Episode 40 - Sandera

529 Words
Macan yang terluka kabarnya jauh lebih berbahaya. Tertusuknya perut Sana mengubah pandangannya pada pertarungan ini. Sana mengenal bahaya. Situasi ini pernah dialaminya. Semua berasal dari kecerobohannya menilai getaran lawannya. Menyangka mereka lemah dari getaran otot, menyangka mereka takut karena jantung berdegup kencang, termasuk bunyi jantung yang lemah tanda kematian. Sana ingin mencengkram tangan Indah. Tapi Indah, yang memang tidak berniat menyakiti, sudah keburu menarik. Indah tidak tahu kalau apa yang ia lakukan justru mempercepat pendarahan. Indah bahkan menjauh. "Kita sudahi saja. Aku sudah membalas apa yang kau lakukan padaku sebelumnya." Getaran jantung Indah yang dilihatnya sekarang adalah bukti kalau Indah takut –biasanya begitu. "Dan melupakan perselingkuhanmu..." Ujar Sana sambil menepuk kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu menyatu selayaknya gestur tangan Namaskara. Perpaduan kedua telapak tangan itu menimbulkan getaran udara dan juga denging. Rak-rak yang berada di sekitar Sana dan Indah penyok dan runtuh selayaknya diremas tangan siluman berulang kali. Sana ganti menghantamkan dua kepalan tangannya. Kali ini gedung yang seakan berteriak. Retak dan derak bermunculan menyambar dari Sana menuju Indah. Indah menghindar dengan satu langkah pendek. Fokusnya masih pada Sana. Retak dan derak yang sampai ke langit-langit diabaikannya. "Fokus ke betina itu. Biar aku yang menjaga langit-langit dan lantai yang retak," seru suara di kepala Indah berikut munculnya mulut yang penuh dengan gigi geraham. Mulut itu terbuka dan tertutup saat bicara tapi aksaranya tidak mengikuti kaidah pelafalan manusia normal. Sana tidak peduli dengan kehadiran entitas di tangan kiri itu. Baginya sekarang tangan kiri itu adalah s*****a apapun gimmick-nya. "Kau juga membunuh suamiku." Indah tersentak mendengarnya. Walau ia tahu Raga b******n, darah pria itu tetaplah basah di tangannya. Silap sejenak itulah yang dimanfaatkan Sana. Ia maju dengan menghentakkan kakinya. Riak gelombang dinaikinya bersamaan dengan jatuhnya langit-langit di sekeliling Indah. Ia terkurung di antara reruntuhan dan hanya menyisakan satu ruang: keduanya harus beradu fisik lagi. Indah ragu. Ia telat memukul nol koma satu detik lebih lambat daripada seharusnya. Dalam pertarungan hidup mati, angka itu menjadi batas garis kehidupan. Cakar dan tinju kembali beradu. Indah terhempas ke reruntuhan. Cakarnya yang tidak mencapai jarak dan kekuatan optimal untuk menyerang telah dipatahkan oleh tinju bergetar. Suara derak dari reruntuhan memancing perhatian semua manusia yang masih di luar terutama Lukman. Lukman jujur ingin mencegah tapi nyali sekali lagi menghalanginya. Ia ingin menjadi polisi jujur tapi terhalang oleh kekuatan dan budaya dari rekannya. Sekarang ia sudah mendapat kekuatan tapi masih belum berani bertindak. Tentu saja, kalimat yang melayang di udara jelas-jelas menyebut. 'Kau mengintervensi maka semua mati.' Bukankah itu semua juga sama terjadi saat ia mencoba jujur? Yang disandera adalah keamanan dirinya dan orang terdekat. Ia hanyalah manusia normal yang mempertimbangkan segala dan menjustifikasi tindakannya agar selamat. Takut mati? Ya. Sosial ataupun literal. Korupsi toh menyenangkan dan menyebar kebahagiaan, alibinya begitu. Mencabut Korupsi itu menyakitkan dan tidak ada yang mau mendengar jerit tangis manusia dewasa. Apalagi yang akan mengeroyok adalah rekan sendiri. Hanya manusia bertangan dingin saja yang rela jatuh bersama. Akan tetapi... 'Istrimu sekarat.' Adalah informasi yang tak dapat dihindarinya. Ia harus memilih. Lukman menengok pada rekannya. Haruskah ia maju sendiri atau bersama-sama? Atau ada pilihan lain yang lebih baik yang tidak dihantam oleh apapun yang tertera? Lukman sudah tersandera pilihan.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD