Enam Belas

1176 Words
Dewan Pemberian Grasi dan Pembebasan Bersyarat Kanto memiliki sekurang-kurangnya tujuh anggota, semua anggota itu dipilih langsung oleh Gubernur. Bagi setiap tahanan yang menginginkan pengampunan, terlebih dahulu harus mengajukan petisi kepada dewan tersebut. Petisi itu terkadang bisa dibuat secara sangat sederhana—hanya berupa satu lembar permohonan—pun bisa serumit satu berkas tebal yang harus menyertakan afidavit dan surat-surat lain dari seluruh dunia. Berkas yang pernah diajukan oleh Robert Eijun atas nama Furuya Satoru menjadi salah satu berkas paling besar dalam sepanjang sejarah dewan tersebut. Grasi jarang sekali diberikan. Jika ditolak, permohonan itu bisa disampaikan kepada Gubernur—yang tidak dapat memberikan pengampunan berdasarkan inisiatifnya sendiri, namun diizinkan untuk memberi satu kali penangguhan yang masanya berlaku selama tiga puluh hari. Terutama pada kesempatan-kesempatan yang langka itu, saat para anggota dewan setuju untuk memberikan pengampunan, Gubernur masih memiliki hak untuk menolak persetujuan tersebut dan pengadilan negara akan tetap memproses eksekusi. Biasanya, bagi tahanan yang dijatuhi hukuman mati, para anggota dewan juri membuat keputusan dua hari sebelum eksekusi. Dewan tidak mengadakan pertemuan buat pengambilan suara, tapi hanya membagikan formulir lewat faks. Maut Melalui Faks, seperti itu sebutannya. Bagi Furuya Satoru, berita Maut Melalui Faks-nya tiba pukul 08.15 pada hari Selasa. Eijun membacakan keputusan itu keras-keras pada timnya. Tidak ada yang merasa heran sedikitpun. Mereka merasa bahwa mereka sudah kehilangan begitu banyak kesempatan, sehingga tidak ada satu pun yang akan memperkirakan menang. “Oke, ayo kita sekarang memohon penangguhan ke Gubernur. Aku yakin dia akan senang mendengar dari kita sekali lagi.” Serangkaian mosi, petisi, dan permohonan yang selama ini sudah diajukan oleh bironya selama satu bulan terakhir, dan akan masih terus berlanjut sampai kliennya dinyatakan mati, sementara permohonan untuk mendapatkan penangguhan dari Gubernur Kanto tidak diragukan lagi memang yang paling banyak membuang kertas. Tahun lalu, dalam dua kali, Guernur tidak menghiraukan persetujuan pengampunan dari dewan pembebasan bersyarat dan mengizinkan eksekusi. Orang itu sangat menyukai hukuman mati, terutama bertepatan dengan ambisinya untuk mendapatkan perolehan suara. Salah satu slogan kampanyenya adalah mempromosikan “Pengadilan Keras Kanto” dan disusul dengan janjinya yaitu: “mengosongkan penjara hukuman mati”. Dan yang dimaksud bukan pembebasan bersyarat lebih awal. “Ayo kita pergi. Waktunya menemui Furuya,” seru Eijun.   ***   Perjalanan dari Yamaguchi ke Kanto memakan waktu hampir satu jam. Lalu lintas tidak begitu padat, mayoritas orang masih lebih memilih jalan kaki. Eijun sudah terbiasa dengan kebiasaan semacam ini. Misaki Osikawa ditunjuk sebagai pengemudi mobil Misaki Osikawa ditunjuk sebagai pengemudi mobil van itu. Ibuki si paralegal yang satunya lagi biasanya duduk di jok penumpang di bagian depan, dia orang yang paling siap kalau Eijun sudah menggonggong. Setiap perjalanan itu menjadi sangat produkti bagi Eijun, karena dia masih bisa melanjutkan pekerjaannya melalui telepon dan laptop atau membaca beberapa laporan. Kursinya terletak tepat di belakang pengemudi. Di sebelahnya duduk seorang Martha Tristin. Di depan ada dua pemuda tangguh, Misaki dan Ibuki. Anggota kelima tim adalah orang baru. Namanya Megumi, begitulah panggilan akrabnya di kantor Eijun, di mana tidak seorang pun yang cukup sombong untuk memasang gelar dan kebanyakan nama kecil disingkat. Dia adalah yang terakhir dari sederet ahli yang dibayar mahal oleh Eijun dalam usahanya untuk menyelamatkan Furuya Satoru. Megumi adalah seorang psikiater klinis yang konsentrasinya adalah mempelajari para tahanan dan kondisi penjara-penjara, dan dia sudah pernah menulis buku yang memperdebatkan kalau di antaranya, hukuman pengucilan adalah salah satu dari sekian hukuman yang masuk dalam kategori terburuk. Sekitar tahun 1980-an, Mahkamah Agung menghentikan eksekusi orang-orang yang sakit ingatan. Strategi terakhir Eijun adalah menggambarkan Furuya Satoru sebagai penderita sakit jiwa yang sudah tidak mampu memahami apa pun. Meski begitu, argumen tersebut kecil sekali kemungkinannya. Megumi baru berusia tiga puluh dua tahun, masih belum lama sejak dia meninggalkan bangku kuliah, dan CV-nya tidak ada cantuman pengalaman selama di persidangan. Tetapi Eijun tidak peduli. Dia hanya berharap bahwa perempuan itu memiliki kesempatan buat memberikan kesaksian dalam sesi dengar pendapat tentang kemampuan mental Furuya Satoru, berbulan-bulan ke depan. Saat ini, Megumi duduk di sofa belakang, lembar kertas bertebaran di mana-mana. Dia sama bekerja kerasnya seperti yang lain. Saat Eijun telah selesai menelepon, Martha Tristin berkata, “Bisa kita bicara?” Kalimat itu sudah menjadi kalimat pembuka standarnya jika dia memiliki pertanyaan. “Iya,” balas Eijun singkat. Tristin menekan salah satu dari sejumlah alat perekam yang dia punya, dan meletakkannnya di hadapan Eijun. “Sehubungan dengan uang, kau ditunjuk oleh hakim buat mewakili Furuya Satoru, di mana dia tergolong sebagai terdakwa dari golongan yang tidak mampu, tapi…” “Benar, bisa dibilang bahwa Kanto tidak memiliki sistem pembelaan publik,” sela Eijun. Setelah beberapa bulan dalam satu pekerjaan, Tristin mengerti dirinya tidak pernah diharapkan untuk menuntaskan kalimat. Eijun menambahkan, “Jadi, para hakim lokal itu menunjuk rekan-rekan mereka atau menyeret pengacara malang lainnya jika kasus itu begitu buruk sehingga tidak seorang pun menginginkannya. Sementara aku, aku yang justru berinisiatif pergi menemui hakim dan menawarkan diri. Dia begitu senang memberikan kasus Furuya Satoru padaku. Tidak ada satu pun pengacara yang mau dekat-dekat dengan kasus Furuya Satoru.” “Namun keluarga Satoru tidak bisa dibilang miskin. Mereka berdua…” “Tentu saja, tapi ya, beginilah cara kerja di sini. Sementara hanya orang kaya saja yang mampu membayar jasa pengacara untuk sebuah pembelaan besar, dan tidak ada orang kaya dalam sebuah kasus hukuman mati. Aku bisa saja memerah lebih banyak bayaran dari ini, yang bisa membuat mereka menghipotekkan rumah mereka sekali lagi, seperti itulah. Namun buat apa repot-repot? Para penduduk itulah yang akan membayar. Hal inilah yang menjadi ironi hukuman mati. Sebagian orang menginginkan hukuman mati—sekitar tujuh persen penduduk—namun mereka sama sekali tidak memiliki gagasan mengenai berapa banyak yang harus mereka bayar untuk itu.” “Berapa banyak yang sudah mereka bayar?” tanya Tristin. “Oh, aku tidak tahu. Tapi seingatku cukup banyak nominalnya. Ibuki, berapa jumlah bayaran yang kita terima sejauh ini?” Tanpa ragu dan nyaris tanpa melirik ke balik pundaknya, Ibuki berseru, “Hampir satu miliar yen.” Eijun menambahkan, “Semua itu termasuk jasa pengacara, dengan tarif sepuluh ribu yen per jamnya, ditambah ongkos-ongkos, terutama untuk para penyelidik, kemudian juga sebagian besar untuk para saksi ahli.” “Itu nominal yang luar biasa,” komentar Tristin. “Antara benar dan tidak. Jika sebuah biro hukum bekerja untuk sepuluh ribu yen per jam, itu berarti dia kehilangan banyak uang. Aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Aku tidak sanggup. Begitu juga dengan para pembayar pajak sebenarnya, tapi paling tidak aku tahu kalau aku kehilangan bokongku. Sementara mereka tidak. Tanya saja dengan para pejalan kaki pada umumnya di Jalan Utama Kanto, berapa banyak orang tersebut dan para penduduk lainnya sudah membayar untuk menggugat Furuya Satoru, dan apakah kau tahu apa yang akan dikatakannya?” “Ha? Bagaimana aku bisa…” “Dia akan berkata kalau dia tidak menahu apa-apa. Apa kau pernah dengar mengenai anak-anak Takahashi di Kanto bagian barat? Itu kasus terkenal.” “Maaf, aku pasti tidak…” “Dua kakak beradik itu, anak-anak keluarga Takahashi, sepasang pemuda d***u, entah do mana di Kanto bagian barat. Daerah apa itu, Ibuki?” “Aogashima.” “Coba ceritakan…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD