2. Suami Sebelah Rumah

1411 Words
Duduk didepan cermin meja riasnya, memoles wajah yang sudah cantik dengan make-up. Gelia tidak akan percaya diri jika keluar tanpa make-up karena mungkin sudah menjadi kebiasaannya yang selalu tampil cantik dan sempurna. Tak lupa untuk baju yang dikenakan pun tak luput dari perhatiannya. Gelia memutar-mutar badannya, tersenyum mengagumi betapa cantiknya dia. Meraih arloji lalu memakainya di tangan kanan. Menyambar tas dan bersiap untuk keluar. Pagi ini dia akan pergi ke kantor agensi yang menaunginya. Hanya ada jadwal satu pemotretan saja hari ini, setelahnya dia free. Akhir-akhir ini popularitasnya menurun drastis. Sepi job yang membuatnya harus berpikir keras sekiranya apa yang harus dia ubah. Skill yang harus ditingkatkan agar banyak klien yang memakai jasanya lagi. Ini semua karena Gery Ganesha. Mantan kekasih yang tega membuangnya begitu saja dan malah menikah dengan wanita lain. Gara-gara Gery juga Gelia sering mangkir dari jadwal kerja sehingga banyak job yang dialihkan pada rekan kerjanya yang lain. Membuka pintu dan terkejut melihat keberadaan seseorang yang berdiri dengan bersandar pada kusen. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana training. Mata Gelia terbelalak dengan tubuh mundur ke belakang. "Selamat pagi istri!" sapa lelaki tampan dengan disertai seulas senyuman. "Kamu! ngapain pagi-pagi sudah di sini?" tuding Gelia tidak percaya karena tiba-tiba saja lelaki yang baru dia ingat adalah suaminya, muncul setelah seminggu lamanya hidup Gelia tenang tanpa kehadiran pria itu. "Kamu lupa jika punya suami yang tinggal di sebelah rumahmu?" tanya Gaston menyindir. Gelia memutar bola matanya jengah. Iya, dia beneran lupa jika sudah menikah. Pasalnya setelah dia dan Gaston kembali ke kota usai acara pernikahan yang diadakan di kampung halaman Gelia, mereka telah menjalani kehidupan masing-masing. Satu minggu ini Gelia juga tidak pernah melihat lelaki itu meski pun Gaston tinggal persis di sebelah rumah yang dia sewa ini. Gaston Tanuwijaya, adalah pria tampan yang tiba-tiba harus menjadi suaminya atas dasar perjodohan dan paksaan keluarganya. Gelia kesal dan belum bisa menerima kehadiran pria yang tidak dia sukai itu. "Minggir! Aku mau berangkat." Bukannya pergi dari hadapan Gelia, Gaston justru dengan santai melenggang masuk ke dalam rumah melewati Gelia yang bahkan tersenggol bahunya hingga oleng ke samping. Gelia panik. Gaston melangkah makin masuk ke dalam rumah tempat tinggalnya. "Hei! Gaston jangan masuk! kamu ini nyebelin banget sih!" Gaston tak perduli. Dengan sikap arogannya pria itu malah berdiri di samping mini bar. Tangan yang masih berada dalam saku celana, pandangan lelaki itu menyusuri seluruh penjuru ruangan yang baru pertama kali dia datangi. Lumayan rapi, batinnya. "Gaston! Kamu mau ngapain!" teriak Gelia panik sendiri karena sikap Gaston yang mencurigakan itu. "Aku ke sini hanya mau minta sarapan," jawab Gaston asal. Mata Gelia melebar. Mulutnya berdecak kesal. "Kamu pikir rumah ini warung?" Gaston membalikkan tubuhnya saling berhadap-hadapan dengan Gelia. "Ini rumah istriku. Jadi wajar kan kalau suami minta makan di pagi hari pada istrinya. Mana perutku sudah lapar." "Aku nggak punya makanan. Kamu salah tempat jika datang ke sini. Lagian jaman sudah modern begini kamu bisa order makanan via online. Ngapain juga harus minta-minta makan ke sini. Dan ingat, ya! Suami istri itu hanya status. Kita sudah sepakat untuk hidup masing-masing tanpa saling mencampuri hal pribadi." Karena Gaston tak bergeming di tempatnya, juga tidak mendengar semua ucapannya, Gelia menarik lengan pria itu berencana untuk mengusir dan membawanya keluar dari dalam rumah. Keras dan berotot yang Gelia rasakan ketika tangannya bersentuhan dengan lengan Gaston. Gelia menelan ludah gugup. Melihat tubuh bagian atas pria itu yang hanya berbalut kaos putih polos dan mencetak jelas otot-otot lengan Gaston, membuat jantung Gelia berdetak dengan sangat kencang. Buru-buru ia lepaskan. Mencoba menormalkan kembali ekspresi wajahnya jangan sampai Gaston mengetahui jika saat ini dia sangat deg-degan luar biasa. "Lebih baik kamu keluar sekarang karena aku harus bekerja." "Aku tidak mau pergi sebelum kamu urusi, Gelia. Ingat tugasmu sebagai istri adalah mengurus suami dengan baik dan benar." "Apa kamu tidak mendengar apa yang tadi aku sampaikan? Pernikahan kita hanya status dan sesuai kesepakatan … kita akan hidup masing-masing. Mengerti!" "Kapan kita pernah membuat kesepakatan seperti itu?" Gelia gelagapan. Mereka memang tidak pernah ada pembicaraan demikian. Namun, Gelia sendiri yang mengasumsikan demikian mengingat setelah menikah, Gaston menghilang begitu saja dari kehidupannya. Gelia sudah kembali hidup tenang seminggu belakangan. Siapa sangka jika pria yang berstatus suaminya itu, tiba-tiba hadir kembali tanpa diminta. "Sudahlah Gaston. Jangan mempersulit hidupku. Bebanku sudah terlalu banyak jadi jangan kamu tambahi lagi." Gelia enggan menanggapi pria itu. Ia pun balik badan dan tetap pada tujuan awalnya untuk segera berangkat. "Aku harus pergi sekarang. Jika kamu masih mau di sini silahkan!" Perempuan itu pun melangkah keluar berharap Gaston pun ikut menyusulnya. Akan tetapi apa yang dia inginkan tidak terwujud, karena sampai Gelia masuk ke dalam mobil pun tak ada tanda-tanda Gaston akan keluar dari dalam rumahnya. Sebodoh amatlah! Pikir Gelia, toh di dalam rumah sewanya itu tidak ada barang berharga. Jika Gaston berniat buruk pada rumahnya, biarkan saja. ••• Ternyata, meninggalkan rumah dengan Gaston masih berada di dalamnya, tidak membuat Gelia bisa tenang. Untung saja hari ini dia hanya ada satu agenda pemotretan sehingga di tengah hari perempuan itu bisa meninggalkan kantor agensi. Sebenarnya, dia ingin ke salon karena Gelia berencana untuk menemui Gery, mantan kekasihnya. Gelia harus tetap terlihat cantik dan memukau agar Gery kembali terpesona padanya. Semenjak Gery memutuskannya, keuangan Gelia bisa dikatakan tidak baik-baik saja karena sokongan dana yang biasanya ia dapatkan dari Gery tak lagi memenuhi rekening bank-nya. Begitulah Gelia. Jika dikatakan matre ... ya, memang. Perempuan mana yang tidak akan tergoda ketika memiliki kekasih banyak uangnya. Tentulah Gelia akan memanfaatkan kesempatan yang ada seperti selama berpacaran dengan Gery yang loyal dalam segi keuangan. Sayangnya Gery malah menikah dengan perempuan lain lalu membuangnya begitu saja. Membuat Gelia kesal, marah, frustasi dan patah hati. Sebenarnya dengan kecantikan yang Gelia miliki, dia bisa dengan mudah untuk menggaet pria mana pun yang dia mau. Hanya saja tak ada lelaki yang tulus padanya selain Gery Ganesha. Beberapa lelaki kaya yang mencoba dia dekati, mau memberikan uang dan mencukupi kebutuhannya asalkan ada timbal balik darinya. Apalagi jika bukan tubuhnya yang mereka inginkan. Dan Gelia tidak akan mengorbankan masa depannya untuk hal yang belum pasti dia dapatkan. "Gel! Mau ke mana lo! Buru-buru amat?" tanya salah satu rekannya sesama model. "Pulang." "Lah, tumben sudah mau pulang. Ini bahkan masih siang Gelia!" "Lalu kenapa memangnya kalau masih siang?" "Ya nggak kenapa-kenapa. Tapi seperti bukan Gelia saja yang jadi betah pulang ke rumah. Oh, atau jangan-jangan di rumah ada mainan baru, ya? jadi pengen buru-buru cepat pulang." "Apa sih!" Gelia tidak mau meladeni temannya itu karena yang ada dalam benaknya adalah kecemasan jika sampai Gaston mengacau tempat tinggalnya. *** Memarkir mobil di carport depan. Mobil hadiah dari ayahnya karena dia bersedia untuk dinikahkan dengan Gaston. Dengan memiliki mobil seperti sekarang ini akan memudahkan mobilitasnya yang sering berada di luar rumah. Tergesa menuju pintu, ketika tangannya memutar handelnya, pintu secara otomatis terbuka. Kening Gelia mengernyit karenanya. Cemas dan khawatir menghantui. Melangkah cepat memasuki rumah sewa yang sebenarnya tidak banyak memiliki barang berharga. Bahkan isi dalam rumah pun lebih banyak adalah bawaan dari si pemilik. Langkah kaki Gelia terhenti di ruang tengah. Sosok lelaki yang tidur telentang di atas sofa bed depan televisi menarik perhatiannya. "Rupanya dia masih di sini," gumam Gelia memperhatikan Gaston yang sedang tidur dengan satu lengan menutup mata. Pelan-pelan wanita itu melangkah menuju ruang makan karena di sana dia dapat melihat beberapa mangkok serta piring tersaji di atas meja. Dan ketika Gelia melongokkan kepalanya, rupanya isinya adalah makanan. Menoleh ke samping melirik pada Gaston yang tidak terusik akan kehadirannya. "Apa iya dia yang masak ini semua?" Gelia mengedikkan bahunya dan memilih masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan mengganti bajunya. Lima belas menit kemudian, baru saja Gelia membuka pintu kamar, terkejut karena Gaston sudah duduk di atas sofa. Pria itu melemparkan senyuman. "Kamu sudah pulang?" "Seperti yang kamu lihat, kalau aku ada di sini itu berarti aku sudah pulang." Gelia berjalan mendekat, "Kamu ngapain sih masih di sini?" "Nungguin rumah kamu lah. Apalagi memangnya." "Hah! Dasar kurang kerjaan. Pulang sana!" usirnya. Gaston tertawa. "Sangat tidak sopan. Suami sendiri diusir." Mata Gelia melotot tajam. "Siapa suruh kamu di sini." "Iya aku pulang." Gaston beranjak berdiri. "Oh, ya. Aku tadi sudah masak untuk kamu. Dimakan, ya? Aku pulang dulu," ucap Gaston, mengacak rambut Gelia, sebelum berlalu pergi meninggalkan istrinya. Gelia terpaku di tempatnya. 'Itu tadi apa? Dia mengacak-acak rambutku, tapi kenapa malah hatiku yang berantakan.' Ia geleng-gelengkan kepalanya. Menepuk kedua pipinya berharap ini semua hanyalah mimpi semata. Tidak ... tidak. Dia tidak boleh baper pada lelaki songong yang harusnya dia hindari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD