Pada hari minggu yang normal, Pendeta Ivan seperti biasa menghabiskan sebagian besar hari Selasa sorenya dengan mengurung diri di ruang kerja dan tak mau menerima telepon-telepon sedang dia mempersiapkan topik untuk menjelang khotbahnya. Dia tengah merenungkan kejadian-kejadian terbaru, mencoba masuk dalam setiap persoalan kebutuhan para jemaatnya, banyak berdoa, dan apabila tidak ada yang sedang terjadi, dia pergi ke lemari-lemari arsipnya dan mencari kumpulan khotbah lama. Saat timbul sebuah gagasan, dia akan menuliskan garis besar gagasannya secara singkat, setelah itu dia mulai membuat karangan lengkapnya. Ketika itu, bebannya sudah berkurang, dia bisa berlatih dan mempraktikkan narasi khotbahnya hingga hari minggu. Tidak ada hal yang terasa jauh lebih buruk selain bangun di hari Rabu pagi tanpa gagasan sama sekali.
Bersama Harry Kazuya di dalam benaknya, dia tidak mampu memusatkan perhatian pikirannya ke hal yang lain. Setelah makan siang pada hari selasa, dia tidur cukup lama. Kemudian terbangun dan kepalanya terasa pening, dia mendadak grogi. Kiki sudah meninggalkan kantor untuk membacakan sesuatu untuk anak-anak, dan Ivan mengatur di seputar gereja, dia masih belum mampu melakukan suatu hal yang lebih produktif. Dia akhirnya memutuskan untuk pulang. Dia bermaksud datang ke rumah sakit dan memeriksa kondisi Harry Kazuya, siapa tahu penyakit toksoplasmosis itu hanya kamuflase dari sebagian dosa-dosanya dan kemudian bergeser. Tapi rasanya itu mustahil.
Sedang Kiki memasak makan malam, anak-anak mereka sibuk mengerjakan tugas rumah, Ivan menemukan ketenangan di garasi. Target terakhirnya adalah mengatur dan mengecat garasinya itu, lalu berencana untuk merawatnya supaya terlihat rapi seperti itu untuk selama-lamanya. Dia biasanya sangat menikmati pekerjaan bersih-bersih itu, tapi Harry kembali mampu merusak itu juga. Usai setengah jam berlalu, dia akhirnya menyerah dan membawa laptop ke kamar tidur mereka lalu mengunci pintu. Situs internet yang khusus mengolah berita-berita seputar kasus Furuya Satoru terasa seperti magnet, layaknya n****+ tebal yang sangat memikat, juga kash banyak sekali yang masih belum dibaca.
SKANDAL MURASAKIBARA TETSU-SUZU HIROSE
Pendakwaan Furuya Satoru dipimpin oleh Murasakibara Tetsu, jaksa penuntut umum Kota Kanto. Sedang Hakim yang memimpin persidangan kasus Furuya Satoru adalah Suzu Hirose. Baik Tetsu maupun Suzu, mereka merupakan pejabat-pejabat yang terpilih. Pada saat berlangsungnya persidangan, Tetsu sudah memangku jabatannya selama kurang lebih tiga belas tahun. Suzu Hirose telah menjabat sebagai Hakim selama lima tahun. Tetsu menikah dengan istrinya, Kaoru Shida, dan mereka mempunyai, dan masih mempunyai tiga anak. Suzu menikah dengan suaminya, Kentaro: dan mereka mempunyai dan masih mempunyai, dua orang anak.
Suami-istri Tetsu sekarang sudah bercerai, begitu juga suami-istri Suzu.
Satu-satunya mosi penting yang diajukan oleh pihak pembela dan telah mendapatkan persetujuan Hakim Suzu yakni permohonan untuk mengubah tempat persidangan. Mengingat sisi sensasional dari kasus tersebut, pun liputan media yang ekstensif, persidangan yang adil terbilang mustahil dilakukan di Kanto. Para pengacara Furuya Satoru berniat memindahkannya ke tempat yang jauh dari Kanto, dan mereka mengusulkan entah itu Kagawa atau Tokushima, masing-masing sekitar empat ratus kilometer jauhnya dari Kanto. Sedang Hakim Suzu menyetujui permohonan itu—para ahli juga sepakat karena mengerti bahwa Hakim itu sudah tak punya pilihan antara jawaban iya dan tidak, melangsungkan persidangan di Kanto berpotensi menimbulkan kesalahan tertentu yang datang tak terduga—jadi dia memutuskan untuk melangsungkannya di Kawasaki. Tinggi Gedung Pengadilan Kawasaki hampir lima puluh kilometer dari gedung pengadilan di Kanto. Usai keputusan bersalah itu dilayangkan, para pengacara Furuya Satoru dengan gencar memperdebatkan bahwa tidak ada bedanya antara menyidangkan kasus Furuya Satoru tersebut di Kawasaki maupun menyidangkannya di Kanto. Sebenarnya, ketika proses pemilihan anggota dewan juri, sebagian dari mereka sudah pernah mendengar tentang kasus tersebut.
Selain pada perubahan tempat persidangan, Hakim Suzu kerap menunjukkan sikap ketidaksabaran terhadap pihak pembela. Keputusannya yang paling krusial adalah memperbolehkan pengakuan Furuya Satoru yang diperoleh secara paksa itu sebagai salah satu bahan bukti. Sesungguhnya, tanpa adanya pengakuan tersebut, maka jaksa penuntut tidak punya kasus, tidak punya bukti, dan tak punya apa-apa. Esensi dari pengakuan itu lah yang menjadi kasus mereka. Namun masih ada beberapa keputusan lain yang sama-sama merusaknya. Polis dan jaksa penuntut menggunakan strategi favorit mereka dengan menghadirkan seorang informan penjara yang bernama Obana Otsuki. Obana dipenjara sehubungan dengan masalah narkotika dan sepakat untuk bekerja sama dengan Detektif Bonjamin dan Lembaga Kepolisian Kanto. Dia ditempatkan di dalam sel penjara bersama Furuya Satoru selama empat hari, lalu dia dipindahkan. Furuya Satoru sudah tidak pernah melihatnya lagi usai persidangan. Obana memberikan kesaksiannya bahwa Furuya Satoru berbicara terus terang tentang p*******n dan pembunuhan seorang gadis yang bernama Bella Stefa, dan dia bersaksi bahwa dia merasa gila usai Bella Stefa memutuskan untuk mengkahiri hubungan dengan dirinya. Mereka selama beberapa bulan telah melakukan kencan secara diam-diam, keduanya saling jatuh cinta, namun gadis itu merasa khawatir bila ayahnya yang kaya itu mengetahui bahwa dirinya telah berkencan dengan seorang pemuda kulit hitam. Obana juga memberikan kesaksiannya bahwa dirinya tidak diintervansi apapun dalam kesaksiannya oleh jaksa penuntut, dan dia tidak dijanjikan apapun sebagai imbalan atas kesaksiannya. Dua bulan usai Furuya Satoru dinyatakan bersalah, Obana mengaku bersalah karena telah melakukan pelanggaran ringan dan kemudian dibebaskan dari penjara.
Obana Natsuki mempuyai riwayat kriminal yang cukup panjang dan sama sekali tidak bisa dipercaya. Dia merupakan informan penjara klasik, dia mengarang kesaksian dengan imbalan hukuman yang lebih ringan. Hakim Suzu Hirose mengizinkannya untuk bersaksi.
Di kemudian hari, Obana menarik kembal kesaksiannya yang sudah didiskriminasi selama bertahun-tahun di banyak yuridiksi lain. Selama proses pencarian Bella Stefa, dari pihak kepolisian memperalat para anjing pelacak guna mengendus keberadaan dirinya. Anjing-anjing garang itu sebelumnya diberi bau yang berasal dari mobil Stefa dan beberapa barang miliknya, lalu anjing itu dilepas. Tapi pelacakan itu tidak mengarah ke mana-mana, tidak membuahkan hasil apa-apa hingga pada akhirnya Furuya Satoru ditangkap. Sedang pihak kepolisian itu kemudian mengizinkan anjing-anjing pelacak itu untuk mengendus seluruh isi mobil Ford hijau milik keluarga Satoru. Pawang yang menangani para anjing itu mengatakan bahwa hewan-hewan itu lantas menjadi semakin liar, bersemangat, dan seperti menunjukkan tanda-tanda jelas bahwa mereka mengenali bau Bella Stefa dari dalam mobil itu. Kesaksian yang sesungguhnya tidak bisa dipegang ini, lantas diajukan dalam persidangan hanya untuk mendengarkan pendapat-pendapat. Para pengacara Furuya Satoru tercenung, dan jelas-jelas mereka menuntut dengan keras. Bagaimana mereka bisa memeriksa silang seekor anjing pelacak? Pengacara Robert Eijun lantas dengan geram memanggil salah satu dari anjing pelacak itu, anjing pelacak yang bernama Megi, dia memaki dengan bahasa inggris; seekor “son of a b***h bodoh”. Hakim Suzu Hirose menghukumnya karena telah bersikap kasar dalam proses persidangan dan mendendanya sebesar sebelas ribu yen. Anehnya, pawang dari para anjing pelacak itu masih diizinkan untuk memberi kesaksian, dan memberikan keterangan pada para dewan juri bahwa selama tiga puluh tahun melatih para anjing pelacak itu, dia tahu betul bahwa Megi telah mengendus bau Bella Stefa di dalam mobil itu. Dia babak belur saat pemeriksaan silang oleh Robert Eijun, yang pada suatu titik menuntut agar anjing itu dibawa ke hadapan ruang sidang, diambil sumpahnya layaknya manusia, dan didudukkan di kursi saksi mata.
Hakim Suzu Hirose menunjukkan kesan tidak suka terhadap para pengacara pembela, terutama kepada Robert Eijun. Dia malah jauh lebih ramah kepada Murasakibara Tetsu.
Dan alasannya benar-benar masuk akal. Enam tahun sesudah persidangan itu, baru diketahui kalau hakim tersebut telah menjalin hubungan asmara gelap dengan jaksa penuntut itu. Hubungan gelap itu terbongkar saat seorang mantan sekretaris yang sakit hati di kantor Tetsu mengajukan gugatan dengan dasar gugatan pelecehan seksual serta memberikan surel-surel, beberapa catatan telepon, bahkan rekaman telepon yang mencantumkan keterlibatan mantan bosnya dengan Hakim Suzu Hirose. Sesudah itu, gugatan dilayangkan, disusul dengan upaya perceraian.
Hakim Suzu Hirose mengundurkan diri dari jabatannya, kemudian dia memutuskan untuk meninggalkan Kanto dengan wajah tercoreng. Sementara proses perceraiannya ditunda. Sedang Murasakibara Tetsu terpilih kembali tanpa oposisi pada tahun 2009 usai berjanji bahwa dirinya akan mengundurkan diri begitu masa jabatannya habis.
Para pengacara Furuya Satoru mengajukan permohonan agar mendapatkan pengampunan, mengingat terdapat pertentangan-pertentangan yang jelas antara hakim dan jaksa penuntut. Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto mengatakan kalau meskipun hubungan itu mungkin saja memberikan kesan yang tidak senonoh, hal itu tetap tidak melanggar hak-hak terdakwa agar memperoleh persidangan yang adil. Berniat mengajukan pengampunan-pengampunan di tingkatan pengadilan yang lebih tinggi pun juga sama sia-sianya.
Ketika tahun 2008, Murasakibara Tetsu melayangkan gugatan penghinaan terhadap Robert Eijun dikarenakan pernyataan Eijun dalam sebuah wawancara tentang hubungan intim Tetsu dengan hakim persidangannya. Robert Eijun balik menuntut Tetsu untuk berbagai pelanggaran. Sedang persidangan keduanya masih ditunda.
***
Beberapa jam sesudah itu, ketika lampu-lampu sudah dipadamkan dan seluruh rumah sudah begitu senyap, Ivan dan Kiki sama-sama memandang langit sambil setengah berdebat apakah mereka harus pergi mencari obat tidur. Keduanya merasa luar biasa lelah, tapi mereka tidak bisa tidur. Mata mereka begitu berat karena membaca begitu banyak terkait kasus itu, juga membahasnya, mereka penat untuk terus mencemaskan seorang pemuda kulit hitam yang hendak dieksekusi, meski mereka tidak pernah mendengar namanya sebelumnya, dan mereka lagi-lagi frustasi akibat orang baru yang masuk dalam hidup mereka, Harry Kazuya. Hal ini karena Ivan merasa begitu yakin bahwa Harry telah mengatakan hal yang sebenarnya. Kiki cenderung juga demikian, tapi masih ada sedikit skeptis karena catatan sejarah kriminal Harry yang benar-benar memuakkan. Mereka pun lelah memperdebatkan hal itu.
Bila saja Harry Kazuya mengatakan hal yang sebenarnya, mungkinkah hanya mereka yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang tahu pasti bahwa Kanto hampir mengeksekusi orang yang salah? Bagaimana jika mereka bisa melakukan apa pun seandainya Harry menolak mengakui hal yang sebenarnya? Dan jika seandainya Harry Kazuya merubah pikirannya dan memutuskan untuk mengatakan hal yang sebenarnya, lalu apa yang harus mereka lakukan sesudah itu?
Semua pertanyaan itu berputar-putar sedemikian sepat menembus malam, namun jawabannya belum bisa ditemukan di mana-mana. Mereka memutuskan untuk membuka mata sambil berulang-ulang memperhatikan jam digital sampai tengah malam, dan jika mereka masih terjaga, mereka berdua akan memutuskan untuk pergi mencari obat tidur.
Pukul 23.10 telepon berdering dan mengejutkan mereka berdua. Kiki menekan tombol. ID penelepon itu berbunyi, “RS Kanto.”
“Ini pasti Harry,” gumam Kiki. Ivan mengangkat gagang pesawat kemudian menyapa, “Halo.”
“Maaf meneleponmu malam-malam, Pendeta,” timpal Harry dengan suara paraunya yang khas.
“Tak apa. Kami belum tidur.”
“Bagaimana kabar istrimu yang mungil dan manis itu?”
“Baik. Begini, Harry, aku sangat yakin kalau kau punya alasan untuk meneleponku malam-malam begini.”
“Ya. Maaf, pendeta. Aku sungguh-sungguh ingin melihat gadis itu lagi, kau mengerti maksudku, kan?”
Ivan mengangkat gagang telepon itu sedemikian rupa, supaya Kiki juga bisa mendengar pembicaraan itu dengan menggunakan sebelah telinganya. Dia tidak ingin mengulangi kata-kata Harry setelahnya. “Aku tidak yakin kalau aku mengerti, Harry,” jawabnya.
“Gadis itu, Bella Stefa. Umurku tidak akan lama lagi di dunia, Pendeta. Aku sekarang masih mendekam di rumah sakit, aku tidak tahu kapan aku bisa keluar dari sini. Lenganku masih diinfus, entah berapa banyak jumlah obat yang telah disisipkan dalam darahku, sedang dokter-dokter yang ada di sini memberitahu padaku bahwa hidupku tak akan lama lagi. Aku merasa bahwa setengah dari jiwaku sudah benar-benar mati, dan aku tidak suka memikirkan kalau aku akan mati sebelum sempat mengunjungi gadis itu untuk terakhir kali.”
“Dia sudah mati selama sembilan tahun.”
“Kau benar. Aku ada di sana, aku ingat. Perbuatanku padanya benar-benar buruk, namun aku suda meminta maaf sebelumnya: beberapa kali, berhadap-hadapan. Tapi aku ingin mengunjunginya untuk sekali lagi, sebagai yang terakhir kali. Untuk kesekian kali aku ingin memberitahunya bahwa aku begitu menyesal dengan apa yang saudah terjadi. Kau pasti mengerti maksudku, Pendeta.”
“Tidak, Harry. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau maksud.”
“Dia masih di sana, jelas? Dia masih ada di tempat ketika terakhir kali aku meninggalkannya.”
“Kau bilang bahwa kau tak mungkin lagi bisa menemukannya.”
Senyap lama sekali. “Aku tahu di mana dia berada,” katanya seperti butuh pertimbangan yang berat untuk mengucapkannya.
“Bagus, Harry. Kalau begitu pergilah dan cari dia. Bongkar kuburannya dan ratapi tulang-belulangnya. Kemudian bilang apa yang menjadi tujuanmu itu. Apa? Menyesal. Ya, katakan kalau kau menyesal. Setelah itu apa? Kau akan merasa lebih baik tentang dirimu? Sedang seorang pemuda tak bersalah disuntik mati karena perbuatan kejimu. Aku punya ide, Harry. Usai memberitahu gadis itu untuk yang terakhir kali kalau kau menyesali perbuatanmu, mengapa kau tak pergi ke kuburan Kanto dan mencari makam Furuya, dan memberitahunya bahwa kau menyesal juga?”
Sementara Kiki berpaling dan mengernyitkan dahinya pada suaminya itu. Harry Kazuya berhenti mengucapkan apa pun, kemudian menyahut sedikit, “Aku tak ingin anak itu mati, Pendeta.”
“Itu benar-benar sulit untuk dipercaya, Harry. Sedang selama sembilan tahun kau menutup mulut, sementara pemuda itu mendekam di penjara sambil menunggu kematiannya. Kau telah menyia-nyiakan dulu, kemarin, dan hari ini, kalau kau terus menerus bersikap begini, menunda-nunda, kau akan terlimbat dan pemuda itu dipastikan akan mati.”
“Aku tidak bisa menghentikannya.”
“Kau masih bisa mencoba. Kau bisa pergi ke pengadilan Kanto dan memberitahu pihak yang berwenang di sana, kau juga memberitahu mereka di mana mayat gadis itu kau kuburkan. Kau bisa mengakui hal yang sebenarnya, menunjukkan cincin itu pada mereka, kau bisa diperhatikan dengan keterangan-keterangan mencolok itu. Aku yakin semua reporter dan juru kamera akan langsung mencintaimu. Siapa tahu, mungkin seorang hakim dan Gubernur memperhatikanmu. Harry, aku tak punya banyak pengalaman dalam soal ini, tapi menurutku mereka pasti akan menemukan kesulitan untuk mengeksekusi Furuya Satoru jika kau bisa berkoar-koar di televisi bahwa kaulah yang membunuh gadis itu.”
“Aku tidak punya mobil.”
“Kau bisa menyewa satu.”
“Sudah sepuluh tahun aku tidak punya surat izin mengemudi.”
“Kau masih bisa naik bus.”
“Pendeta… Aku ini sekarat, aku sedang tidak punya uang untuk membeli tiket bus.”
“Tenang. Aku bisa meminjamimu uang. Eh, tidak, aku akan memberimu uang padamu untuk membeli tiket bus sekali jalan.”
“Bagaimana kalau seandainya aku mengalami kejang-kejang saat perjalanan di bus? Atau pingsan? Astaga, mereka mungkin akan menendangku keluar.”
“Ketika sekarat, kau menjadi semakin berbelit-belit, Harry.”
“Kau harus membawaku ke sana, Pendeta. Hanya kau dan aku. Kalau kau sendiri yang mau mengantarkanku ke sana, aku mau untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Aku akan membawa mereka ke kuburan Stefa. Kita bisa menghentikan eksekusi itu. Tapi hanya dengan kau yang membawaku ke sana.”
“Kenapa harus aku?”
“Tidak ada orang lain di sini selain kau dan aku, Pendeta.”
“Aku punya ide yang lebih bagus. Besok pagi, kuantar lau ke pusat kota dan menemui langsung jaksa penuntut di kantornya. Aku punya seorang teman di sana. Kau bisa menceritakan seluruh kisahmu padanya. Mungkin kita bisa meyakinkan dia agar dia mau membicarakan masalah ini langsung ke jaksa penuntut yang menangani kasus ini, kepada para polisi, dan para pengacara Furuya Satoru, mungkin bahkan seorang hakim di suatu tempat. Mereka pasti lebih mau mendengarkan dia daripada mendengarkan seorang pendeta yang tidak tahu apa-apa tentang sistem pengadilan kriminal. Kita bisa merekam percakapan itu dan langsung mengirimkannya ke pihak yang berwenang, tak lupa juga ke surat-surat kabar. Bagaimana, Harry? Kau tidak perlu melanggar ketentuan pembebasan bersyaratmu. Aku juga tidak perlu terlibat masalah hanya karena menolongmu.”
Kiki mengangguk-angguk pertanda sepakat. Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik baru Harry menyahut, “Kemungkinan idemu itu bisa berhasil, Pendeta. Mungkin juga kita bisa menghentikan eksekusi itu. Tapi mustahil mereka bisa menemukan Bella Stefa. Aku juga harus hadir di sana.”
“Mari kita memusatkan perhatian untuk menghentikan eksekusi itu saja.”
“Mereka mengizinkan aku untuk pulang besok pagi jam delapan.”
“Aku akan datang di sana, Harry. Sedang kantor jaksa penuntut yang aku maksud letaknya tidak jauh dari sana.”
Lima detik, sepuluh detik kemudian, “Aku menyukainya, Pendeta. Mari kita lakukan.”
***
Pukul 01.00 dini hari, Kiki berhasil menemukan botol yang berisi obat tidur yang dijual secara bebas, tapi sayangnya setelah satu jam mereka masih belum bisa tidur. Perjalanan untuk menuju rencana-rencana yang sudah dia rancang sebelumnya memenuhi benaknya. Mereka sudah pernah membahasnya singkat, tapi karena diselimuti oleh ketakutan, mereka tidak mau mengungkit-ungkitnya lagi. Ide itu benar-benar konyol—Ivan di Kanto bersama pelaku kekerasan seksual kambuhan yang sulit untuk dipercaya, berusaha mencari seseorang yang mau mendengarkan kisah aneh sementara seluruh kota tengah sibuk menghitung detik demi detik berakhirnya usia dari seorang pemuda kulit hitam, Furuya Satoru. Pasangan konyol itu pasti akan ditertawakan, mungkin kalau perlu mereka bisa ditembak. Dan sekembalinya dari Kanto, Ivan kemungkinan akan dituduh melakukan kejahatan yang mana takkan ada satu pun pembelaan. Pekerjaan dan kariernya bisa-bisa di ujung tanduk. Semuanya hanya karena manusia busuk, Harry Kazuya.
Nb: Huft, cerita ini sungguh-sungguh menyita tenaga banget. Tapi, berharap kalau para pembacaku masih menyukai dan masih mengikuti jalannya cerita ini, sudah impas sih, dengan waktu yang aku alokasiin untuk nerusin cerita ini. He he he.