"Kasihan banget, Altan," gumam Aarumi, sebelum melanjutkan sesi membacanya.
Di tahun 2010 :
"Dekat-deket dia berasa dekat sama pangeran ikan. Percuma mau ganteng, pintar, kaya, kalo bau amis."
"Ihh...gue gak mau dekat-dekat dia, bisa mual gue."
Altan terbangun dari tidurnya. Remaja tampan itu mengerjap pelan, tanpa sengaja menatap dirinya di cermin. Cermin yang sengaja berada di seberang tempat tidurnya, yang setiap hari akan langsung menyambut Altan kala terbangun dari tidurnya.
Tidak bisa dipungkiri wajah Altan memang sangat tampan dengan hidung mancung, kulit putih cerah, mata sedang dan tubuh tinggi, diluar rata-rata anak remaja seusianya.
Sekilas Altan terlihat seperti bukan orang Indonesia, dia memang memiliki keturunan Pakistan dan Arab dari ibunya dengan mata cokelat, rambut hitam dari ayahnya yang merupakan orang Indonesia.
Setiap kali Altan masuk sekolah, semua mata pasti akan menyoroti penampilan yang sangat mencolok. Kenapa dikatakan setiap kali? Ya... Karena sudah lima kali Altan pindah sekolah. Semua itu terjadi karena orang tuanya selalu mencemaskan Altan dengan penyakitnya. Setiap terdengar desas-desus bullying yang terjadi pada Altan maka bundanya akan langsung memindahkan Altan dari sekolah itu.
Sudah terhitung 15 kali Altan berpindah-pindah sekolah, bahkan lemarinya hampir dipenuhi seragam dari beragam sekolah. Orang tua Altan juga sering membujuk Altan untuk home schooling tapi Altan bersikeras untuk sekolah, menikmati masa-masa yang kata orang sangat berharga itu.
Altan mengidap penyakit kelainan genetik dari garis keturunan ayahnya, bernama Trimethylaminuria. Penyakit ini menyebabkan tubuh Altan terkadang mengeluarkan aroma bau amis menyengat di bagian pernafasan, mulut, ketiak, urin dan rambut.
Altan sadar dengan kondisinya itu, maka dia harus selalu menjaga jarak dengan orang. Itu saja cukup, kan? Dia tidak perlu sampai menarik diri dari lingkungan sosial. Bagi Altan dia normal, dia hanya sedang sakit, dan itu bukan aib yang membuatnya harus menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah.
Setiap orang pasti pernah sakit. Hal itu wajar lali apa yang aneh dari itu? Jika ada orang yang tidak bisa menerimanya, maka mereka bukanlah teman yang tepat untuk Altan.
Semua terlihat semudah itu bagi Altan. Dia tidak pernah peduli pada bully yang mereka lancarkan selama itu tidak mengganggunya. Terserah mereka mau menjuluki, manusia ikan, pangeran bau amis atau apalah itu. Altan tidak ambil pusing.
“Bun, mobilnya stop di sini aja.”
“Kenapa di sini sayang? “
“Bunda gak liat, jarang ada yang bawa mobil di sini.” Altan mengedarkan pandangnya ke seberang jalan. Banyak siswa-siswi lalu lalang dengan kendaraan bermotor atau jalan kaki menuju gerbang bertuliskan SMA Tamsis. Sekolah itu nampak sederhana, rata-rata siswa-siswi berasal dari kalangan menengah. Jauh berbeda dengan sekolah-sekolah Altan terdahulu, sekolah mewah nan lengkap yang diisi siswi berstatus high class, sekelas anak mentri dan pengusaha ternama di Indonesia.
Indah—bunda Altan spontan menghela nafas, berat. Kecemasan tersirat di wajah cantiknya. "Kamu yakin mau sekolah di sekolah biasa kayak gini?”
Altan mengangguk antusias. Memang ia sengaja mencari sekolah sederhana untuknya, Altan pernah baca di dalam sebuah blog mengenai sekolah ini, penulisnya bercerita bahwa sekolah sederhana seperti ini akan menerima siapa saja yang datang, pertemanan yang ada juga bukan karena status atau uang, dia menulis, ‘Kita menerima siapa saja, sebau apa pun badan kalian.’ Memang kisah itu terdengar klise, tapi karena kisah itu Altan memiliki harapan baru bahwa dia akan di terima dengan baik di sini. Altan juga harus mencari si penulis untuk mengucapkan terima kasih telah banyak memberikan sebuah harapan manis padanya.
“Sekolah ini jauh beda sama sekolah-sekolah kamu yang dulu. Kalo di sana yang pengaman super ketat masih bisa terjadi bullying apa lagi di sekolah kayak gini? “ ujar Indah, lagi dan lagi.
“Insyallah, it’s fine, Bun. Altan udah besar sekarang. Bunda gak perlu cemas.” Altan tersenyum lebar, senyum yang setidaknya mampu membuang secuil kecemasan dari wajah bundanya.
“I hope. Jaga diri kamu baik-baik, bunda harus pulang sekarang.”
Altan mengangguk pelan, sebelum turun dari mobil. “Doain Altan, Bun. Altan pergi dulu, Assalamualaikum.”
“Selalu sayang. Waalaikumsalam.”
Mobil kembali melaju, Altan buru-buru menyeberang karena waktu masuk delapan menit lagi.
Aroma, suasana dan jalan yang di lalui semua sama seperti yang di tulis dalam blog itu. Altan bahkan tahu, wanita yang sekarang berdiri di depan pagar sembari dua menit sekali menatap jam tangan yang ada di tangan kanannya.
“Buruan masuk, ibu gak mentolerin terlambat sedetik pun,” gumam Altan dari jauh, mengikuti kalimat wanita itu dengan tepat
Semua sama persis.
Nama wanita itu, Bu Asmara, guru BK senior, paling anti pada telat, terkenal bawel dan judes di seantero sekolah. Tapi itu hanya kulit luar saja, aslinya bu Asmara sangat melankolis. Sebuah rahasia kecil yang Altan tahu, bu Asmara pernah nangis kejer di bioskop hanya karena di dalam film itu, pemeran utamanya di tampar.
“Assalamualaikum, Bu Ara,” sapa Altan begitu ia memasuki pagar sekolah.
“Waalaikumsalam.” Bu Asmara langsung menoleh, kaget. Tapi tidak menghentikan langkah Altan.
Opps, Altan lupa, Altan terbiasa membaca nama bu Asmara dengan panggilan Bu Ara. Tapi tidak seharusnya Altan menyebut bu Asmara dengan panggilan Ara. Bu Asmara pasti bingung, pasalnya dia sama sekali tidak mengenal siswa remaja berwajah blasteran seperti Altan.
Altan memang siswa baru di sana, tapi Altan sudah tahu semua mengenai sekolah ini termasuk keberadaan ruang kepala sekolah yang berada di tengah-tengah, tepat di depan aula sekolah. Sekilas sekolah ini berbentuk seperti persegi, di sisi kanan-kirinya berjejer ruangan kelas, unit kesehatan, kantin, ruang BK, dan lab komputer. Tapi jika orang tidak tahu, maka, bentuk sekolah ini sedikit membingungkan, pasalnya ada dua pintu utama yang sering di lalui siswa-siswi. Satu pintu mengantarkan lewat gerbang utama dan satu pintu lagi menuju lapangan sekolah. Sekolah ini juga memiliki beberapa pohon besar di beragam tempat, ada juga tempat khusus rumah kaca dan pemberdayaan pupuk dari daun kering. Selain itu, ada satu hal yang akan membuat siswa baru bingung yaitu terlalu banyaknya jalan pintas di sekolah ini.
Dari ruang kepala sekolah, jika berbelok ke kanan maka kita bisa menembus ke gerbang utama atau kalo mau lurus bisa melihat lab kimia dan beragam koleksi bunga dengan pot dari botol bekas yang dikreasikan seindah mungkin. Atau jika mau ke kiri, maka akan kita akan menemui perpustakaan berukuran sedang dengan kondisi yang selalu sepi karena selalu kalah saing dengan kantin yang lebih menggiurkan untuk dikunjungi kala istirahat. Di sana juga ada musholah yang setidaknya memiliki dua sampai tiga pengunjung tetap di setiap istirahat, biasanya mereka datang untuk melaksanakan solat dhuha dan biasanya pengunjung tetap itu dari kalangan anak rohis sekolah yang cukup aktif dan punya pengaruh besar di sekolah ini.
Altan tahu semua itu, berkat blog itu. Jauh sebelum memutuskan bersekolah di SMA Tamsis, Altan sudah membaca semua tulisan di blog tentang sekolah ini.
Altan tersenyum puas, dia sudah berada tepat di kelas 11 IPA 2, tanpa nyasar. Meski labelnya IPA, kelas ini tidak berisikan anak-anak ambisius yang akan meluangkan waktu luang sembari menunggu guru dengan membaca buku atau berdiskusi membahas pelajaran kemarin. Itu tidak ada di sana. Mereka layaknya anak normal yang sering diceritakan di n****+-n****+, mereka sedikit berisik dengan beragam aktivitas mulai dari mengobrol heboh, main hp, atau konser dadakan dengan meja, sebagai alat musik dan suara seadanya.
Tepat saat suara langkah guru terdengar, secepat kilat juga semua sudah rapi di dalam kelas. Semua siswa dan siswi sudah berada di bangkunya masing-masing, dan mereka baru menyadari keberadaan Altan saat bu Kina mengajak Altan masuk ke kelas untuk perkenalan.
Seperti layaknya perkenalan, Altan menyebutkan namanya lalu diikuti pertanyaan singkat dari teman-teman dan setelahnya Altan di suruh duduk di bangku kosong yang ada di sisi kanan dari pintu.
“Bu, apa saya boleh duduk di bangku paling belakang di ujung sana? “ Altan menunjuk tepat di bangku seorang gadis yang kini bertanya-tanya, kenapa Altan dan bu Kina menatap ke arahnya.
Altan lalu memberitahu singkat mengenai penyakitnya pada bu Kina, bu Kina mengangguk mengerti, karena sebelumnya memang sudah diberitahu pihak sekolah.
“Aynur dan Rara, kalian pindah ke bangku itu ya,” kata bu Kina.
Kedua gadis itu bertanya-tanya kenapa mereka dipindahkan, tapi memilih untuk tidak protes dan menurut saja. Altan lalu duduk di bangku itu sendirian, sesuai permintaan Altan.
“Hay, nama Lo siapa? “ Remaja pria berambut kritik dengan kaca mata berukuran sedang yang bertengger di hidungnya yang terbilang mancung, menghampiri Altan yang tengah membaca sebuah buku yang akhir-akhir ini menarik perhatian Altan—bagaimana teknologi mengubah peradaban.
Altan tersenyum ramah. “Altan Can. Bisa di panggil Al.”
“Nama Lo keren banget, kek bule-bule gitu.”
Altan tersenyum. “Kalo nama kamu? “
“Gue ... Fajar, anak-anak biasanya manggil gue, Jar atau...”
“Oi, kurang Ajar, Gue udah nyariin Lo dari zaman majapahit belum muncul,” sela seorang remaja pria bertubuh gempal, bermata sipit dan pipi yang menggembul, muncul dari luar pintu. Di tangannya terdapat es teh yang dibungkus plastik dan diberi sedotan.
“Dasar lebay.”
“Nama gue Abay. Bukan lebay,” protesnya.
“Makanya lo jangan panggil gue Ajar. Nama gue Fajar,” timpal Fajar.
Abay melirik Altan. “Eh, kita belum kenalan nak baru, nama Lo tadi Al.... Al apa? Alpa? “
“Altan,” ralat Altan.
“Oh, iya, iya...Lo kenapa gak ke kantin? “ tanya Abay.
“Iya, ke kantin yuk,” ajak Fajar.
“Eh, kok bau amis ya? Jar, Lo makan ikan busuk ya?"
“Sembarangan aja mulut Lo, gue gak makan ikan kok dari tadi,” protes Fajar. “Eh tapi kok emang bau amis yang di sini.”
Fajar dan Abay mulai mengendus.
“Itu bau badan saya,” sahut Altan jujur. Altan tidak ingin menutupi apa pun tentang penyakitnya. “Saya menderita penyakit Trimethylaminuria. Singkatnya penyakit itu membuat badan saya bau amis.”
“Gue baru dengar tuh penyakit.”
“Iyalah, Lo mah mana pernah dengar tantang kesehatan, orang yang Lo denger cuman musik rock doang. Sekali-kal mampir ke wikipedia biar otak Lo secerah jalan aspal,” sahut Fajar, ngaur.
Abay mendengus, kesal. “Udah yuk ke kantin, gue udah lapar tingkat negara.”
“Yuk Al. Sekalian gue kasih tahu letak kantinnya di mana.”
Sebenarnya Altan sudah tahu.
“Kalian masih mau teman sama saya? “ tanya Altan, heran sekaligus bahagia.
“Eh, emang kenapa gak mau temenan?” Abay membeo, menoleh pada Fajar.
“Santuy aja Al. Badan Lo cuman bau amis, gak ada apa-apanya sama kentut Abay kalo dah makan baunya ngalah-ngalahin tong sampah. Jadi gue kebel sama semua bau yang ada.”
“Gue curiga, jangan-jangan Lo anggota the bala-bala geng yang sukanya ngebully orang,” sahut Abay, sinis.
“The bala-bala geng? “ tanya Altan spontan. Altan mengingat-ingat info mengenai bala-bala geng yang tidak ada di blog itu.
“Iya itu, rombongan anak alay yang sukanya ngebully orang-orang pintar dan berprestasi di sekolah ini. Tapi mereka itu semua goib.”
“HA? “ mata Altan spontan membelalak.
“Iya, eh, tapi bukan goib dalam artian horor ya... Mereka itu ngebully targetnya dengan sembunyi-sembunyi, gak ada yang tahu siapa aja anggota The bala-bala geng,” jelas Fajar.
“Tapi kenapa mereka ngebully orang? “tanya Altan bingung.
“Hem, karena mereka berada di sayap kiri. Mereka menentang semua kebijakan kepala sekolah. Visi misi mereka mau nurunin kepala sekolah, makanya mereka ngebully orang-orang pintar dan berprestasi biar yang tersisa di sini gak ada lagi anak pintar, terus kepemimpinan kepala sekolah bakal di anggap gagal, gitu.”
“Kalo mereka goib, gimana cara mereka buat ngebully orang? “
“Biasanya sih secara cyber, mereka banyak menrekrut siswa-siswi yang pintar komputer gitu. Terus mereka bakal nyari sebanyak-banyaknya info mengenai target mereka. Biasanya mereka nyebarin kebusukan-kebusukan yang dilakukan anak-anak pintar buat dapat gelar juara. Nah kalo yang jujur, mereka lebih ke minta secara baik-baik untuk keluar dari sekolah ini dan ngasih tahu ‘rahasia-rahasia sekolah’ yang gak layak untuk mereka yang emang pintar.”
“Sekarang gue yang curiga. Kok Lo tahu banget sih, apa jangan-jangan Lo anggota the bala-bala geng,” sela Fajar.
Abay mendengus. “Ngapain juga gue ikut gituan, mau kiri mau kanan, gue gak peduli. Gue cuman mau makan. Lagian itu juga rahasia umum, semua orang di sini juga tahu sih.”
“Lo bener juga. Mana mau mereka ngerekrut Lo. Yang ada dana mereka bisa ludes buat jatah makan Lo aja.”
“Tuh, Lo tahu. Gue mah non blok.”
Altan makin bengong, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, hanya ini yang tidak Altan tahu mengenai sekolah SMA Tamsis.
“Eh, buruan ke kantin yuk.” Abay memelas. “Bisa-bisa gue kurus kalo gak makan siang.”
“Al, Lo mau ikut gak? “ ajak Fajar lagi.
“Iya, Al, ikut aja biar kita kenalin sama anak yang lain. Gini-gini kita banyak koneksi, Al. Dijamin punya banyak teman Lo di sini.”
Altan tersenyum, itu impiannya sejak lama. Benar apa yang blog itu tulis.
‘Mereka semua orang yang tulus.’
Di kantin, Abay dan Fajar memperkenalkan Altan dalam lingkup pertemanan yang makin luas, bahkan ada anak dari kelas lain juga. Kehadiran Altan di terima dengan baik di sana, bahkan Altan di anggap spesial. Mereka menanyai info detail tentang penyakit Altan dengan antusias tanpa bermaksud membully. Mereka juga bisa memaklumi penyakit yang Altan derita dan mereka berjanji tidak akan mempermasalahkan hal itu.
Saat tengah asik mengobrol tiba-tiba, keadaan kantin heboh, semua orang sibuk menatap ponsel mereka yang hanya menampilkan layar hitam. Ponsel Fajar dan Abay pun dalam kondisi seperti itu. Hanya ponsel Altan yang baik-baik saja.
“Ponsel gue kenapa nih? “
“Kayaknya ini ulah, bala-bala geng lagi deh.”
“Mereka ngeretas hp semua orang? “
“Sebenarnya apa sih mau mereka? “
Keluh semua murid di sana. Bahkan di meja mereka, beberapa anak yang tengah mabar, mengeluh kesal saat tiba-tiba ponselnya mati.
Altan menoleh pada Fajar yang nampak tenang dan Abay yang nampak tidak peduli dengan kondisi ponselnya itu, tujuan Abay hanya ingin segera mengisi perutnya sebelum bel masuk berbunyi.
“Ini ada apa? “tanya Altan pada Fajar, karena kini Abay sudah nangkring di gerobak somai untuk kembali memesan sepiring somai.
“Mungkin the bala-bala geng mau ngasih kabar. Mereka biasa suka ngeretas gini. Gak cuman hari ini doang.”
“Kasih kabar apa? “
“Gue juga gak tahu sih. Tunggu aja.” Dan benar perkataan Fajar, tiba-tiba layar ponsel Fajar menyala kembali dan terlihat sebuah kalimat di sana.
Welcome anak-anak pintar. Dahi Altan berkerut, bingung.
“Hari ini katanya, sekolah banyak banget merekrut anak-anak pintar yang di kasih beasiswa,” kata Fajar, mengetahui kebingungan di wajah Altan.
“Kepala sekolah tahu visi misi bala-bala geng, makanya beliau juga gak tinggal diam. Beliau minta ke yayasan buat kasih dana beasiswa untuk anak-anak pintar supaya mau sekolah di sini.”
“Buat apa? “
“Lima bulan lagi bakal ada olimpiade cerdas cermat, memperebutkan piala sekolah terbaik, mungkin itu alasannya.”
“Berarti mereka murid-murid itu bakal jadi korban bullying The bala-bala geng?”
“Mungkin.”
Altan tidak tahu apa yang terjadi. Tapi... Bullying bukan tindakan baik. Dan Altan tidak akan tinggal diam.
Tiba-tiba ponsel Altan berdering.
‘Hay, Altan.’
Altan mengenyit bingung, mendengar suara yang entah perempuan atau pria. Sebelumnya Altan tidak memiliki teman, hingga ada yang akan menyimpan nomor ponselnya dengan sukarelawan.
Altan kembali melihat nomor yang tertera di ponselnya. Nomor privat.
“Siapa yang telepon? “ tanya Fajar.
Altan menggeleng pelan.
‘”Halo, ini siapa? “tanya Altan.
Tidak ada jawaban dari seberang.
“Maaf, mungkin salah sambung.” Altan hendak mematikan panggilan, tapi sebelum itu terdengar kalimat. ‘Tentukan posisi kamu ya. Kamu mau ada di sayap mana....'
"Lagi-lagi gak ada kelanjutannya ...." gerutu Aarumi, nyaris mengacak-acak kertas di hadapannya. Tiga menit setelahnya gadis itu menyerah dan mencoba menulis inti sari dari sepenggal cerpen bersambung.
"Gak ada manusia yang sempurna, kalo pun dia keliatan sempurna pasti ada aja kekurangannya, entah sakit atau apalah kayak si Altan." Tulis Aarumi.