Bab 3. Menjadi ART Di Rumah Boss

1051 Words
Mereka duduk di ruang tamu. Majikan duduk di kursi sedangkan Nirmala duduk di lantai. Dalam kondisi masih terisak-isak, ia berusaha menjelaskan semuanya. Kebetulan Pak Hendra suami dari Yuni juga bersedia mendengarkan keluh kesahnya. "Dokumen itu saya ambil atas pesan ayah sebelum beliau wafat," ungkapnya. "Itu berkas surat aset sejumlah tanah dan gedung kami, saya memang tahu kasus penggelapan uang itu tapi ayah saya tidak pernah mengakui kalau beliau yang berbuat itu." "Ayah kamu wafat?" Tanya Yuni. "Iya, bu benar, sebulan yang lalu. Saya kabur dari rumah karena tidak kuat lagi hidup diperlakukan sebagai pembantu tanpa gaji, makan seadanya, dan malam tadi saya habis jatuh dari jurang," ungkapnya. "Kalau dari auranya kamu ini gadis yang baik," kata Pak Hendra. "Papa!" Gertak Yuni, istrinya. "Eh, iya mah. Maaf." Kemudian Nirmala kembali menjelaskan semuanya. "Saya sadar, jika ayah berbuat jahat maka sebagai anaknya mungkinkah harus membayar hutang kepada Anda, tapi beri saya waktu agar bisa membayar semuanya meski waktu lama. Berkas surat tanah dan gedung bisa Anda sita, anggap saja bayaran awal dari saya." "Warisan ayahmu belum cukup melunasi hutang pada kami," tukas Pak Hendra. "Iya, saya paham. Tapi berilah waktu biar saya bisa cari uang. Dan saya mohon, izinkan Nirmala yang lemah ini jadi ART di sini, gak digaji juga gak apa-apa, saya cuma ingin ada tempat persembunyian sementara. Mungkin selanjutnya saya mau kerja jadi TKI buat bayar hutang." Kata-kata dan permohonan dari Nirmala membuat mereka tersentuh. Niat mulianya memang patut dihargai, apalagi tanggung jawabnya yang besar akan hutang ayahnya.  "Aku tidak punya hukuman pada anak sebaik kamu," kata Pak Hendra. "Kamu anak orang berada, saya kenal ayahmu dulu, apa rela kamu jadi ART di sini?" "Kalau masih belum cukup, mungkin kita bisa kerjasamanya untuk membongkar semua kebusukan saudara dan ibu tiri saya, mereka penyebab utama dari kasus penggelapan uang. Kalau sudah ada bukti mungkin kita bisa laporkan dia ke polisi. Kalau semua selesai, pak Hendra bisa mengambil alih rumah saya di sana," ungkap Nirmala. Chandra menatap gadis itu. Ia memberikan segelas air untuknya."Minumlah." Nirmala tertegun, ia menerimanya lalu meneguknya hingga habis. "Makasih, ya." "Kayaknya kamu perlu ke rumah sakit," kata Yuni.  "Ah, gak usah, bu. Saya baik-baik saja," sahut Nirmala. Chandra menyentuh bagian pundak Nirmala, tentu dia menjerit kesakitan. "Aarrghh, pelan-pelan, ya." Kemudian ia sedikit membuka baju Nirmala dan mendapati luka lebam yang biru di sekujur badan gadis itu. "Separah ini kamu bilang gak perlu ke rumah sakit, idemu receh amat, sih." "Saya kan di sini mau kerja, jadi gak boleh manja sama majikan. Sakit atau enggak, biar saya nikmati saja. Jangan khawatir," kata Nirmala. Yuni beranjak dari kursi itu lalu menghadap Nirmala. "Kamu janji kan mau kerjasama membongkar kasus penipuan keluargamu itu? Berarti kamu harus sehat, sebaiknya kamu ke rumah sakit aja, biar Pak Beni aja yang antar kamu ke sana." Nirmala mengangguk pelan. Semua majikan barunya kini telah berlalu dari hadapannya. Dari pakaiannya sudah mencerminkan bahwa mereka adalah orang penting yang akan segera pergi bekerja. Begitu pula dengan Chandra yang berbadan gagah, ia pakai jas mahalnya, lalu kacamata hitam yang ia kenakan menambah kesan menawan dan macho. "Mau kerja, ya?" "Iya, sekarang aku menjabat CEO di perusahaan entertainment asuhan keluarga, pemimpin kayak begini patut di acungi jempol. Muda, kaya, berbakat, siapa yang punya sih bakat secetar bos Chandra Wijaya," ungkapnya narsis. "Oh, berarti saya harus panggil Pak Boss, ya? Iya, pak. Semoga sukses ya, hati-hati di jalan," kata Nirmala. "Sok perhatian nih pelayan!" ***** Tiba di perkantoran, seorang bodyguard membukakan pintu mobilnya, para wartawan mendadak berkerumun di sana. Mereka mengambil sejumlah potret dari CEO baru yang tampan nan berwibawa. Sikap Chandra kadang ramah kadang jutek kadang terkesan 'malu-maluin' juga. Kini dia berani melambaikan tangan pada semuanya dengan senyuman merekahnya. Salah seorang wartawan bertanya padanya. "Bisnis PH Anda semakin membludak, apa siasat ke depannya agar semua impian Anda tercapai?" Chandra menjawab," tentunya bisnis PH Wijaya Entertainment akan menjadi PH terbesar di Indonesia bahkan di Asia, dengan menayangkan berbagai drama yang berkualitas tentunya cerita yang memukau bukan recehan, merekrut calon aktris dan aktor terbaik akan menunjang semua keberhasilan kami." "Saya dengar pesaing Anda akan segera melibas perusahaan ini, pak. Apa benar gosip itu?" "Begini, ya. Pesaing pasti ada tapi kita harus tetap semangat demi kemajuan perusahaan, jangan takut dengan mereka, yang jelas kami sudah bersaing secara sehat," tukasnya. Chandra lantas masuk ke dalam kantornya. Semua wartawan mengejar namun dicegah oleh beberapa bodyguard yang handal. Begitu masuk kantor semua karyawati terpesona dengan bahasa tubuhnya, mereka berjalan dengan serentak dan tampak gagah berwibawa. "Selamat siang, Pak." "Siang juga," sahutnya sambil tersenyum merekah. Chandra lantas masuk ke dalam pintu lift bersama bodyguard pribadinya. Naik lantai tiga dan ketika pintu terbuka lagi, seseorang menyambutnya. "Selamat siang, Pak." "Deris!" Gertaknya. Chandra membuka jasnya lalu ia lemparkan pada sekretaris pribadinya itu. "Maaf, saya kira Anda mau datang pagi-pagi tapi siang lagi siang lagi," keluh Deris. Ia membukakan pintu ruang pribadi khusus CEO yang mewah. Namun, Chandra tak lantas duduk, malah mengeluh soal pertanyaan dari wartawan barusan. "Sialan! Dasar wartawan katrok! Gue sumpal mulut dia! Ngapain sih dia nyinggung pesaing bisnis gue segala," ucapnya berapi-api. " aaargghhhh kalau saja mereka nyinggung lagi soal saingan gue habisi dia!" Deris sosok yang sangat setia mendampingi boss besarnya. Ia sudah kuat jika dimarahi atau diinjak sekalipun. Perawakan yang biasa, ramah, dan sedikit nyeleneh. Tapi punya kesabaran luar biasa. "Para wartawan kalau gak bikin gosip pastinya gak punya uang, pak," ungkapnya. "Begitu, kan?" Chandra melotot tanpa berbicara. Deria menunduk malu. "Gelas," ucap Chandra. "Iya, susah pasti jelas, pak," sambung Deris Dan Chandra mengulangnya dengan keras. "GELAS!" "oh iya, Pak. Baik tunggu sebentar." Deris membawakan gelas lalu ia berikan pada boss, menuangkan air dingin untuk ia minum. "Puding," ucap Chandra lagi. Deris mengambil sebuah botol obat lalu ia berikan pada bossnya. "Ini, Pak." Chandra bingung. "Apa ini?" "Obat pusing, Pak." Chandra mengulangnya dengan keras. "PUDING!!!" "Eh, iya Pak. baik," sahutnya. Ia mengambil sekotak puding buah dan coklat untuk boss, lalu meletakkannya di atas meja. Chandra melahapnya hingga habis, bekas wadahnya ia lemparkan ke tempat sembarangan. Sekitar seratus kalori puding ia habiskan dan sampah berserakan di mana-mana.  Lalu, dia melemparkan satu bekas wadah ke depan pintu. Namun, bekas puding tersangkut di loster. Kemudian pintu itu terbuka. *Pluk* Bekas puding jatuh mengenai kepala seorang wanita, bekas cairan puding membasahi rambutnya. Seketika matanya terbelalak karena melihat kondisi kantor yang penuh dengan sampah. "Mama," kata Chandra terkejut. "Chandra!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD