1. Kita Suami Istri
Tangis pilu mempelai wanita yang sedang didandani di dalam kamar, mengiris hati yang mendengar. Belum lagi gara-gara air mata yang terus tumpah, membuat perias pengantin kesusahan mendandani. Pasalnya, make-up yang sudah dipoles, kembali luntur dan hal itu membuat kerja mereka jadi berkali-kali harus diulangi.
"Mbak udahan dong nangisnya. Nanti cantiknya ilang," ucap salah satu perias, mencoba menenangkan.
Dengan judes Gelia menjawab, "Kamu nggak tahu gimana perasaanku. Coba kalau kamu berada di posisiku, pasti kamu akan melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan ini."
Iya, andai saja Gelia mampu, pasti wanita itu sudah kabur semenjak seorang bandot tua datang ke rumah ini untuk meminangnya. Masalahnya, Gelia tidak bisa berbuat banyak lantaran ayahnya benar-benar menyekapnya dan tidak memperbolehkan dia keluar ke mana-mana. Hidup dalam pengawasan ketat selama seminggu ini. Dan jika dia menolak dinikahkan, maka konsekuensinya adalah dia yang tidak akan diakui sebagai anak. Gelia belum siap hidup terlunta-lunta di jalanan andai ayahnya yang seorang Haji dan disegani di kampung ini, sudah memutus hubungan kekeluargaan dengannya. Sebandel-bandelnya Gelia, dia tidak akan nekat jika ayahnya sudah mengancam untuk tak lagi mengakuinya anak.
Gelia ingat betul saat lulus kuliah, bukannya bekerja sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya, tapi malah Gelia mengembangkan karir sesuai bakatnya menjadi seorang model. Ayahnya menentang keras kala itu. Tapi Gelia tetep keukeh dengan pendiriannya. Memamerkan pada sang Ayah bahwa dia sanggup menembus dunia model Internasional. Sebuah kebanggaan yang sayangnya tidak membuat ayahnya bangga. Beberapa tahun belakangan Gelia memutuskan tidak pernah pulang ke kampung halaman, karena tidak sanggup mendengar omelan ayahnya.
Dan di dua mingguan lalu mungkin, ketika kedua orangtuanya memaksa pulang saat lebaran, dengan dalih merindukannya, dalam kebimbangan Gelia iyakan. Dan alhasil, berakhirlah dia yang akan dinikahi bandot tua sialan. Entah akan dijadikan istri yang keberapa, Gelia tak paham.
Huwa!
Tiga orang perias kebingungan karena tangis Gelia makin kencang.
"Mbak! Mbak tenang ya jangan malah kenceng begini nangisnya."
"Gimana nggak nelangsa Mbak kalau sebentar lagi aku akan dinikahi bandot tua."
Salah satu diantaranya sampai terbengong mendengarnya. "Bandot tua?"
"Iya bandot tua yang akan dinikahkan denganku. Entah dijadikan istri keberapa aku nanti. Awas saja. Setelah menikah, aku pastikan akan kabur sejauh mungkin sampai si bandot tua itu tidak akan bisa menemukanku."
"Mbak nggak salah lihat calon suami, kan? Perasaan ganteng deh. Bukan bandot tua," celetuk si perias karena dia barusan melihat pengantin pria datang dan sedang mengobrol dengan penghulu di depan.
Namun, belum selesai obrolan mereka, pintu kamar terbuka. Ibunya Gelia melongok ke dalam. "Sudah selesai belum?"
"Belum, Bu. Mbak Lia-nya sejak tadi nangis terus jadinya harus bolak balik dibenerin riasannya."
"Aduh, Lia. Kamu ini kapan sih tidak berulah. Padahal acara akad nikah mau dimulai."
Dengan bibir mengerucut kesal, lantaran sang ibu sama sekali tidak perduli padanya, padahal mereka sama-sama perempuan. "Kalau mau dimulai ya dimulai saja. Tidak perlu nungguin aku, Bu!"
Wanita paruh baya itu menghela napas berat. "Ya sudah kalau begitu ibu bilang ke ayahmu."
Pintu kembali tertutup. Menyisakan Gelia yang merana dan nelangsa.
•••
"Alhamdulillah sah," ucap perempuan berjilbab yang masih menunggui Gelia setelah selesai merias. Sementara dua orang yang lainnya memilih keluar menyaksikan acara sakral yang baru saja selesai dilangsungkan.
"Ayo, Mbak. Saya temani keluar."
Gelia sangat enggan bahkan untuk beranjak dari duduknya terasa berat. Tapi wanita yang sedang bersamanya ini malah memaksa. Memegangi lengannya, mendampingi keluar ke tempat acara karena ada berkas berupa buku nikah yang harus dia tandatangani.
Bisik-bisik mulai terdengar yang kebanyakan adalah memuji bahwa dirinya cantik. Namun, dalam hati Gelia malah menggerutu. Percuma cantik kalau suaminya bangkotan tua. Begitulah dia mencibir dalam hati.
Bahkan karena rasa malu, sebab lagi-lagi Gelia merasa orang-orang pasti akan menertawakannya. Yang perempuan cantik dan muda, pengantin lelakinya sudah aki-aki.
Gelia tidak mampu jika harus mendengar semua omongan nylekit yang biasa dilontarkan oleh orang-orang kampung yang sukanya membicarakan orang lain. Oleh sebab itulah, dalam perjalanannya menuju meja akad, wanita itu hanya menundukkan kepala berusaha menghindari tatapan mata orang-orang yang ternyata banyak sekali memadati rumahnya. Maklum lah orang kampung. Yang pernikahan saja dianggap tontonan. Setelah ini masih akan dilangsungkan acara resepsi hingga malam nanti.
Gelia didudukkan di sebelah lelaki yang telah menikahinya. Harum parfum si pria menusuk indera penciuman Gelia. Dalam benak wanita itu berpikir lagi, harum maskulin dari parfum ini, mana mungkin dipakai oleh seseorang yang Gelia pernah lihat sekali, sudah tua. Seumuran ayahnya. Tidak cocok saja rasanya.
"Tanda tangan di sini," ucap penghulu meminta agar dia membubuhkan tandatangan pada buku nikahnya. Gelia menurut.
"Sekarang kalian berdua sudah sah sebagai pasangan suami istri. Silahkan dicium tangan suaminya. Pun halnya suami, silahkan dicium kening istrinya."
Gelia ingin protes dengan semua prosesi tindak penting itu. Namun, tiba-tiba sebuah tangan terulur padanya. Gelia hanya melirik sekilas awalnya. Akan tetapi dia tertarik ketika menyadari tangan yang berada didepan wajahnya begitu besar dan berotot. Tidak cocok dimiliki oleh seorang lelaki tua yang biasanya memiliki kulit yang sudah keriput.
Dengan memberanikan diri, Gelia perlahan-lahan mulai mengangkat kepalanya sebab penasaran. Dan yah ... matanya melotot sempurna mengetahui bahwa lelaki yang duduk di sebelahnya ini bukanlah pria tua seperti yang dia bayangkan selama ini.
"Kamu!" ucapnya terputus antara rasa kaget sekaligus bingung.
Wanita berjilbab yang merupakan perias pengantin yang sedang mendampinginya terkikik geli melihat kebingungan Gelia. Lalu berbisik lirih, "Saya bilang juga apa. Ganteng kan Mbak pengantin prianya."
"Tapi ... kok bisa dia yang jadi pengantinnya?" Gelia mengajukan tanya saking bingungnya.
Gaston ikut terkekeh melihat wajah lucu dari wanita yang baru saja dia nikahi. Gaston tahu jika Gelia pasti tidak pernah menduga dengan apa yang ada di depan mata. Sama halnya dengan dirinya yang tiba-tiba dipaksa sang papa untuk dijodohkan karena tak kunjung juga memiliki pasangan. Hingga nama Gelia yang dicetuskan sang papa, membuat Gaston tidak bisa tidur beberapa malam. Sampai akhirnya Gea, sahabat baiknya, yang meyakinkan bahwa mungkin Gelia adalah jodohnya. Sehingga dengan amat sangat terpaksa, Gaston menerima perjodohan yang dirancang oleh papanya. Siapa sangka jika Gelia merupakan gadis kampung yang kesasar di kota besar dengan kepribadian yang berbeda.
"Kenapa? Kamu berharap papa saya yang menikah sama kamu," ucap Gaston menggoda yang makin membuat Gelia mendelikkan matanya.
"Sembarangan saja kamu kalau bicara. Lagian kenapa kamu yang menikahiku, hah?"
"Ya sejak awal memang aku yang dijodohkan dengan kamu. Dan papaku melamar kamu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untukku."
Mata Gelia mengerjab-ngerjab. "Jadi kita berdua adalah suami istri?"
Pertanyaan aneh yang bagi Gaston tak perlu dijawab.