Sebuah Kenakalan

1610 Words
"Saya rasa gak mungkin Delshad punya musuh di AFM," sela Affifah, menghampiri keduanya. Suara Affifah terdengar serak, sebagai sekertaris, Affifah merasa memiliki kewajiban untuk selalu menjaga nama baik himpunan, sejak pertengkaran itu pecah, Affifah berusaha untuk menghentikannya. Namun, suaranya kalah besar dengan teriakan semua orang. "Bisa tolong bantu saya menghentikan ini? Jika pertengkaran ini makin besar, saya takut akan sampai ketelinga para dosen dan rektorat. Himpunan kita bisa di nonaktifkan." Affifah menjelaskan dengan cepat. Asyifa nampak santai menagapi permintaan Affifah. Malah terkesan acuh. Semua orang tahu, kalo hubungan Afiffah dan Asyifa tidak terlalu baik. Senior dan junior itu, memang tidak pernah bertengkar, atau menampakkan permusuhan di antara mereka, tapi dari gerak-gerik mereka yang selalu menghindari satu sama lain, membuat orang-orang berasumsi demikian. Jujur saja, Delshad juga baru pertama kali melihat Affifah berbicara dengan Asyifa. Padahal mereka dmdua orang yang menduduki posisi penting. Afiffah sekertaris dan Asyifa ketua cabang. "Kamu, benar ...," Asyifa setuju. "Biar aku ambil toak di gudang. Percuma teriak-teriak aja, suara kita terlalu kecil. Gak semua orang punya telinga yang besar," tambah Asyifa sebelum berlalu pergi. " Kenapa setiap kali berbicara dengan saya, Kak Asyifa selalu seperti itu? Sangat dingin," gumam Afiffah pelan, Delshad tidak sengaja mencuri dengar sepertinya Affifah lupa kalo ada Delshad berjalan di sebelahnya. Harus Delshad akui, apa yang Afiffah katakan memang benar. Asyifa seolah berubah menjadi sosok berbeda saat ia melihat Afiffah. Sebelumnya, gadis itu masih bisa tersenyum di tengah keributan yang ada. "Bukan apa-apa, hanya ada masalah kecil. Dia mengingatkan saya, pada orang di masa lalu. Dan saya rasa, itu yang membuat saya sedikit ketus padanya," jelas Asyifa, tanpa Delshad tanya, menyadari raut bingung Delshad tentang perubahan sikapnya yang dratis. "Kak, apa gak sebaiknya kita ikut masuk ke dalam? Membantu Afiffah? " tanya Delshad, dia cemas membiarkan Afiffah masuk ke ruang seketrariatan sendiri. Asyifa menggeleng pelan. "Saya tidak suka keramaian ...." jawabnya singkat. "Seharian saya bertemu banyak orang, baterai saya sudah terkuras habis." "Baterai? " ulang Delshad, spontan. "Ya, baterai dalam artian konotatif. Energi saya terkuras habis," jelas Asyifa. "Kalo gitu, biar saya saja yang masuk ke dalam, membantu Affifah." Delshad berbalik, hendak masuk, belum melangkah Asyifa langsung menghadang langkah Delshad. " Biarkan dia saja yang masuk, kamu tidak akan aman di dalam sana, " jelas Asyifa, meski enggan masuk, dari luar Asyifa terus memperhatikan gerak-gerik Afiffah yang sekarang berhasil menerobos, masuk ke dalam, bersiap dengan toak di tangannya. "Semua diam! Ini semua salah paham, saya di sini akan menjelas—" hanya itu suara Afiffah yang terdengar nyaring, sisanya, kembali tertelan suara keributan yang ada. Asyifa tersenyum kecil. "Saat semua orang sudah tidak peduli pada etika, bagaimana bisa mereka mau mendengarkan perkataan orang lain?" Afiffah di dalam, masih terus berusaha menghentikan, tidak peduli kalo keadaan makin tidak kondusif. Bukan lagi cekcok adu mulut, beberapa orang mulai saling dorong. Affifah nyaris jatuh terdorong. Untung Delshad dan Asyifa datang tepat waktu. Asyifa menahan tubuh Affifah yang nyaris jatuh ke lantai. "Kamu gak kenapa-napa, kan? " tanya Delshad spontan, cemas. Afiffah menggeleng pelan, masih shock. "Makasih, Kak ...." ujarnya pelan. Asyifa hanya mengangguk sekilas. Asyifa mendengus melihat toak yang gagal diselamatkan, jatuh ke lantai, "Sekarang, biar saya saja yang bicara. Suara kamu terlalu kecil untuk membungkam suara semua orang." "Ah, iya, Kak, bentar—" Affifah baru hendak membungkuk, Delshad sudah lebih dulu mengambil benda yang jatuh di sebelah kakinya itu. "Makasih," ujar Affifah setelah Delshad memberikan pengeras suara itu pada Asyifa. Asyifa kini berjalan ke depan, menerobos orang-orang. "Eh, iya, sama-sama," ujar Delshad terbata, tersadar, kalo mereka tanpa sengaja saling melihat. Astagfirullah... Delshad langsung memalingkan pandangnnya ke bawah, hal serupa juga Afiffah lakukan. Suasana canggung langsung meliputi keduanya. Tanpa keduanya sadari, sendari tadi dari jauh Satria melihat ke arah mereka. Cowok berkulit sawo matang itu, makin kebakaran jenggot melihat Delshad mendekati Affifah, gadis yang selama dua tahun ini ia sukai. Satria sudah lama menaruh hati pada Affifah, meski dekat, sampai detik ini Satria tidak bisa mendapatkan Afiffah. "Sial lo!" teriakan Satria. Begitu Delshad mengangkat kepalanya, tangan Satria sudah bertengger di kera kaos yang dia kenakan, menarik kencang, nyaris membuat Delshad terbatuk-batuk, kesulitan bernapas. "Satria, lepasin!" seru Afiffah panik sekaligus kaget. Satria tidak menghiraukan perkataan Afiffah. "Satria! " Afiffah berusaha menepis lengan Satria. Lagi-lagi tenagannya tidak cukup kuat. mahasiswa yang lagi enggan maju, menolong, mereka tahu betul bagaimana watak Satria, bisa babak belur mereka jika ikut mererai. "Berani-berani lo mau ngerebut apa yang gue miliki." Satria menggeram kesal. Delshad mencoba menepis tangan Satria, gagal. "Beraninya berantem doang, gedein otot, tapi dapatin hati cewek aja gak bisa-bisa, siapa lagi kalo bukan Satria ckckck... miris banget sih." Semua orang menoleh. Aarumi tersenyum menyambut tatapan beragam semua orang seraya berjalan tenang, menghampiri Satria. "Emangnya Satria suka sama siapa? " bisik beberapa orang, mengiringi langkah Aarumi. Aarumi tersenyum, simpul. rencananya berhasil. "Iya, siapa ya? apa anggota AFM juga ?" "Bang, boleh aku spill namanya ... kasihan yang lain pada penasaran, " bisik Aarumi, seketika membuat wajah Satria merah padam. Satria langsung melepas tangannya dari kera baju Delshad. Hening seketika. "Jangan macam-macam kamu! "seru Satria, kembali bersuara. Aarumi tersenyum lebar, berlaga seolah tengah mengunci mulutnya, aman. "Maaf, tapi ini semua bukan kesalahan Delshad," Affifah mulai menjelaskan, setelah semua kembali tenang. Afiffah menarik tangan Aarumi, agar tidak kabur, berdiri di sebelahnya. "Saya tahu siapa yang sengaja buat benner itu ...."Afiffah melirik Aarumi, tanpa dijelaskan lebih lanjut, semua orang sudah tahu jawabanya. "Maaf, saya cuma iseng doang," sambung Aarumi, membuat beberapa orang kesal lantaran nada suaranya yang sama sekali tidak terdengar menyesal. "Saya dan Dels—maksud saya Kak Delshad lumayan 'dekat', jadi wajar kan kalo saya memgodanya sedikit? " tambah Aarumi seraya melirik Delshad yang langsung membuang muka, kesal. Aarumi tidak peduli itu. "Jadi ... sekali lagi, saya minta maaf pada semuanya, khususnya pada Kak Delshad." Aarumi kembali melirik ke arah Delshad yang tiba-tiba termenung. "Tunggu dulu ...." seru Delshad tiba-tiba. "Hari ini bukan hanya hal ini yang terjadi pada saya. Tadi pagi, saya juga di serang beberapa gadis yang bilang kalo saya, memainkan hati mereka .... jangan bilang kalo ini juga—" Aarumi mengangkat bahunya pelan, memotong kalimat Delshad, langsung membenarkan pertanyaan Delshad. "Itu juga saya yang lakuin." Delshad kehilangan kata-kata. Semua tamparan yang dia dapatkan pagi tadi ternyata ulah iseng Aarumi. "Tuhkan, bener kata gue. Delshad gak mungkin maini hati cewek. Dia aja gak mau sembarang dekat cewek." bisik beberapa anggota AFM, yang melihat insiden itu. "Iya, dia juga gak pernah ngangkat pandangannya kalo sama cewek, dia menjaga banget." "Kasihan, Delshad .... gara-gara ulah tuh bocah, reputasinya jadi buruk." "Kalo gue jadi Delshad gue gak akan maafin tuh bocah, gue bakal laporin ke polisi, pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan." Mendengar kata polisi, ketenangan Aarumi langsung luntur sekejap. Gadis SMA itu mulai merasa panik, takut Delshad benar-benar melakukan itu. "Kak, bujuk kak Delshad dong, biar maafin aku," bisik Aarumi. Afiffah menggeleng, tegas, "Kakak udah capek sama semua ulah kamu. Sekarang kamu harus hadapi apa yang telah kamu perbuat." "Tapi, Kak—" "Delshad, apa yang Aarumi lakuin sangatlah salah. Tapi sebagai kakaknya, sama minta maaf pada kamu. Sekarang saya serahkan adik saya pada kamu. Apa pun hukuman yang kamu berikan, saya tidak akan ikut campur." Aarumi mendelik, baru kali ini kakaknya, tidak mau membantunya menyelesaikan masalah. "Ka Delshad, saya minta maaf, plis jangan laporin saya ke polisi, kasihan kak Afiffah nanti uangnya habis buat nembus saya. Plis, Kak ...." Aarumi memelas, berusaha mengelurakan air matanya, agar Delshad iba. "Udah laporin polisi aja, Shad. Bocah kayak gini emang harus dibuat jerah," kompor yang lain. Kekesalan mereka pada Aarumi sudah di batas akhir, mereka tidak lagi peduli akan keberadaan Afiffah di sana. "Iya, laporin aja. Sini biar gue anterin," sambung yang lain. Aarumi makin cemas, Affifah tidak bergeming, saat Aarumi memohon bantuannya. "Kita negara hukum, Sad. Apa yang Aarumi lakukan hari ini tidak bisa dimaafkan begitu saja," Sadam bersuara, menyakinkan Delshad. "Gara-gara dia juga, gue nyaris mukul lo," tambah Satria. Ancaman Aarumi sudah tidak lagi berlaku pada Satria, sekarang posisi Aarumi terpojok, semua orang tidak akan percaya apa yang gadis itu katakan. "Saya setuju. Kamu harus mengambil langkah tegas.... " tambah Asyifa, menatap kesal Aarumi. "Dari awal, sudah saya katakan untuk melarang gadis SMA untuk datang ke sini. Bikin rusuh saja," cibir Asyifa. "Kak Delshad ... jangan laporin aku ke polisi ya, aku janji setelah ini aku gak akan jahilin Kakak lagi ...." Aarumi mengeluarkan semua jurus memelasnya. "Apa yang kamu lakukan ini salah ...."Delshad berdeham keras. Melirik ke arah Afiffah, yang nampak pasrah akan nasib adiknya. "Setelah mendengar saran semua orang, saya setuju ..." Mata Aarumi membelalak tidak percaya. "Kak, jangan lapori saya ke polisi, saya mohon...." "Saya gak bisa tidur kalo gak di kamar saya. Saya juga gak bisa buang air besar pake closet jongkok." Aarumi mulai merancau tidak jelas. "Saya gak bisa makan nasi keras, saya juga gak bisa diam seharian di sel penjara. Saya gak bisa hidup di penjara." "Kak, saya mohon jangan penjarin saya. Saya bisa mati di sana. Kak, saya anak yatim loh, Kakak gak iba sama saya? " "Kak Delshad, saya mohon ...." Semua amunisi di kepala Aarumi sudah habis. "Udah ngomongnya?" tanya Delshad tenang, Aarumi mengangguk pasrah. "Untuk kali ini saya gak akan laporin kamu ke polisi—" "Makasih, Kak, " potong Aarumi. Aarum tersenyum lebar, usahanya tidak sia-sia. "Tapi, itu bukan berarti saya bakal lepasin kamu gitu aja. kamu tetap akan saya hukum ...." "Oke, terserah aja, yang penting gak di laporin ke polisi," sahut Aarumi, acuh, dia sudah terbiasa di hukum, jadi itu bukan hal menakutkan bagi Aarumi. "Emang apa hukumnya?" Delshad tersenyum samar, "Hukuman yang belum pernah kamu dapatkan." "Ha?! Hukuman apa? " Seketika Aarumi merasa takut. Menyebalkan, Delshad memang bukan pria yang mudah ia tebak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD