Gaun bewarna merah menyala menjadi pilihan utama Vanessa saat ini untuk ia kenakan di pesta makan malam bersama anggota kerajaan. Satu jam sebelum acara dimulai, Vanessa sudah turun ke lantai bawah dan menemui Putri Leonor yang memang sudah siap juga. Mereka cukup lama berbincang-bincang sampai kedua mata Vanessa teralihkan karena kemunculan Rafael yang tampak tampan dalam balutan jas merah dan kemeja hitam. Rambutnya dibuat rapi saat ini dan dua kancing kemejanya dibiarkan terlepas.
Shit! Entah kenapa itu membuat Vanessa mengingat cumbuan panasnya saat di kolam. Dengan cepat Vanessa menggelengkan kepalanya dan bangkit untuk mengambil air dingin, berusaha untuk menyegarkan pikirannya yang kotor.
"Bukankah Rafael sangat tampan malam ini?"
Vanessa mendongak ketika ia menyadari bahwa Putri Ingrid sudah datang dan berada di sisinya dengan mata yang memandang serius ke arah Rafael. Vanessa mengikuti arah pandangan Putri Ingrid dan melihat Rafael yang tampak sibuk dengan ponselnya.
"Damn, Vanessa, bisakah aku mengajaknya berbicara sebentar saja?"
Vanessa menoleh ke arah Putri Ingrid. "Babe, he is a bodyguard and you are a princess."
"So? What's the problem? I think he is a perfect bodyguard. I like him, Vanessa."
Vanessa memutar kepalanya tidak percaya dengan perkataan Putri Ingrid. Bagaimana bisa bangsawan yang kelak akan menjadi ratu dari sebuah kerajaan berpasangan dengan seorang bodyguard.
"Yang Mulia, ada baiknya kau menjauhinya."
"Why? Are you jealous?"
"Big no, Your Highness," jawab Vanessa langsung, kemudian duduk di kursi bar yang ada di dapur rumahnya ini. "Dia bukan seseorang yang harus kucemburui. Dia musuhku, remember?"
Vanessa melihat Putri Ingrid mengangguk paham. "So, aku boleh mengajaknya bicara? Sepuluh menit?"
Vanessa mengembuskan napasnya. "Whatever, lakukan apa yang kau suka. Aku terlalu lelah mengurusinya."
"I love it, aku akan menemuimu setelahnya."
Kemudian Vanessa melihat punggung Putri Ingrid yang menjauh untuk menemui Rafael. Mata Vanessa tidak pernah lepas dari mereka berdua, bahkan ketika ia sudah keluar dari dapur dan tidak sengaja mengambil champagne yang ditawarkan maid. Dengan anggun, di sudut ruangan, ia menatap Rafael dan Putri Ingrid yang sedang bercengkerama.
Mereka kadang berbicara dengan serius, tapi kadang juga tertawa bersama. Itu membuat Vanessa gerah. Ia pun menghela napasnya dan menghabiskan minumannya sebelum akhirnya ia memilih keluar dari rumahnya menuju jalan setapak yang mengarah ke gudang pribadinya.
Saat ia tengah berjalan-jalan di setapak itu, Vanessa merasakan kakinya sakit karena sepatu yang ia kenakan. Ia pun melepaskannya dan menentengnya seraya menikmati angin malam yang menyegarkan tubuhnya.
"Kenapa dengan kakimu?"
Langkah Vanessa terhenti ketika Rafael, yang entah sejak kapan, sudah berjalan di sampingnya dengan pandangan terarah ke langit malam. Vanessa menoleh, melihatnya dengan tanda tanya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Mengawalimu, tentu saja."
"No, Raf, I don't need you---"
"Kau membutuhkanku, bagaimanapun kondisinya."
Vanessa tersenyum mengejek. "Oh really? Sayangnya aku tidak berpikir seperti itu."
"Keselamatanmu, itu ada di tanganku."
Vanessa memutar matanya jengah. Ia menghela napasnya dan memberikan sepatunya pada Rafael, lalu ia melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Rafael di belakang.
"Sepertinya Putri Ingrid menyukaimu," ujar Vanessa perlahan. "Bagaimana menurutmu tentang dia?"
"Putri Ingrid? Hm, she is nice and cute..."
Langkah Vanessa terhenti, lalu ia membalikkan tubuhnya dan menatap Rafael. "You like her?"
Vanessa melihat Rafael mengangguk. Lalu ia menarik napasnya dan kembali membalikkan diri untuk membelakangi Rafael.
"Jangan mendekatinya, apa kata dunia jika tahu Putri Ingrid menyukaimu."
"Memangnya apa yang salah denganku, Ane?"
Vanessa kembali membalikkan dirinya dan detik itu juga ia terkejut karena mendadak Rafael sudah berdiri di depannya dengan sangat dekat. Hingga mampu membuat Vanessa mendengar embusan napas Rafael yang beraroma mint.
"Kau seorang pengawal, bodyguard dan sebagainya. Sedangkan dia adalah seorang Putri dan calon Ratu Norwegia. Kau harusnya bisa memikirkan itu dengan logis."
Cukup lama Vanessa menunggu respon yang akan Rafael berikan, sampai akhirnya ia mengerutkan kening karena Rafael malah tertawa.
"Ada yang lucu?"
Rafael mengangguk seraya menghentikan tawanya. "Apa kau berpikir aku menyukainya sampai tahap ingin hidup dengannya, Ane?"
"Apa bukan itu?" tanya Vanessa bingung.
"Tentu saja tidak, ada gadis yang kusukai dan kupikir siapa pun itu tidak akan bisa menggantinya. Dia sempurna untukku."
"Siapa?" Vanessa tampak penasaran dengan gadis tidak beruntung yang disukai oleh Rafael itu. "Aku berdoa supaya dia kuat menghadapimu."
Rafael tak kunjung menjawab, sedangkan Vanessa terus dibuat penasaran.
"Apa dia ada di sini?" tanya Vanessa, berusaha mendapatkan petunjuk.
Rafael mengangguk.
"Gosh, jangan menyukai anggota kerajaan, Rafael!"
"Dia bukan anggota kerajaan, hanya memiliki darah bangsawan, tapi tidak sepenuhnya anggota kerajaan sampai harus mengabdikan dirinya pada kerajaan."
"Jangan membuatku pusing," seru Vanessa kesal. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menelusuri jalan setapak yang semakin jauh dari rumahnya.
Vanessa terus berjalan, sampai ia tiba di taman kecil yang khusus dibuat untuknya. Di taman itu ada sofa lembut yang bisa menemaninya untuk memanjakan mata ke langit malam yang berkilau. Ia pun merebahkan dirinya di sana, memejamkan mata di tengah angin yang menusuk tubuhnya.
"Kau minum?"
Vanessa mendengar suara itu, tapi ia enggan untuk membuka mata. Sehingga membuatnya menjawab, "Hanya sedikit. Itu tidak akan membuatku mabuk."
"Sebaiknya kita kembali ke kamar," perintah Rafael.
Vanessa merasakan tangan Rafael menggapai tangannya, membuat ia membuka mata dan entah apa yang dirasakannya, tapi Vanessa malah menarik tubuh Rafael mendekatinya dan membuat pria itu menindih tubuhnya.
"Siapa gadis tidak beruntung yang kau sukai itu?" Vanessa menanyakan itu dengan pelan, membiarkan angin melatarbelakangi perkataannya.
"Tidak beruntung?" tanya Rafael dengan alis terangkat.
Vanessa mengangguk. "Karena dia harus menghadapi pria berengsek sepertimu. Aku sungguh prihatin."
Vanessa melihat senyuman Rafael yang evil. Ia merasakan aura yang sangat berbeda pada diri Rafael. Kemudian, Vanessa merasakan tangan Rafael mulai menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan mengusap wajahnya dengan tangan yang besar itu.
"Kau ingin tahu dia siapa?"
Vanessa mengangguk. "Aku hanya penasaran, bukannya ingin ikut campur."
Rafael tersenyum ke arahnya lagi, kali ini senyumannya lebih ke dalam kelembutan. Itu berhasil menusuk perasaan Vanessa. Ia diam mengamati wajah Rafael, lalu berlari ke bibir Rafael yang merah untuk menunggu nama itu diucapkan Rafael.
Akan tetapi, hal yang terjadi selanjutnya berhasil mengacaukan pikiran Vanessa. Tanpa sadar tangannya bergerak ke bibir Rafael yang sangat menggoda dan membuat bibirnya sendiri bergerak ingin mencicipi.
Vanessa memberanikan dirinya. Ia menyentuh wajah Rafael dan berusaha menciumnya. Diletakkannya bibir merahnya ke bibir menggoda milik Rafael. Dilingkarkannya kedua tangannya ke leher Rafael dan menikmati aroma Rafael yang memabukkannya.
"Kita tidak bisa melakukannya di sini, Ane...."
Rafael menghentikan ciuman mereka. Membuat Vanessa merasa dikecewakan. Ia pun segera mendorong tubuh Rafael dan bangkit untuk berlari memasuki rumah melalui halaman belakang.
Diam-diam, ia menyembunyikan diri dari semua orang yang menikmati pesta dan berjalan tanpa alas kaki ke lantai dua, menuju kamarnya. Saat ia tiba di sana, Vanessa langsung duduk di tepi ranjangnya dan memikirkan apa yang sudah ia lakukan kepada Rafael tadi.
"Stupid," makinya pada diri sendiri.
Tok tok...
Vanessa mendongakkan kepalanya, muncul Rafael yang membawa sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di walk-in closet Vanessa.
Kedatangan Rafael di sini membuat Vanessa was-was, bahkan ia sudah mencengkeram gaunnya, mencoba untuk tidak kehilangan akalnya lagi. Namun, itu ternyata malah membuatnya memikirkan apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Rafael dalam beberapa hari ini.
"Tidurlah, kau pasti lelah karena minuman itu."
Vanessa menganggukkan kepalanya, enggan untuk menjawab Rafael.
"Vanessa...."
Panggilan Rafael membuat Vanessa terpaksa mengangkat kepalanya untuk melihat mata cokelat Rafael.
"Ingin pergi camping besok pagi?" tawar Rafael ramah.
Vanessa memikirkan tawaran Rafael itu. Selama ini ia tidak pernah melakukan perjalanan seperti itu. Benar-benar tidak pernah ia lakukan. Bukan karena ia tidak ingin, tapi karena di keluarganya tidak pernah meluangkan waktu untuk sekadar berkemah, alih-alih pergi liburan ke luar negeri.
"Apa yang harus kubawa?" tanya Vanessa, sebagai tanda persetujuan.
"Baju dan yang kau butuhkan, hanya itu. Aku akan menjemputmu di kamar besok pagi."
Vanessa tersenyum mendengar hal itu, lalu melihat punggung Rafael yang pergi meninggalkan kamarnya.