5. Tawaran

1925 Words
Menjual mobil, tinggal di kontrakan, bursa lelang … gangguan dept collector… Ghidan berdecak masih tak habis pikir. Gadis cantik yang tertidur pulas di sofa ruang tamu villa ini ternyata memiliki kehidupan asli yang sangat bertolak belakang dengan penampilannya yang bak sosialita muda. Ghidan juga sangat tahu bagaimana isi circle persahabatan Irawan sebagai atasannya. Semuanya tak ada yang kaleng-kaleng. Mulai dari kalangan pebisnis, pejabat daerah sampai pejabat pusat, selebriti, model dan masih banyak juga kalangan jetset lainnya. Lalu Vivian ini bagaimana? Memang dari luar, gadis ramping dengan wajah remaja ABG ini terlihat layaknya seorang putri bangsawan. Lantas bagaimana dengan pembicaraan Vivian yang tadi tak sengaja ia curi dengar. Bukan bermaksud menguping, salahkan saja suara cempreng Vivian yang mirip dengan kaleng biscuit. Berisiknya minta ampun, jadi tentu saja bukan salah Ghidan kalau ia mendengar obrolan antara Vivian dengan seseorang yang dipanggil Bibi Bibi itu. “Heh, bangun! Pindah ke kamar sana, sudah dibersihkan,” seru Ghidan sambil menggoyangkan telapak kaki Vivian yang menggantung di sisi sofa dengan kakinya. “Heh, si berisik, bangun!!” ulang Ghidan meninggikan suara. “Kamu tidur atau pingsan sih?” berkacak pinggang, Ghidan hanya menggeleng pasrah saat melihat tubuh Vivian tak bergerak. Hanya terdengar dengkuran halus juga kelopak matanya yang bergerak pelan. Merasa gagal membangunkan Vivian, pria itu beranjak masuk ke kamarnya. Lantas tak berselang lama, ia keluar dengan membawakan bantal serta selimut tebal untuk gadis itu. Dengan sangat hati-hati Ghidan menaikkan satu kaki Vivian hingga sama-sama lurus hingga ujung sofa, lantas menutup tubuh molek gadis itu dengan selimut tebal. Entah kenapa, meski hanya mendengar sekelumit kehidupan Vivian yang menyedihkan, timbul rasa iba di dalam hati Ghidan. Padahal sebelumnya, pria itu bersemangat sekali untuk melibatkan Vivian agar ikut terseret dalam kasus yang menjerat Annette. Merasa tak ada gunanya menunggui Vivian yang terbuai mimpi, akhirnya Ghidan masuk ke dalam kamarnya untuk ikut beristirahat sebelum esok hari ia akan memantau Annette dan gerombolannya yang akan dibekuk aparat. Beberapa jam berlalu, tidur nyenyak Vivian terganggu akibat ponselnya menjerit nyaring. Ternyata bunyi alarm pertama yang sengaja Vivian aktifkan agar ia tak bangun kesiangan karena ia harus menuju bandara. Mencoba membuka mata perlahan, gadis itu sempat keheranan karena tubuhnya dibungkus selimut hangat. Dilengkapi dengan bantal empuk yang mengganjal kepala. Juga pemandangan asing yang menyapa netranya pagi ini. “Njirr, gue nyasar di mana sih ini?” Vivian bangkit duduk sambil mengucek kedua mata. Setelah menjambak-jambak rambut panjangnya sesaat, barulah gadis itu bisa mengingat semua kejadian semalam. "Astaga, gue kan ikut ke villanya si Malih Patung Pancoran!" gerutu Vivian setelah merapikan rambutnya lagi dengan jari. Mengusap wajah beberapa kali, Vivian akhirnya meraih ponselnya yang terjatuh di bawah sofa. Alarmnya sudah berulang dua kali. Selebihnya hanya rentetan pesan dari Annette yang mempertanyakan maksudnya mengembalikan mini cooper miliknya. Lalu ada juga pesan singkat dari Yasmin yang meminta maaf perihal semalam yang tak mendengar kedatangannya di depan gerbang. "Heh, Jasmin Jasjus!" sembur Vivian saat Yasmin tiba-tiba menelponnya. “puas lo bikin gue terlunta-lunta semalaman?” sambungnya dengan sedikit bumbu dusta. Meski tak bermalam di tempat Yasmin, setidaknya Vivian tak sampai terlunta-lunta di pinggir jalan kan? Meski sofa di villa ini tak seluas tempat tidur milik Yasmin, toh buktinya Vivian tetap bisa tidur nyenyak tanpa terganggu. Gadis itu sengaja melebih-lebihkan saja ceritanya pada sang sahabat tercinta. “Yaampun, sorry, Vian… gue beneran teler semalam,” jawab Yasmin lengkap dengan kekehan kecilnya. “Teler karena mabok atau kebanyakan ‘duel’ sama Roger lo?” “Ya dua-duanya sih,” gelak kecil Yasmin semakin menjadi. “ART gue kan lagi nggak nginep jadi beneran nggak ada yang tau kalau elo teriak-teriak sampe bengek di depan.” “Akkkh, nggak asik lo!” geram Vivian hanya bisa memanyunkan bibir. “Ntar gue borong dagangan lo deh, biar lo nggak ngambek,” ujar Yasmin. “Lo di mana sekarang? Nggak jadi gembel beneran kan?” “Temen Kampret emang lo ya!” Vivian menggeliat sembari merenggangkan otot-ototnya. “Mending sekarang lo kirim semua barang-barang gue deh, gue nggak sempet balik ke villa lo, mau langsung ke airport aja.” “Emang lo di mana sih, Vi? Nggak di pos security kan?” “Hehh, ngawur lo ya, Maimunah. Gue di …,” Vivian menjeda kalimatnya sambil mengingat-ingat nama villa yang disebutkan Ghidan. “Di Bellana View, villa paling ujung, paling gede, paling cakep.” “Eh, buseeet!! Kemaren elo bilang lagi hemat biar nggak kere, kok bisa nginep di Bellana? Mihil itu, Vi.” Yasmin terdengar penasaran. “Punya kenalan gue keleus, dia semalam iba sama gue, makanya ditampung biar nggak jadi gelandangan,” jawab Vivian memutar bola matanya malas. “Ciee, semalam di Bali udah punya kenalan tajir aja lo. Om-om ya? sugar dadyy gitu? Cakep nggak?” “Bawel!! Buruan ante aja nggak usah kebanyakan tanya, gue keburu ini!” Vivian menarik ponselnya untuk melihat jam. Masih pukul setengah enam pagi. Sebenarnya masih ada dua jam sebelum keberangkatannya ke bandara, tapi karena ia tak bisa percaya pada Yasmin yang dikenal sebagai tukang telat, sekalian saja ia mendesak agar segera mengirim barang miliknya. “Elo yang baw—,” sahut Yasmin tak mau kalah. “Shut up, and bye!” pungkas Vivian lantas mengakhiri panggilan. Akan jadi percakapan yang sangat lama kalau Vivian terus meladeni Yasmin. Padahal ia harus segera bersiap agar tak terlambat saat penerbangan nanti. Tak ingin dicap sebagai tamu yang tak tahu diri, Vivian langsung bangkit berdiri lantas melipat selimut juga bantal yang semalam ia gunakan lalu ia tumpuk di ujung sofa. Merasa asing dan sendiri di villa sebesar ini, Vivian berjalan ke arah belakang saat melihat lemari pendingin. Tenggorokannya terasa kering, jadi ia butuh minuman segar seperti yang biasanya ia lakukan setiap pagi. Baru berjalan beberapa langkah, langkah Vivian kembali berhenti saat menyadari ada sosok Ghidan sedang berdiri di sebelah kitcen island sambil mengapit ponsel di telinga kanannya. Menelpon seseorang. "Kemarin sudah aku hubungi, Bu. Aku sudah tegaskan ke Riyani kalau akan membawa calon istri, dan kami akan menikah secepatnya." Suara Ghidan terdengar samar namun berhasil mengusik rasa penasaran Vivian. Iya, dalam diam dan seringai kecil, Vivian sengaja menajamkan telinga. Memanfaatkan kesempatan untuk menguping. "Pokoknya Ibu tenang aja, Anin nggak akan ke mana-mana. Aku juga akan bawa calon istri secepatnya. Setelah pekerjaanku selesai." Ghidan nampak frustasi. Terlihat dari gerakannya mengacak-acak rambut yang tadinya tersisir rapi. "Aku nggak bohong tentang wanita itu, Bu! Ibu cukup percaya sama aku ya. Wanita yang aku maksud itu ada, dan nanti akan aku kenalkan ke ibu juga." Kali ini pengawal Irawan itu menunduk sambil mengeratkan kepalan tangannya di tepian wastafel. "Hmmm, ... iya, aku tutup dulu, Bu. Wa'alaikumsalam." Ghidan memejamkan mata sejenak lalu mengacak rambutnya lagi. “Astagaaa! Dikira cari calon istri itu semudah beli ikan di pasar apa? Mana bisa secepat itu!!” gerutu pria itu pada diri sendiri. Kepalanya kembali pening karena masalah pribadi yang mendadak muncul di antara pekerjaannya yang belum rampung. Namun begitu berbalik, Ghidan dikejutkan dengan keberadaan Vivian yang meringis canggung ke arahnya. “Udah bangun?” sapa Ghidan setelah berdeham. “Hmmm, i- iya,” seru Vivian mendadak gugup saat menyadari Ghidan tak melepaskan fokus darinya. "Hmmm, gue minta minumnya boleh kan?" tanya Vivian polos sembari melirik ke arah kulkas. Ghidan mengangguk sekali. "Tinggal ambil aja. Lengkap di sana," jawabnya mengendikkan dagu ke arah kulkas. Tak sungkan lagi, Vivian gegas mendekati kulkas dan memilih minuman untuk melepas dahaganya. Benar saja, saat membuka lemari pendingin dua pintu itu ia sempat terkesima dengan betapa penuh dan lengkapnya semua isi di sana. Mulai dari buah-buahan segar, salad siap santap, sayur, makanan ringan sampai deretan minuman kemasan dengan banyak pilihan. Tangannya terulur masuk dan sengaja memilih satu kotak milo dingin, s**u kesukaannya sejak kecil. Tak peduli sudah hidup selama 27 tahun, gadis itu tetap menyukasi s**u kemasan yang lebih sering dikonsumsi oleh anak-anak itu. "Thanks, by the way." Vivian mengangkat minumannya sambil tersenyum tipis, lantas duduk di kursi makan tepat berhadapan dengan Ghidan yang terpaku pada layar tabletnya. "Sama-sama," respon pria itu singkat. "Hmmm, maksud gue, thanks juga karena ngijinin gue numpang di sini. Gue … masih boleh kan numpang di villa lo sampe beberapa jam ke depan kan? temen gue yang semalam mau ngirim barang-barang gue, habis itu gue cabut." "Silakan," jawab Ghidan masih pelit kosa kata. "Ini bukan villa saya kok, tapi punya boss saya," imbuh pria itu lagi hanya melirik sekilas ke arah Vivian. Bukannya enggan menatap lama-lama, tapi gadis itu terlalu percaya diri dengan gaun pesta kurang bahan yang dari semalam masih melekat di tubuhnya. Ghidan pria normal biasa, tentu saja ia tak mau matanya khilaf terlalu lama saat bagian d**a Vivian terekspose terlalu banyak. "Ooh, oke... gak heran sih, kalau property keluarga Dwisastro ada di mana-mana." Vivian mengamati dapur bersih tempat keduanya berbincang pagi ini. "Ngomong-ngomong kamu asistennya Irawan? bodyguard-nya gitu?" "Bisa dibilang begitu." "Tapi kok nggak ngawal Irawan?" Ghidan menarik napas panjang lantas mematikan tabletnya saat menyadari salah seorang pekerja villa mendekat dan membawakan kopi s**u yang ia pesan tadi. "Makasih banyak," seru Ghidan lengkap dengan senyum tipis pada pekerja tersebut. "Sarapannya mau disiapin di sini atau di meja luar seperti kemarin ya, Bli?" pekerja tersebut sedikit membungkuk setelah menurunkan nampan di tangannya. "Di sini saja," jawab Ghidan langsung diangguki sosok paruh baya di depannya. "Ah iya, tolong siapkan lebih banyak karena tamu saya akan bergabung," imbuh pria itu menatap sekilas ke arah Vivian yang diam mengamatinya. "Baik, akan kami siapkan, Bli," pungkas pekerja tersebut lantas undur diri dari ruang makan. "Thank you," ujar Vivian sangat lirih langsung mendapat anggukan Ghidan. "Ada pekerjaan lain yang harus saya selesaikan di sini. Terkait Annette dan ... kamu." Ghidan kembali menjawab pertanyaan Vivian sebelumnya. Pria itu juga memberanikan diri menatap lurus tepat ke arah netra Vivian yang sedikit membola karena terkejut. "Kok gue?!" protes Vivian mengusap bibirnya yang belepotan s**u milo. "Gue kan udah kasih alamat Anne." Ghidan mengangguk singkat. "Ya ya... ya, karena kamu kooperatif, jadi nggak akan terseret kasus mereka. Tapi ... hukuman dari saya tetap ada." Vivian berdecak lirik. "Hukuman ... hukuman, lagak lo kayak hakim agung aja. Tapi gue belum sepenuhnya percaya sama cerita karangan lo soal Annette ya!" cibir Vivian menaikkan telunjuk ke arah Ghidan. "Saya nggak ngarang. Tunggu saja, besok atau lusa pasti sudah ada press release dari pihak kepolisian terkait kasus mereka." Melihat begitu datar dan tenangnya wajah Ghidan, Vivian tentu saja sedikit percaya. Dan berharap semua masalah hukum yang akan menjerat Annette nanti tak akan menyeret namanya. Please ... hidupnya sudah penuh masalah, ia tak ingin membuka pintu untuk masalah lain lagi. "Awas aja kalau lo ngerjain gue. Gue doain nggak dapet-dapet nyari calon istri!" seru Vivian setengah mengancam. “Kamu nguping?” Ghidan mengerutkan kening. Vivian hanya mengendikkan bahunya santai. “Bukan salah gue kalau punya telinga super sensitive.” Ghidan kembali menggeleng dengan tingkah Vivian yang menurutnya kekanakan. “By the way, nama gue Vivian.” Vivian mengulurkan tangan mendadak ingin memperkenalkan diri secara benar pada pria di depannya. “Saya sudah tahu.” “Tapi gue belum tau nama lo, Maliiiih!” Berdecak sekali, akhirnya Ghidan membalas uluran tangan Vivian. “Ghidan.” Vivian tersenyum miring. “Oke, Ghidan, gue mau minta maaf kalau nggak sengaja menguping pembicaan lo barusan. Tapi beneran kok, gue nggak sengaja.” Ghidan mengangguk singkat. “Lupakan saja.” “Sayangnya gue nggak mudah lupa gitu aja. Ngomong-ngomong gue punya penawaran menarik terkait masalah lo mencari istri.” Ada-ada saja! Ghidan sontak melirik curiga pada gadis manis di depannya. “Tawaran apa?” Ghidan mencoba tenang menghadapi Vivian. “Gue bersedia berperan sebagai calon istri pura-pura lo. Tapi dengan satu syarat!” Ghidan nyaris tersedak minumannya sendiri. “Gila!!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD