Bab 4. Puding Kesukaan Pak Boss

1068 Words
Para petugas kebersihan memungut semua bekas puding itu. Namun, Chandra tampak santai dengan kaki selonjoran di kursi sofanya. Sambil menonton tv sedangkan ibunya sibuk memberikan ceramah.  "Mau sampai kapan kamu kayak gini! Mau jadi apa kamu! Umur udah tua, tampang dewasa tapi sikap kayak anak TK." "Curhat dong, Mah," ucap Chandra. "Gini, mah. Sebelum depresi kita harus senang dulu, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian." "Apa maksudnya? Emang kamu lagi berakit-rakit ke hulu? Kamu kerjanya cuma hamburin duit terus, main cewek terus! Ke diskotik, ke cafe, ke laut, sekalian kuburan juga masukin!" *GLEK* Chandra baru ingat dan mengakui bahwa dirinya memang sempat menghamburkan uang dengan sejumlah wanita di diskotik atau club. Ia tak pernah benar-benar merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Yang jelas baginya hanya hedonis berkepanjangan. "Mama, aku memang sedang belajar jadi orang baik, tenang saja, Mah. Aku pasti akan selalu berusaha jadi CEO yang berbudi luhur." Sejenak ibunya merenung dan terdiam. Tatapan matanya sinis. Lalu, dia tertawa terbahak-bahak. "Hahahahaha, kamu ini! Mana ada orang berbudi luhur tapi kerjanya ngabisin duit orang tua. Tapi, kayaknya kami memang salah mendidik kamu, siapa ya kira-kira yang bisa merubah sikap kamu yang kadang sempoyongan juga." *Glek* Chandra menghela napas sebelum bicara. "Mama, manusia itu kodratnya harus berubah tapi itu perlu waktu, jadi ibarat macan tutul mana mungkin membuang tutulnya, begitu mah." "Kamu itu sok bijak tapi ngawur!" "NGAWUR!" "Udah ah. Mama mau ke ruangan papa kamu dulu," pamitnya. Chandra menggelengkan kepalanya, lalu ia duduk di atas meja kerjanya dan meneguk air minum hingga habis. Deris tertawa geli menyaksikan kebodohan boss besarnya yang terkesan lucu dan nyeleneh. Chandra tersinggung. "Apa kamu ketawa! Ada yang lucu!" "Oh, enggak. Justru Anda sangat keren, Pak boss, sumpah!" Sahut Deris. *Bruk* Meja itu dipukulnya. Matanya melotot tajam kala menatap pelayan pribadinya.  *Kriiiing...kriiiing* Ponsel miliknya berbunyi keras. Ia cek nama yang memanggilnya. Seketika matanya berbinar-binar. "Luna? Tumben dia panggil aku?" Gumamnya. "Angkat saja Pak boss, pasti dia mau itu--" Chandra mengangkatnya lalu ia berbicara dengan sosok yang ditaksirnya itu. Dan ia menatap berita bahwa sebentar lagi akan ada casting untuk sebuah drama dan iklan.  Ia pun begitu bersemangat menyambangi tempat casting di ruang lain. Sebelum menghadap wanita yang ditaksirnya, ia memakai minyak rambut, parfum, juga merapikan dulu brewoknya yang tipis. Pria jantan dan kekar itu langsung percaya diri ketika menorehkan senyuman di depan semua peserta. "Selamat datang semuanya." "Hai, Chandra," sapa Luna. Luna adalah wanita yang berperan sebagai aktris yang punya banyak prestasi. Ia sempat pindah dari PH ke PH. Mendapat bayaran mahal dan terkenal hingga luar negri. Cantik, langsing, namun sangat pemilih dalam berteman. "Luna, apa kabar? Kamu baik, kan?" Tanya Chandra. "Tentu dong. Tuh peserta casting udah antri, mereka tergiur sama bayaran mahal pemeran utama," kata Luna. "Ah masa sih, harusnya kamu saja yang jadi pemerannya," kata Chandra. "Aku bisa kasih kamu lebih." Usai berbincang di ruang casting itu. Luna mengajak Chandra ke ruangan lain untuk minum kopi. Chandra selalu bahagia ketika berhadapan dengan wanita yang ia sukai itu. Belum mampu mengatakn cinta tapi hanya dengan bahasa tubuh saja. "Kamu sukanya kopi apa?" "Robusta," jawab Luna. "Ah kok bisa samaan sih," ucapnya. "Aku udah pesan itu ke pelayan, bentar lagi datang, kok," kata Luna. Dan pelayan itu muncul mengantarkan dua cangkir kopi. Ia sajikan di depan mereka. Tapi sikap bodoh Chandra, ia langsung meneguk kopi itu.  "Mari minum," ajaknya. Wajah jeleknya mendadak terlihat. Ia kepahitan, menutup mulutnya lalu pergi ke toilet. "Sialan, gue pengen muntah!" Ketika di toilet, semua kopi itu ia muntahkan. Sampai batuk-batuk tapi sambil naik pitam. "Arrrghhh" "Sialan! Pahit banget!" Sembari menghela napas. Terdengar suara lelaki dan perempuan memasuki toilet itu. Namun ada percakapan yang membuat Chandra tertegun, dan percakapan itu terdengar seperti ini. "Nasib gue sial banget. Saudara tiri kita kabur sampe masuk jurang, tapi ingat ini resikonya gede." "Makanya, jangan banyak omong sama orang lain. Apalagi kita mau jadi publik figur, apa-apa harus terjaga. Gitu kan Dodi?" Chandra mengintip dua orang yang sedang bercakap itu. Dia heran, mengapa ada perempuan masuk ke toilet pria?. Dan mereka bercakap-cakap lagi.  "Lena, pokoknya kita harus cari tahu di mana Nirmala, gue belum puas, dia mati atau enggak pokoknya harus kita temukan, kasihan Mama harus ngurus rumah sendirian, taulah dia gak bisa nyuci, masak, beresin ranjanh aja Mama gak bisa, sama kayak kamu." "Dodi, terus kita harus cari ke mana? Ke Hongkong? Kalau ada mayat si Nirmala terus kita mau apakan? Beuh, gue enek mukanya aja, dia lebih cantik dari gue, makanya sengaja Mama jadikan dia pembantu biar kucel tiap hari." Chandra mulai kaget. Ia pun curiga pada dua orang itu. Mengintip mereka lagi lalu bersandar di balik pintu salag satu WC.  "Nirmala? Masuk jurang? Jangan-jangan Nirmala yang di rumah gue berarti saudara tiri mereka?" Batin Chandra. "Gila, jahat banget mereka. Kasihan juga, tapi kok bisa ya gue dengerin mereka bahas soal ini?"  Chandra keluar dari toilet diam-diam. Ia langsung menyambangi Luna di ruangan yang disinggahinya. Lalu duduk kembali dengan raut wajah yang agak suram. "Kenapa? Kamu muntah, ya?" "Iya, kopinya pahit banget," jawabnya. "Lagian sih main teguk aja. Oh iya, adik kamu udah datang belum dari London? Kamu tahu gak? Aku kangen sekolah lagi di sana, soalnya seru tiap malam hampir gak bisa tidur, ke club mulu," kata Luna. "Kirana mungkin minggu depan dia mau datang, mungkin saja besok atau lusa," kata Chandra. "Oh iya, kamu kapan syuting lagi?" Luna terdiam sejenak. Ia menatap mata lawan jenisnya itu dengan serius. "Aku mau fokus bisnis dulu, terima tawaran iklan juga film. Kalau drama nanti aja, soalnya kalau stripping itu syutingnya lama." Usai berbincang, mereka menyambangi kembali ruang casting untuk peran baru. Semua orang menyapa boss Chandra dengan ramah tapi kali ini ia belum mau membalas sapaannya dengan ramah pula. "Dodi, apa kabar?" Sapa Luna ceria. Ia melambaikan tangannya. Dan pemuda yang ia sapa menghampiri."Hai kak Luna. Makin cantik aja, gimana syuting film? Lain kali aku dong yang di ajak, tapi inget duitnya juga." Dan Dodi melirik Chandra. Ia tampak menyepelekan orang di depannya itu.  "Apa lihat-lihat!" Gertak Chandra. "Ih, galak amat! Tampang ganteng kayak artis Hollywood tapi garangan begini," sindir Dodi. Chandra naik pitam. "Apa kamu bilang!" "Kak Luna, dia pacarmu? Idih, jangan deh. Yang kayak gini mau ikut casting, gak pantes tapi pantesnya berperan sebagai preman atau psikopat aja pasti cocok," tukas Dodi. "Dodi, dia boss kita. Pemilik PH Wijaya entertainment," tandas Luna. Dodi tercekat. Hampir tak percaya kalau yang sudah ia rendahkan adalah bisa besar di perusahaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD