"Dodi, gimana castingnya? Kamu berhasil, gak?" Tanya Shella, ibunya.
"Mamih, dengerin deh. Nunggu hasilnya itu perlu waktu, bukan sehari dua hari," sahut Dodi naik darah.
Sela menghela napas. Ia naik pitam, ia menjambak rambutnya sendiri dan amarahnya membuncah.
"Aarrrghhh, gak ada si Nirmala di rumah jadi capek, kotor, berantakan! Bau lagi! Lagian ke mana sih itu anak! Gak tahu di untung, aku ibu tirinya, eh dia malah kabur dari rumah bawa dokumen warisan segala, pusing, mamih pusing!"
"Mah, jangan dipikirkan terus. Biarin aja Nirmala pergi, kan kita ada sisa uangnya kalau habis kita jual aja rumah ini. Lumayan laku berapa kalau dijual," kata Lena sembari minum segelas jus
Ibunya, mamih Sela naik pitam, ia menjewer telinga putrinya itu.
"Aduh, mih. Sakiiit," keluhnya.
"Eh, oon. Kalau rumah ini dijual kita mau tinggal di mana coba, kamu mau jadi gelandangan? Emangnya kalian udah bisa hasilin duit banyak? Enggak, kan? Ngomong aja gampang," ucap Shella.
Dodi melepaskan tangan ibunya pelan-pelan. "Udah deh, mih. Jangan keterlaluan gitu, doakan anakmu ini biar diterima casting lagi. Kan tahu aku udah pernah kerja di PH sono, ujungnya dipecat cuma gara-gara gue absen terus."
Shella duduk di kursi sambil selonjoran. Ia masih bersikap ketus dan merasa kesal dengan nasibnya yang sekarang.
"Kenapa, mih? Jangan takut miskin, udah aku bilang kalau kurang uang kita jual aja rumah ini. Kalau aku sukses di entertainment kan bisa belikan rumah baru," kata Lena.
"Serius!"
"Dua rius, mih!"
"Aduh mamih jadi terharu punya anak-anak soleh dan solehah kayak kalian, mudah-mudahan suatu hari kita bisa kaya, ya? Peluk mamih dong ah," terang Shella.
Meski dirinya jahat tapi tak pernah mau mengakui bahwa dirinya jahat. Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di sebrang lautan tampak, deh.
Kemudian Lena membuka sosmed. Seketika matanya terbelalak karena mendapat berita yang mencengangkan. Ia mendapati beberapa foto Nirmala sedang terdampar di suatu tempat, baju yang lusuh dan robek dan wajah yang berdarah.
"Mamih, lihat berita ini. Ini Nirmala, kan?"
Shella melihat foto-foto tersebut. Ia tercekat pula ketika melihat beberapa foto yang mendramatisir.
"Ya syukurlah kalau dia udah mati. Itu berarti kita bebas di rumah ini. Mau dijual kek, apa kek, pasti kita bisa lakukan semuanya."
"Mamih ada-ada aja. Tapi, mih kalau misal rumah ini dijual, aku--aku--, bagi duitnya ya, mih. Please!" Pinta Dodi.
"Tentu dong, mamih mau kasih kalaian duit kayak saweran," tukas Shella.
Bel rumah berbunyi beberapa kali. Lena yang hendak membuka pintunya dan kemudian mendapati sosok yang berbaju hitam-hitam. Lengkap kacamata hitam dan payung hitam.
"Ada apa ini?"
"Apa benar ini rumahnya Nirmala?" Tanya dia.
"I--iya, kenapa?"
" Kami temukan jenazahnya di suatu tempat, tapi saat ini jenazah itu sudah ada di rumah duka, mohon Anda sebagai keluarganya segera menghadiri pemakaman beliau," tukasnya.
Shella menghampiri. Ia kaget ketika menyaksikan sosok yang hitam-hitam itu. Melirik-lirik pria berbadan tinggi itu sampai ke wajahnya.
"Anda tidak boleh melirik orang asing seperti saya ini," pintanya.
"Kamu siapa?" Tanya Shella penasaran.
"Saya tim pemburu mayat jalanan, dan kami menemukan mayat bernama Nirmala, kami temukan sebuah KTP juga beberapa surat," ungkapnya.
"Mana suratnya?" Tanya Shella.
"Sudah kami bakar."
"Apa!"
Mereka terkejut dan kaget saat mendengarnya. Dodi melunglai, dia naik pitam sembari memasang wajah yang bengis.
"Anda sebaiknya segera ke rumah duka sekarang untuk menyaksikan jenazahnya di sana. Tapi kita sebagai orang yang baik, mari kita doakan beliau agar tenang di sisinya. Alfatihah."
Shella dan Lena keheranan. Tiba-tiba saja tim pemburu mayat jalanan mengajak berdoa di depan pintu. Mereka hanya mengangkat kedua tangan saja sambil kunyam-kunyem, pura-pura berdoa. Dan diakhiri dengan mengusap wajah.
"Iya, pak. Kita nyusul ke sana, ya. Jangan cemas," kata Shella.
Ketika sampai di TKP. Banyak orang yang datang melayat ke rumah duka. Namun, rumah duka yang mereka kunjungi hanya dipenuhi oleh peti mati. Hingga membuatnya heran dan bertanya-tanya.
"Pak, jenazah Nirmala di mana sekarang?" Tanya Dodi.
"Ada di dalam, ayo saya tunjukan," ajaknya, ia membawa ketiga orang itu ke dalam ruangan dan langsung menghadap sebuah peti yang terkapar di sana.
Peti itu bertuliskan Nirmala. Ada KTP dirinya sengaja ditempelkan di atasnya. Shella meliriknya dan ia tertegun ketika menyaksikan semua itu.
"Sungguh kami sangat berduka atas kematian anggota keluarga kami, ini memang benar-benar KTP identitasnya yang asli. Tapi, kami bukannya tidak mau mengantarkan dia ke kuburan, kami hanya sekedar keluarga tirinya, gak wajib hadir, kan?"
"Mih, biar mereka aja yang kubur mayatnya. Ogah kalau aku hadir di pemakaman dia, udah ah kita pulang aja, gak penting ada di sini!" Kata Dodi.
Shella berpura-pura menangis saat menghadap peti mati itu. Dia hanya menarik simpati dari orang sekitarnya. Mengambil beberapa tisu untuk mengusap air mata kepalsuan. Dan dramatisnya ia memeluk peti itu sambil berteriak.
"Nirmalaaaaaa, kenapa kamu pergi secepat ini, nak? Kami sangat rindu sama kamu, kenapa! Kenapa!"
"Udah mih, jangan nangis. Biarin dia udah mati ini, kok. Jangan ditangisi," kata Lena.
"Iya gak ada kerjaan kok ditangisi sendiri," kata Dodi.
Shella mengerjapkan matanya pada Dodi dan Lena sebagai tanda bahwa mereka harus ikut berduka cita. Tapi, nyatanya mereka hanya berleha-leha tak mau meneteskan air mata sama sekali. Hanya sikap santai dan senyuman yang manis menipu.
Setelah itu, mereka menanda tangani sebuah surat penyerahan jenazah kepada pihak pengurus. Karena tak mau berhadapan dengan masalah baru. Betapa busuknya hati mereka sampai bersikap kurang ajar ketika saudara yang telah meringankan beban kerjanya diabaikan begitu saja.
"Kami menyerahkan semuanya pada pihak pengurus jenazah. Maaf, kerabat Nirmala sudah tidak ada, dia yatim piatu dan selama ini hanya numpang hidup di rumah saya," kata Shella.
"Oh iya. Siapa sih yang bakar surat-surat itu?" Tanya Dodi.
"Saya hampir lupa, surat itu terbakar secara bersamaan dengan sekujur badannya," tukas tim pengurus.
"Apa! Jadi dia --"
"Ngeri, ya?" Gumam Lena.
"Kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya, Pak. Maaf gak bisa berbuat banyak. Sungguh kami ikut sedih atas kabar duka mengenai keluarga kami," ucap Shella lagi. "Maaf, kami harus pulang sekarang ini."
"Tidak boleh!"
Mereka terpaksa harus menunggu pengurus untuk menyelesaikan semua masalah ini. Dipinta biaya untuk menguburkan, belum lagi buruh penggali kubur dan sejumlah biaya pembelian tanah pemakaman.
Shella mengeluh soal ini. Dia sebenarnya keberatan tapi karena terpaksa harus bersikap seolah dirinya peduli, dia lakukan semuanya.
"Apa boleh saya buka peti jenazahnya? Pengen memastikan saja, Pak?" Pinta Shella.
"Maaf jenazahnya sudah bau, kalau menyebar penyakit gimana? Anda juga kan yang repot."
Mereka menyaksikan peti itu masuk ke dalam ambulans. Usai acara pelepasan jenazah itulah mereka kembali pulang. Namun, masih membawa rasa kesalnya atas kematian Nirmala.
"Jangan sampai tahu, ya. Kita kan penyebab dia mati," kata Dodi.
"Mamih lega, deh. Kita bisa jual rumah itu ke orang lain. Kalau jadi duit mungkin sekitar tiga milyaran lah," ucapnya.
"Terus kita mau tinggal di mana kalau rumah udah dijual?" Tanya Lena.
"Kalian yang urus, mamih yang pake!"
Tapi, Lena teringat sewaktu di rumah duka, ada sosok yang sangat mirip sekali dengan Nirmala tepat berdiri di belakangnya. Ingatan Lena begitu lekat pada sosok itu.
"Apa Nirmala masih hidup?" Batinnya. "Ah kalau masih hidup pasti gak bakal ada KTP."