Bab 7. Penyamaran Nirmala

1244 Words
Tim pemburu mayat jalanan itu membuka semua bajunya. Ia lalu menyambangi seseorang yang sedang menunggu di ruang lain. Begitu membuka pintu mereka langsung menghadap orangnya. "Maaf, pak boss. Saya melakukannya dengan tergesa-gesa." "Tapi, akting kamu bagus juga," sahutnya. "Dasar itu, dasar kurang ajar! Kenapa dia sama sekali gak nangis, gak apa. Bisanya cuma senyum doang, gak bisa sedih meski peti mati udah di depan mereka." "Nirmala, jangan dulu emosi. Sekarang kamu udah lihat reaksi mereka ketika dengar kamu mati? Mereka gak nangis gak apa, kan? Saat menghadap peti itu sama sekali mereka gak berurai air mata. Mereka itu penipu ulung," kata Chandra. Nirmala malah terdiam sambil meratapi apa yang ada.  "Kurang ajar! Mereka pasti mau jual rumah aku," katanya. "Awas kalian!"    Nirmala terisak-isak sembari menutupi wajahnya. Ia kembali mengingat masa lalu yang buruk ketika diperlakukan layaknya pembantu. Saat semua cucian menumpuk, dia selalu jadi sasaran dan yang lain tinggal pakai, saat makanan sudah masak, yang lain tinggal menikmati sementara Nirmala makan sisanya bahkan tidak jarang dia makan nasi hanya dengan bumbunya saja.    "Pak boss Chandra, aku dendam!"   "Iya, aku tahu kamu sakit, tapi gak usah keterusan sedih kayak gini. Kamu harus cari solusi gimana caranya agar kejahatan mereka semua terbongkar," sahut Chandra.   "Janji ya aku tetap kerja di rumah Pak boss, biar aku saja yang cari solusi buat balas dendam, masalah hutang aku janji mau bayar sampai lunas. Pak boss tenang saja, aku masih muda, kok. Jangan cemas, ya?"   Chandra tertegun dengan sikap gadis di depannya itu. Raut wajah Nirmala melukiskan beban yang berat dan luka batin yang amat dalam. Bahkan tangisan itu menandakan bahwa dirinya benar-benar sedang dirundung pilu.    "Kita pulang sekarang. Tapi, kalau kamu mau gaji tambahan mungkin harus kerja juga di perusahaan aku, nanti kita bahas lagi," tukasnya.    "Selain jadi ART di rumah, aku siap jadi sekretaris pribadi pak boss, boleh kan?" Pintanya.  Chandra mengangguk pelan. "Hmmmm. Kita pergi ke festival saja sekarang, ada kepentingan di sana. Ikut saja kalau kamu mau jadi sekretaris pribadi aku." "Wah, jadi diterima juga jadi sekretaris pribadimu, Pak boss?" Nirmala lantas memeluk Chandra dengan erat. Seperti anak kecil yang memeluk boneka. "Makasih banyak, Pak boss, apapun kulakukan untukmu, Pak boss baik banget."  Nirmala masih mendekapkan kepalanya di d**a Chandra, bibirnya masih tersenyum karena ada rasa bahagia. "Nirmala, lepaskan," tegas Chandra. *Glek* "Eh, iya. Maaf, Pak boss. Saya khilaf." Sampai di lokasi festival film Indonesia dan dunia sinetron. Semua orang memberi hormat pada Chandra yang tidak asing lagi di mata mereka. Nirmala menghindar dari jepretan camera wartawan, ia menutupi wajahnya dengan tas tangan saat kilatan dari cahaya camera itu berlangsung. "Nirmala, kenapa wajahnya ditutup?" Bisik Chandra. "Aku malu, sumpah. Aku malu banget, gak biasa tampil di depan camera. Pak boss sekarang kita mau kemana? Pak boss, pak boss!" "Apa? Pak boss kemana? Kok, gak ada?" Nirmala melirik sekitar area yang dikerumuni banyak orang. Ia tampak kebingungan mencari majikannya yang hilang tiba-tiba. Kemudian, ia mencari ke area yang dihuni banyak poster pemain film, sejenak melirik-lirik semua gambarnya. "Waw, aktornya ganteng-ganteng juga." Namun, tiba-tiba saja terdengar percakapan dari seorang pria. "Saya sengaja mengikuti festival ini untuk meningkatkan kualitas sinetron dan film Indonesia, sebagai sutradara ternama pastinya idealis soal prestasi." Nirmala tercekat lalu mencoba mengintipnya dari samping kanan para wartawan yang sedang mewawancarai. "Sendi? Dia masih ingat atau enggak ya sama aku? Atau dia tahu gak aku ini sudah--," batinnya. Dan terdengar lagi percakapan yang menohok. "Pacarku sudah diketahui jasadnya, dia sudah mati dan aku pribadi tidak banyak berharap dari orang seperti itu." Nirmala terpancing emosi. Ia hendak mendekati Sendi dengan wajah yang penuh amarah dan gusar. "Nirmala!" "Eh, Pak boss ngagetin saja," sahutnya. "Dari mana saja? Aku cari dari tadi." "Kamu di sini lagi apa? Sebagai sekretaris harusnya ada di samping boss bukan menghindar. Tapi, kenapa kok kelihatan sedih begitu?" Nirmala memutarkan matanya. Dan ia mendapati tempat di sampingnya sudah kosong. "Barusan di sini ada--" "Kita ke dalam gedung itu," ajak Chandra. Nirmala masih menutupi wajahnya dengan tas tangan. Berkali-kali Chandra mencoba mengambil tas miliknya namun Nirmala menolak. Dia keberatan jika sorotan camera wartawan yang sedang beroperasi. "Dari tadi kamu kenapa sih?" "Maaf, aku kan udah ketahuan mati di media. Masa wajahku disorot mereka, takut ketahuan." Chandra merangkul pinggangnya dan kembali berjalan menuju sebuah tempat. Dengan terburu-buru ia bagai menarik tali tambang saja. "Kita ke ruang ini dulu, ya?" "Hah, toilet? Aduh, aku kira mau kemana? Ya, udah aku tunggu di sini, ya." Nirmala mengangguk pelan, ia menunggu di luar toilet yang terdapat banyak cermin. Sejenak, ia membersihkan debu di wajahnya. Mencuci mukanya dan mengikat rambutnya yang lurus.  "Pak boss udah selesai atau belum, ya?" *Bruk* Seorang pria tampan tak sengaja menabraknya hingga membuatnya hampir terjatuh. Pria itu langsung mendekatinya. "Maaf, kamu baik-baik saja, kan?" Nirmala melihat sosok yang sangat berwibawa menyapanya. "Oh, gak apa-apa. Tenang saja." Pria itu tersenyum sinis namun hambar. Matanya melirik sekujur badan Nirmala dan terakhir meneliti wajah gadis itu. "Kamu manis juga," ucapnya. Dan Chandra baru saja keluar dari toilet. Ia menyambangi Nirmala namun bahasa tubuhnya sudah mencerminkan tidak suka pada pria itu. "Hallo, apa kabar Pak chandra? Saya tidak mau dengar kalau entertainment Anda sedang down." "Hendrik, jangan anggap kami rendahan, apalagi menyepelekan. Mentang-mentang bisnis PH Anda sedang naik daun tapi jangan sampai merendahkan orang lain," tegas Chandra. "Kualitas sinetron hasil garapan Wijaya memang belum memenuhi standar, banyaknya pendatang baru dan karya skenario asal-asalan membuat bisnis Anda semakin turun," sindir Hendrik. "terima kasih untuk mengingatkan saya. Pastinya kami akan selalu berusaha jadi yang terbaik." "Oh iya, siapa wanita ini? Aktris baru? Cocok juga kalau jadi bintang film dewasa, apalagi melihat rambutnya saja sudah--" "Jangan macam-macam! Ini sekretaris saya. Ingat, jangan main-main lagi, kita bersaing secara sehat." Chandra menarik tangan Nirmala. Dirinya masih gusar setelah berhadapan dengan sosok yang dibencinya. Saingan beratnya juga. Saat keluar dari gedung itu, Nirmala tiba-tiba saja bersembunyi di belakang punggung Chandra dan menutupi wajahnya ketika melewati wartawan sedang wawancara. "Ada apa lagi?" "Ada pacar aku di sana. Itu yang lagi diwawancara." Chandra melihat sejenak. Ia mendapati seorang pria berwajah brewokan dan gagah, pelan-pelan mendekati salah satu wartawan lalu pergi kembali merangkul Nirmala. "Itu Sendi Raharja, kan? Sutradara yang lagi naik daun," kata Chandra. "Pacar aku itu. Gak tahu dia sekarang gimana nasibnya." Chandra dan Nirmala bergegas masuk mobil. Mereka berlalu dari tempat festival itu. Wajah Nirmala masih mencerminkan kesedihan dan cemas. Hingga membuat Chandra terenyuh "Nirmala, besok kamu mulai ikut aku ke kantor, kalau aku pekerjakan kamu jangan protes, ya? Biasa gaji besar kerja juga banyak." "Boleh, tapi mungkin aku harus diam terus di dalam kantor biar gak ketahuan orang. Apalagi saudara tiriku sudah lolos jadi pemain FTV di PH milik Pak boss," kata Nirmala. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kamu menyamar saja. Dari pakaian, make up, gelagat, cara bicara ya juga harus kamu ubah," kata Chandra. Nirmala terdiam. Tak mampu berkutik, ia kembali mengingat kejadian pahit di masa lalunya ketika hidup dengan keluarga tirinya. Matanya fokus menatap Chandra, ia mengangguk pelan. "Gimana?" "Pak boss ganteng." *Glek" "Konsentrasi! Jangan bengong saja, masa sekretaris bodoh begini!"   "Iya, boleh, itu ide bagus juga, tapi apa aku harus operasi plastik dulu biar wajahku berubah?" Tanya Nirmala.  Chandra menggelengkan kepala lalu ia pergi sebentar. Tak sampai lima menit dia membawa sebuah wig rambut pendek sebahu, ia memberikannya pada Nirmala. "Jadi aku harus menyamar jadi orang lain? Gak bisa jadi diri sendiri?" "Kamu udah diberitakan mati, kan? Masa orang mati hidup lagi. Nirmala, dengar kata-kata aku ini, kalau kamu mau selamat ya pakai wig ini. Tapi, pastikan kamu harus tampil beda," tegas Chandra. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD