VANESSA turun dari kamarnya setelah ia menghabiskan waktu selama lima jam untuk tidur. Setelah apa yang terjadi di pagi hari itu, ia benar-benar tidak dapat tidur dengan nyenyak. Fakta lain yang ia pikirkan membuatnya sulit untuk memejamkan mata.
Itu adalah ciuman pertamanya.
Bahkan ia tak pernah berciuman dengan James yang berstatus sebagai tunangannya, meski itu belum diresmikan karena pesta pertunangan belum diadakan. Itu bukanlah hal yang biasa apabila ia tak melakukannya dengan James. Ia belum mencintai putra kerajaan Inggris itu dan ia sudah berjanji bahwa sentuhan fisik yang lebih intim akan ia lakukan dengan James ketika mereka sudah berstatus sebagai suami-istri.
Itu yang sudah Vanessa tetapkan dalam hidupnya. Bahkan ciuman pertamanya pun akan ia lakukan bersama James di depan altar. Namun, semuanya mendadak kandas hanya karena ciuman menjijikan yang Rafael berikan semalam.
"Kenapa matamu tampak lelah, kau tidak tidur, Ane?" suara Jayden mulai mengganggu langkah Vanessa yang berniat duduk di meja makan tanpa sepatah katapun.
"Ada masalah?" tanya Leonor yang juga menghentikan kegiatan makannya saat menyadari mata kelelahan Vanessa.
"Aku hanya tidak bisa tidur," jawab Vanessa datar seraya mengambil nasi dan lauk-pauk.
"por qué?" tanya Leonor.
Vanessa hanya tersenyum tipis dan melirik sebentar ke arah Rafael yang tampak santai dengan semuanya seraya menyuap makanannya. "Aku bermimpi dicium pria yang sangat kubenci, jadi aku benar-benar ketakutan."
Tepat saat itu juga Rafael batuk dan Jayden membantunya dengan memberikan segelas minuman. Vanessa yang melihat itu hanya bisa tersenyum geli.
"Kau melakukannya di dalam mimpimu? Oh astaga, Ane, kau bisa melakukannya dengan James jika kau mau. Mimpi seperti itu berarti kau sangat menginginkannya."
Kali ini Vanessa yang tersedak karena ucapan Leonor. Ia menginginkannya? Aneh sekali.
"Haruskah kita memberi mereka ruang untuk melakukannya, sayang?" Leonor bertanya kepada Jayden yang memasang raut kesalnya.
"Ane masih kecil, sayang. Lagipula aku tidak bisa membiarkan Ane memiliki hubungan intim di usianya yang belum menginjak 20 tahun. Mom sudah melarangnya dengan maksud agar tidak terulang kembali apa yang pernah terjadi kepada Mom."
"Lalu kenapa kemarin kau ingin bertaruh Ane akan membawa James ke kamar, huh?" sindir Leonor.
Jayden tersenyum. "Hanya bercanda. Aku tidak mungkin membiarkan adikku melakukan hubungan sepertiku sebelum menikah. Kami sudah berjanji akan menjaganya semaksimal mungkin. Tidak ada toleransi."
Vanessa mendadak diam. Jayden benar. Prinsip dirinya sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip sang ibu yang tidak membiarkan anak perempuannya berhubungan yang sangat tidak pantas. Vanessa sempat diberitahu bahwa ibunya dulu hamil di usia yang sama dengan dirinya dan itu murni karena kesalahan.
Ibu Vanessa tahu bahwa hal itu mungkin akan sangat sulit dilakukan Vanessa, bahkan ketika menyadari bahwa putra sulungnya bahkan sudah melakukan hal yang ia tentang. Oh, tentu saja Jayden melanggarnya. Jayden itu ibaratkan bayangan ayah mereka. Semua yang ada pada ayah mereka teralihkan kepada Jayden. Jadi ibu mereka memakluminya dan hanya meminta Jayden untuk tidak membuat perempuan lain hamil.
Sedangkan Vanessa, ia tentu saja tidak diperbolehkan.
"Jika di dalam mimpimu menjadi kenyataan, bukankah itu menjadi ciuman pertamamu, Ane?"
Vanessa dan Rafael mendadak tersedak kembali dan membuat Leonor serta Jayden bingung.
"Kak..." ucap Vanessa lemah, lalu ia melirik ke arah Rafael yang memandangnya dengan penuh tanda tanya.
Vanessa hanya bisa menghela napasnya. Tahun lalu ia pernah berdebat dengan Rafael dan secara tidak langsung bibirnya mengatakan bahwa ia pernah berciuman karena Rafael seakan mengejeknya ketika mereka melewati taman yang penuh dengan pasangan.
Lalu sekarang semuanya terbongkar.
"Pembicaraan ini melelahkan," ucap Vanessa, lalu membawa makanannya dan minumannya ke ruang tengah. Ia lebih baik makan seraya menonton televisi. Dengan kesal ia menyalakan chanel kesukaannya dan mulai menyantap makanannya dengan pelan. Ia berharap kedamaian ini berlangsung lama.
Namun, itu salah. Rafael sudah berada di sampingnya dengan tangan yang penuh buah-buahan. Vanessa seketika menoleh untuk mencari Jayden dan Leonor, lalu suara pintu tertutup menjawab rasa penasarannya. Mereka melakukan itu lagi.
Vanessa segera mengembuskan napasnya dan berusaha mengabaikan Rafael yang terlihat sedang menahan tawanya.
"Ah, jadi itu first kiss," gumam Rafael. Vanessa pun segera meletakkan piringnya di meja dan menatap pria itu tajam. "Aku merasa terhormat bisa menjadi orang yang pertama, Vanessa."
"Itu hanya kesalahan," timpal Vanessa dingin. "Aku bahkan tidak menganggap itu sebagai ciuman."
"Kau melakukannya."
"Tidak," jawab Vanessa yakin.
"Bahkan tadi kau mengakui itu sebagai ciuman, ingat?"
Vanessa seolah berusaha mengingat kapan ia mengatakannya, lalu pikirannya berada ke pengakuannya mengenai mimpi buruknya kepada Jayden dan Leonor saat mereka sarapan tadi. Seketika saja wajah Vanessa memerah karena merasa malu.
"Aku keceplosan," ralat Vanessa dengan maksud mengembalikan harga dirinya.
"Apa kau tidak menginginkannya lagi, Ane?" Rafael mendadak memajukan wajahnya, mengikis jarak yang ada antara dirinya dengan Vanessa. "Aku bisa melihat kau sangat menikmatinya semalam."
Jantung Vanessa serasa tak karuan. Wajah Rafael yang sangat dekat membuat dirinya menahan napas. Di balik itu semua, matanya diam-diam fokus ke bibir Rafael yang entah mengapa sangat menggoda. Pikirannya bahkan kembali ke malam itu dan tanpa Vanessa sadari, ia sudah menggigit bibirnya kecil.
"Aku tahu kau menginginkannya, Ane...."
Suara serak Rafael membangunkan Vanessa. Dengan cepat ia menjauh dan berdiri. "Aku tidak pernah menginginkannya," balas Vanessa. Lalu ia mengambil piringnya dan berjalan menuju dapur dengan wajah yang memerah karena malu sekali lagi akan harga dirinya.
Sial, sial, sial, umpatnya dalam hati. Ia meletakkan piringnya ke wastafel dan menghentakkan kakinya ke lantai karena merasa bodoh di depan Rafael hanya karena sebuah ciuman. Tidak cukup karena itu, ia berjalan ke lemari pendingin dan meminum air dingin untuk menetralisasi otaknya.
"Calm down, Ane, kau tidak harus terpengaruh karena satu ciuman," gumamnya pada diri sendiri. Kemudian ia meletakkan botol airnya ke dalam kulkas dan menutup pintu dengan keras. "s**t!" teriaknya ketika melihat Rafael sudah berdiri di depannya. "Apa yang kau lakukan di sini?!"
Rafael tersenyum kecil. "Memasukkan buah, aku tidak menyukainya lagi."
Vanessa menggeram. "Mood-ku selalu saja buruk di rumah ini," teriaknya, berusaha untuk menyindir Rafael.
"Kalau begitu berterimakasihlah kepadaku," balas Rafael sinis.
Oh, s**t, ingin rasanya aku membunuh pria ini, batin Vanessa tidak tahan. "Sayangnya aku sadar kau tidak membutuhkan itu, Devil," ujarnya. "Kata itu sangat berharga untuk kuucapkan kepadamu."
"Yeah, aku memang tidak membutuhkan itu karena ada lain hal yang kubutuhkan."
Vanessa tidak peduli. "Aku tidak peduli apa yang kau butuhkan, tapi daripada kau sibuk menggangguku di sini, ada baiknya kau mengurus pesta untuk malam nanti."
"Sudah kulakukan, rumah ini akan dihias satu jam lagi. Ingat Vanessa, kau hanya bisa nenghadiri pesta sampai jam 10. Tidak lebih."
Vanessa ingin sekali tidak setuju, tapi itu lebih baik dibandingkan Rafael tidak mengizinkannya sama sekali. "Tenang saja, aku juga tidak berniat menikmati pesta sampai subuh." Kemudian Vanessa pergi, meninggalkan Rafael yang masih mematung di tempatnya.
Beberapa jam kemudian, tepat setelah makan malam, pesta yang diadakan Jayden untuk merayakan hari jadiannya yang pertama dengan Leonor terselenggara cukup meriah. Berbagai kalangan atas datang merayakannya seraya membawa pasangan mereka.
Vanessa yang tampak cantik dalam balutan gaun bewarna merah menggodanya hanya bisa berdiri di sudut ruangan dengan segelas wine yang tidak akan bisa ia dapatkan lagi karena Rafael masih mengawasinya dari sudut sana.
Vanessa lama-lama gerah. Rafael terlalu menjaganya, sampai tidak membiarkan dirinya menikmati pesta dalam ketidakhadirannya.
"Halo, Ane."
Vanessa menoleh, ada Pangeran Christian yang datang dengan segelas cocktail.
"Kau tidak berdansa?"
Vanessa menggeleng dan menghabiskan wine-nya yang ia ambil tanpa sepengetahuan Jayden, dalam sekejap, lalu menukar gelasnya dengan milik Pangeran Christian yang berhasil membuat Rafael menatapnya tajam. "Mood-ku rusak karena Rafael. Dia selalu mebgawasiku."
Pangeran Christian tertawa mengejek. "Di mana Pangeran James? Dia harusnya mengeluarkan tunangannya dari iblis itu."
"Pangeran James tidak bisa hadir, tiba-tiba saja dia, Putri Ingrid dan yang lainnya dipanggil Raja Felipe. Dan aku baru sadar kenapa kau ada di sini bukannya bersama mereka ke Istana."
"Aku sudah ke sana kemarin dan aku izin tidak ke sana malam ini karena ada hal yang harus kuurus."
Vanessa mengangguk paham.
"Ane, ingin berdansa?" Pangeran Christian tiba-tiba saja mengulurkan tangannya. Tanpa mengamati bagaimana respon Rafael, Vanessa meletakkan gelasnya dan menerima uluran tangan Pangeran Christian.
"Aku mendapat kabar kau hampir didapatkan mereka di sini," ucap Pangeran Christian memulai percakapan. "Apa Rafael sudah mengamankan rumah ini?"
Vanessa mengangguk. "Seperti yang kau lihat, bodyguard semakin bertambah."
"Daddy-mu pasti membayar mahal untuk dia, sampai dia rela mati. Tapi sepertinya kau tidak menghargainya, Ane."
"Memang begitu," balas Vanessa. "Oh, shit."
"Kenapa?" tanya Pangeran Christian bingung.
"Ada Lauren. Rafael menceritakanku tadi jika yang membuatku kesulitan saat itu adalah dia."
Pangeran Christian akan menoleh, tapi Vanessa dengan cepat mencegahnya. "Jangan menoleh, dia akan senang kau pandangi."
"Oke," balas Pangeran Christian.
"Help me," ucap Vanessa kemudian. "Aku harus memberinya pelajaran."
"Bagaimana?" Pangeran Christian mengangkat alisnya.
"Kiss me."
"Big no, Ane," tolak Pangeran Christian. "Kau tunangan Pangeran James, akan bahaya jika ada reporter."
"Tidak ada," balas Vanessa. "Rafael sudah mengaturnya. Tidak ada reporter. C'mon, Yang Mulia," pintanya memohon.
"Tidak Ane, kehormatan kerajaan ada di pundak kita. Jangan melakukan hal yang akan membahayakan kita semua. Anggota kerajaan tidak bisa melakukan hal yang membuat kacau keluarga kerajaan."
Vanessa mengembuskan napasnya. Pangeran Christian benar. Keluarga kerajaan akan ternodai jika ia melakukannya, terlebih sekarang mereka sedang berdansa di depan banyak orang.
"Apa dia menjahatimu dengan sadis di kampus?"
Vanessa mengangguk. "Aku tidak tahu apa yang harus dia cemburukan dariku tentangmu. Kau bahkan bukan seleraku."
"Hei, girl. Perlu kau tahu aku lebih tampan dari Pangeran James-mu itu," timpal Pangeran Christian tidak terima.
"Yeah, in your dream," balas Vanessa mengejek. "Tapi aku masih harus membuat dia panas, hug me."
"Oke, hanya pelukan." Lalu dalam hitungan detik, Pangeran Christian sudah memeluknya. Vanessa yang bisa melihat Lauren marah merasa menang dan puas. Ia membenamkan kepalanya ke pundak Pangeran Christian dan terus menikmati tarian mereka sampai tiba di mana ia bertemu dengan kedua mata Rafael yang tajam dan mengawasi.
Vanessa lalu tersenyum mengejek. "Rafael akan membunuhku, dia mungkin kesal melihatku berpelukan denganmu."
"Wait," Pangeran Christian menjeda ucapannya, "Kenapa dia harus kesal, Ane?"
"Itu terlihat di wajahnya," balas Vanessa.
"Yeah, tapi kenapa?"
Vanessa mengerutkan keningnya dan melepaskan pelukan, lalu menatap Pangeran Christian. "Karena dengan Pangeran James saja dia seperti itu. Kupikir dia memusuhi hampir setiap pria yang kutemani."
"Serius?"
Vanessa mengangguk. "Dia datang," ujarnya kemudian ketika Vanessa tiba di sisi mereka. "Bersikaplah seperti biasa."
"Maaf, Pangeran, sepertinya Vanessa harus segera ke kamarnya."
"What?!" Vanessa berteriak tepat ke wajah Rafael. "Ini bahkan belum jam 9."
"Maaf, Vanessa, tapi aku harus membatasinya terlebih kau sudah meminum wine dan cocktail. Itu sudah melanggar batas."
Vanessa seakan tidak percaya. Ia ingin menimpali perkataan Rafael, tapi pria itu sudah menariknya keluar dari lantai dansa, membuat seluruh pasang mata memandang ke arahnya.
"Rafael, lepaskan!" hentak Vanessa ketika pria itu berhasil membawanya ke lantai atas. Vanessa menatapnya dengan tajam dan segera menampar Rafael dengan keras. "Kau sudah kelewatan batas, aku sudah 18 tahun dan ini bukan saatnya aku mengikuti aturanmu untuk kembali ke kamar sebelum tengah malam."
"Dengar Vanessa, ayahmu membiarkanku untuk mengawasimu dengan cara yang kuinginkan. Jika kau tidak suka, ada baiknya kau mengatakan itu kepadanya dan buat dia memberhentikanku."
Vanessa tampak geram. "Kau berkata seperti itu karena Daddy tidak akan melakukannya. Sebenarnya siapa kau? Sampai harus mengawasiku seperti ini dan membuat Daddy tidak bisa melawanmu."
"Aku berani taruhan, kau akan terkejut."
Vanessa tertawa mengejek. "Sok sekali, aku masih ingin menikmati pestanya. Jika kau mengantu, tidur saja lebih dulu."
Vanessa akan turun ke lantai bawah jika saja Rafael tidak menahan dan menarik tangannya dalam sekali hentakan. Pria itu membuat tubuh Vanessa terbentur dengan tubuhnya dan membiarkan jarak yang tadi ada hilang. Vanessa kini dengan jelas dapat melihat wajah dan kedua mata Rafael yang tampak geram.
"Ane, aku sudah memperingatkanmu."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu," ralat Vanessa. Seperti anti sekali ia dipanggil dengan nama itu oleh Rafael. "Kau menjijikkan."
"Yeah, aku memang menjijikkan."
"Kalau begitu lepaskan aku," pinta Vanessa ketika ia berusaha melepaskan diri dari Rafael.
"Tidak semudah itu."
"Ap---ffttt...."
Vanessa membulatkan matanya ketika bibirnya sudah ditangkap sempurna oleh bibir Rafael. Tanpa meminta izin darinya, Rafael memasukkan lebih dalam lidahnya ke mulut Vanessa dengan hanya bermodalkan gigitan di bibir Vanessa.
Vanessa meronta untuk melepaskan diri karena kesadarannya masih ada. Ia terus memukul d**a Rafael, tapi pria itu terus melanjutkan ciumannya sampai membawa mereka ke sofa yang ada di ruang tengah lantai atas ini.
Punggung Vanessa terjatuh ke sofa besar yang ada di sana dan membuat Rafael mengunci tubuhnya dengan sangat ahli. Bibir pria itu masih berada di bibirnya, dengan lidah yang berhasil menjelajahi setiap bagian mulut Vanessa.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Vanessa ketika Rafael menghentikan ciumannya untuk membiarkan mereka menghirup udara setelah ciuman panas itu. "Kau ... sialan!" Vanessa tampak geram. Ia mendorong tubuh Rafael dan langsung mendudukkan dirinya.
"Itu hukumanmu karena berpelukan dengan pria lain, Vanessa."
"Hukuman?" Masih dengan kegeramannya, Vanessa berniat menampar Rafael, tapi pria malah menahan tangannya. "Kau---"
Rafael menahan tangan kanan Vanessa, lalu mengunci tubuh Vanessa sekali lagi dengan pandangan yang tidak jauh.
Vanessa yang merasa geram tadi beralih menjadi Vanessa yang memerah karena sekali lagi wajah mereka berdekatan dan tanpa berpikir matanya mengarah ke bibir Rafael yang panas dan basah karena ciuman tadi.
"Kau menginginkannya, Ane..."
Vanessa segera sadar. Ia mengerutkan kening dan menatap jijik ke arah Rafael. "Aku tidak menginginkannya."
"Yeah, kau takut merusak harga dirimu."
"s**t, aku benar-benar tidak menginginkan itu. Jika mau, aku bisa mendapatkannya dari Pangeran James."
"Terlalu jual mahal kadang tidak baik, Ane."
Vanessa melepaskan tangannya. "Dasar sialan, aku akan membunuhmu." Kemudian ia segera mengusapkan bibirnya yang basah dan berdiri untuk kembali ke pesta.
"Vanessa, kau tidak mungkin turun ke bawah dengan penampilan seperti itu. Jayden akan menginterogasimu dan apa kau siap cerita jika kita menikmati ciuman panas itu di sini?"
Vanessa melirik tajam ke arah Rafael yang sedang tersenyum mengejeknya dan demi apa pun, ia ingin membunuh Rafael detik ini juga.