkan, setidaknya bagi Lily. Langit kembali menampilkan keindahannya setelah mendung menghilang. Udara yang berhembus pun terasa sejuk dan segar, meski sedikit membuat Lily menggigil. Sebenarnya udara tidak terlalu dingin jika saja tubuh Lily tidak dalam keadaan basah.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Lily, entah kenapa perasaan tidak enak menyeruap dibenak Lily.
Lily seperti mengenal mobil ini.
"Ayo masuk!" Suara bariton itu lagi. Agara Putra. Penyebab semua ini.
"Gue gak mau!" jawab Lily ketus.
"Ayo masuk!" perintahnya lagi.
"Gue bilang gak mau. Bos gak tulikan!"
Agara memutar bola matanya, ia lalu keluar dari mobil. Lily langsung mengambil ancang-ancang perlawanan diri jika Agara berbuat macam-macam padanya.
"Mau ngapain Lo?" teriak Lily.
Agara tidak mengindahkan pertanyaan Lily, dia malah berjalan semakin mendekat dengan payung putih miliknya.
"Saya cuman mau bilang, kalo kamu sakit saya gak bakal kasih kamu cuti!" desisnya pelan.
"Bahkan saya akan semakin memajukan waktu masuk bagi kamu jadi jam tujuh tepat."
Lily terbelalak, bisa-bisanya Agara selalu sukses membuatnya dongkol tingkat negara. Padahal Lily tidak pernah telat, etos kerjanya juga terbilang baik.Jika saja dia tidak mendapat musibah dicintai Agara, mungkin dia bisa mengajukan kenaikan jabatan karena usahanya, tanpa desas-desus orang yang menilainya curang.
Berkat Agara, Lily harus merelakan semua predikat baik yang tersemat di namanya. Pasalnya Agara dengan kejamnya memajukan jam masuk khusus bagi Lily. Jika yang lain masuk pukul delapan tiga puluh maka Lily delapan tepat.
Lily jadi sering telat meski belum telat.
Semua itu Agara lakukan untuk pertanyaan konyol.
"Kamu gak cape apa saya omelin muluk, makanya nikah aja sama saya biar kamu bisa bebas ngomelin saya juga!!! "
"Saya ini kurang apa coba, ganteng iya, baik iya, keren iya, kaya apa lagi....saya ini gak ada kurangnya malah banyak lebihnya"
"Dasar bos gila!!"
"Kamu tuh yang gila nolak bos kayak saya. Apa kurangnya saya? Saya tampan, kaya, dan singel tentunya."
Lily mendesis bosan .
"Iya saya gila. Gila kalo bener bener nikah sama manusia gila kayak bapak !!"
Agara tidak peduli dengan u*****n Lily dan kembali masuk ke dalam mobilnya.
"Ayo masuk!"
Fiks, dia manusia paling nyebelin di dunia, dan sekitarnya, batin Lily.
"Buruan masuk! Kamu gak tuli kan?"
Sial, Agara membalikan perkataan Lily.
***
Oke fiks. Aku ingin resign. Aku lelah dan capek jika harus berhadapan setiap hari dengan orang seperti Agara Putra.
Cukup!!
Batas kesabaranku mulai menipis. Dari pada nambah dosa muluk tiap hari ngatain ciptaan Allah. Mending aku cari jalan tengah. Aku berhenti.
"Iiy coba Lo pikir mateng-mateng lagi deh... Zaman sekarang gak mudah cari kerjaan Ily. Selain itu, Lo juga harus bayar denda karena resign sebelum kontrak kerja berakhir."
Aku mendengkus, menatap Prisil malas, "Gue udah mikir mateng-mateng malah sampel gosong. Kalo gue mau resign. Titik gak pake koma!!"
"Tapi finalti-nya gede lo, Ily."
"Gue bakal bayar finalti-nya dengan uang tabungan gue selama kerja di sini."
"Lo kerja capek-capek cuman buat bayar finalti?”
"Yah, mau gimana lagi. Yang penting gue udah dapat banyak ilmu di sini."
"Terus Lo mau tinggalin gue di sini? "cicit Prisil pelan. Mata Prisil seperti berkaca-kaca. Aku jadi tidak tega.
"Lo mau ngapain setelah resign? Lo mau jadi pengangguran? Cari kerja gak semudah nguyah permen Ily. Lo harus muter sana-sini buat dapat pekerjaan baru." Prisil mulai dengan khotbah panjangnya, aku tahu itu hanya caranya untuk menutupi rasa sedihnya.
" Aw ah... Gelap. Gue bosen Sil, tiap hari ketemu Agara yang super nyebelin. Tiap hari ngajak nikah, emang gue kucing apa bisa nikah seenak jidatnya aja!!"
"Ya...anggap aja itu sebagai rintangan buat karier Lo, Ily. Ingat Ily semakin tinggi pohon maka semakin kuat anginnya."
Aku mendengkus, mendaratkan diri dengan keras ke sofa. “Masalahnya, masalah macam apa orang bernama Agara itu?? Ya Allah, sabarkan hati hamba ya Allah.”
"So, Ily Lo gak jadi resign, kan?"
"Permisi, Pak."
"Silahkan masuk." Suara Agara terdengar dari dalam ruangan.
Dengan penuh percaya diri Lily melangkah masuk ke dalam ruangan paling dia benci seantero kantor.
Ruangan Agara Putra.
Lily menarik nafas panjang, berpura-pura tersenyum seraya menyodorkan amplop cokelat di atas meja bos menyebalkan itu.
“Pagi-pagi udah kesini," Agara bergumam pelan."Kamu kangen sama saya?" Katanya dengan pede tingkat gunung Himalaya, sukses buat Lily melongo takjub atas kepercayaan diri yang menjulang tinggi.
"Maaf, Pak," kata Lily berusaha menetralkan tone suaranya agar tidak terdengar nada kebencian dari sana. "Saya kesini mau kasih ini, bos. Mohon di setujui."
Agara menimbang-nimbang amplop cokelat itu, "Apa ini? Surat cinta? Tagihan rumah atau surat setuju menikah?"
Astaghfirullah, Lily diam-diam mengelus tangannya, berusaha tenang. Beruntung tadi sebelum masuk ruangan Agara, Lily sudah mengambil wudu agar tidak muda terpancing emosi menghadapi spesialis langkah ini. Benar kata pepatah antara orang percaya diri dan gak ada malu itu beda tipis.
"Bukan bos," jawab Lily. Tips jitu untuk beristigfar agar tidak mudah marah, sangat berguna. "Bos baca aja. Biar saya keluar."
Lily berbalik. Merasa menang.
"Jadi kamu mau resign?" Mata Agara menatap tajam kearah selembar kertas putih di tangannya, alisnya menukik tajam.
Lily mengangguk, mantap.
"Bagus kalo gitu."
Alhamdulillah tidak ada drama ...
"Secepatnya, Pak saya bakal beresin semua barang saya, Pak."
"Ehm," Agara berdeham, pelan. "Kalo gitu kapan jadinya?"
"Ha?" kening Lily berkerut, berpikir keras. "Hari ini, Pak secepatnya saya akan beresin semua barang-barang saya."
"Orang tua kamu sudah setuju?"
"Ha?"
"Kalo udah, nanti malam saya sama rombongan bakal datang ke rumah kamu."
"Lah??? Buat apa, Pak ?" Lily mendelik bingung, dia mau resign bukan mau hajatan buat apa bawa rombongan.
"Kamu sudah baca perjanjian di kontrakan itu, kan?"
"Ha??" Lily makin bingung.
"Peraturan pertama, kalo kamu keluar dari perusahaan sebelum masa habis kontrak maka kamu harus membayar finalti."
Lily baca bagian itu.
"Peraturan kedua, kalo kamu berhenti sebelum masa habis kontrak maka kamu harus dengan senang hati menikah dengan saya."
"Ha??" Mata Lily melotot. "Perjanjian dari mana itu, Pak?"
Lily merasa menyesal tidak membaca utuh semua yang tertulis di kertas itu. Lily tidak tahu kalo dia harus berhadapan dengan Agara Putra yang super gila.
"Peraturan dari saya. Kamu mau resign itu artinya kamu mau nikah sama saya" kata pria aneh itu seenak jidatnya
"Tapi, Pak, Fasil resign dan dia gak nikah sama bapak," jawab Lily asal.
"Kamu kira saya suka terong. Saya ini normal."
"Tika juga resign. Tapi kenapa gak nikah sama bapak?"
"Tika resign karena mau nikah," jawab Agara. "Lagian peraturan itu khusus buat kamu doang.”
"Ini namanya penipuan, Pak! Sejak kapan ada peraturan yang kayak gitu! "
"Saat kamu tanda tangan kontrak itu, apa ada paksaan? Kamu tanda tangan secara sadar dan tanpa tekanan."
"Tapi saya gak baca bagian itu, Pak. Kalo saya baca, saya gak akan tanda tangan kontrak."
"Terus salah siapa? Salah kamu sendiri yang gak baca, padahal sudah tertera jelas."
"Tapi, pak....”
"Udah jangan kebanyakan tapi. Sekarang keluar dari ruangan saya dan siap-siap. Surat resign kamu mau saya setujui."
Lily gelagapan. Apa benar isi perjanjian kontrak itu menyantumkan hal itu? Jika benar maka ini celaka. Lily tidak sudih menikah dengan manusia seperti Agara.
"Pak, kalo gitu saya gak jadi resign aja." Dengan cepat Lily mengambil amplop cokelat itu dari tangan Agara.
"Beneran gak mau resign?"
"Bener, Pak." Lily mengangguk cepat. "Mending saya gi*la di kantor aja dari pada harus jadi istri bapak," kata Lily asal dan langsung melesat keluar dari ruangan Agara.
Agara cekikikan.
Sebel. Gue kalah lagi!! batin Lily.
****
"Ih sebel...." Jangan tanya aku sedang melakukan apa. Jika sedang marah, tingkat kerajinanku akan meningkat 100 kali lipat dari biasanya.
Hanya butuh waktu dua jam, semua penjuru rumah sudah bersih. Ayah dan bunda sedang pergi kondangan dan aku menghabiskan waktu weekend-ku dengan melampiaskan rasa kesal dan tidak berdayaku.
Setelah rumah bersih, aku meraih sampah. Aku harus segera membuang semua sampah sebelum truk sampah lewat. Semua sampah dalam hidup memang harus di buang secepatnya dan sialnya sampah terbesar dalam hidupku tidak bisa aku buang. Sampah itu bernama Agara Putra.
Andai menghilangkan Agara Putra semudah aku membuang kantong sampah ini ke dalam tong sampah.
Andai semudah itu.
"Huft.... "
Aku menghempaskan tubuhku di kasur. Hari weekend-ku benar-benar kacau. Aku tidak bisa menikmati asiknya hangout atau ikut kajian rutin di masjid seberang seperti biasanya. Itu semua karena aku benar-benar tidak habis pikir kenapa dengan bodohnya tidak membaca kontrak kerja terlebih dahulu.
"Huft...nyebelin banget !" Aku spontan mengacak rambutku yang memang sudah berantakan.
"Hari weekend-ku gak boleh kacau gini! Cuma gara-gara tuh bos nyebelin."
Aku bangkit dari kasur lantai miliku, meraih handuk dan bergegas ke kamar mandi. Aku akan menghabiskan weekand-ku dengan menenangkan diri. Mungkin ke taman atau ke mana saja.
Sepuluh menit berlalu,
Aku telah siap dengan rok piskat navy, hoodie putih dan jilbab senada rok.
"Sekarang mari kita menjernihkan pikiran...." Aku langsung meraih tas rajut kecil yang diselempangkan cantik di bahuku dan menenteng sepatu sport putih andalanku untuk jalan-jalan santai atau hangout.
Tujuan utamaku, ke taman. Tapi sayang, cuaca tidak mendukung, aku terpaksa berteduh di cafe dan karena udaranya juga dingin aku memilih untuk masuk ke cafe dan memesan minuman hangat.
"Mbak saya pesan satu kopi—"
"Kopi hangat saja. Tidak pake gula dan susu."
Aku menoleh, ada Agara di sampingku, tengah memesan kopi juga. Agara tidak menyadari keberadaanku di sana, aku buru-buru menyembunyikan diri darinya.
"Pesan berapa, Pak? "
"Dua."
Setelah itu Agara berjalan ke kursi di dekat jendela kaca, yang view-nya langsung ke arah jalan. Membawa dua gelas kopi dan sebuket bunga mawar putih.
"Mbak, jadi tadi mau pesan apa? "
Aku kaget. "Pesan satu kopi hangat, gak pake gula dan s**u," sahutku langsung.
"Oke mbak."
"Wah sekarang orang pada suka kopi tanpa gula ya...tadi bapak itu juga pesan dua kopi hangat tanpa gula dan s**u," cicit waiter itu pada temannya.
Aku memperhatikan Agara, dia duduk sendirian dengan satu gelas kopi yang ia letakan di seberang mejanya, seolah ada orang yang akan duduk di sana. Agara seperti tengah menunggu seseorang. Tapi kenapa wajah pria itu terlihat sangat murung. Beberapa kali aku melihat dia menghela nafas, seolah begitu lelah.
Dan bunga itu....
"Mbak, ini pesananya."
"Eh, iya, mbak.."
Aku segera mengambil kopi pesananku. Dan berjalan mengendap-endap, antisipasi takut manusia bernama Agara itu melihatku dan membuat sisa hari weekend-ku berantakan.
Aku memilih duduk di tempat di mana Agara tidak akan bisa melihatku, meski aku bisa melihat semua gerak-geriknya dari tempat dudukku.
"Dasar pria aneh, kenapa kopinya dibiarkan dingin gitu aja? Kan mubazir..."
"Penasaran deh, kenapa bos yang ganteng, kaya dan singel pengen banget nikah sama kariawan yang biasa aja ... jadi kepo deh," gumam Aarumi, meski harus terima kenyataan bawa lembar kertas cerpen itu telah berakhir.
"Tuhkan benar, gantung lagi ...." Aarumi mendesah kesal, ingin rasanya dia mendatangi Delshad dan menginjak kakinya kencang-kencang.