Enam Puluh Satu

2141 Words
Kanto mempunyai tiga buah rumah pemakaman, dua untuk kulit putih, dan satu untuk kulit hitam. Integrasi memang terwujud di beberapa bidang kehidupan yang penting—sekolah, pekerjaan, politik, dan aktivitas perdagangan. Namun di bidang yang lain, integrasi tidak akan pernah terjadi karena tidak satu ras pun yang benar-benar menginginkannya. Ibadat hari Minggu terpisah, berdasarkan pilihan masing-masing. Ada beberapa orang kulit hitam yang menghadiri gereja orang kulit putih yang lebih besar di kota, dan mereka diterima dengan tangan terbuka. Bahkan ada segelintir orang kulit putih yang dapat ditemukan di gereja orang kulit hitam, di mana mereka diperlakukan setara dengan orang yang lain. Namun sebagian besar dari mereka tetap berhimpun bersama suku mereka sendiri, dan isu rasial tidak ada kaitannya dengan ini. Alasannya lebih berkaitan dengan tradisi dan cita rasa. Orang kulit putih lebih menyukai ritual yang teratur dan lebih tenang pada hari Minggu pagi. Doa pembukaan pada jam sebelas siang, diikuti oleh beberapa musik indah, lalu khotbah yang tenang dan segar, selesai pada tengah hari dan jelas tidak lebih lambat dari jam 12.10, sebab pada saat itu perut mereka sudah berteriak kelaparan. Di gereja kulit hitam, waktu itu tidak begitu penting. Suasana mengalir lebih bebas dan mengarah pada pemujaan yang lebih bergaya spontan. Ketika tengah hari tidak pernah terdengar. Makan siang kerap kali dilakukan di halaman gereja, kapan saja, dan tidak satu orang pun terburu-buru untuk pulang. Kematian juga sangat berbeda. Tidak pernah ada keterburuan untuk memakamkan seorang kulit hitam, sedang orang kulit putih biasanya ingin merampungkan semuanya dalam tempo tiga hari maksimal. Rumah pemakaman kulit hitam lebih ramai, lebih banyak pengunjung, persemayaman dan perpisahan dilakukan lebih lama. Lamb dan Alvin telah menyediakan jasa yang mulia ini di wilayah kota mereka selama puluhan tahun. Saat mobil jenazah itu datang beberapa menit setelah jam sepuluh malam, kelompok penyambut yang khidmat telah menunggu di halaman depan kapel kecil. Orang-orang yang berkabung itu hening, menundukkan kepala dan terlihat sedih. Mereka memperhatikan saat Lamb dan Alvin membuka pintu belakang mobil jenazah, lalu memberikan pengarahan kepada para pengusung peti—delapan di antaranya adalah teman Furuya, kebanyakan pernah bermain futbol bersama. Mereka mengusung peti mati itu sejauh beberapa jengkal, mengikuti Lamb, setelah itu menghilang melewati sebuah pintu samping. Rumah pemakaman itu ditutup dan tidak akan dibuka lagi sampai besok pagi saat Furuya telah dipersiapkan dengan layak dan siap untuk dilihat. Terdengar sirene-sirene itu meraung-raung di kejauhan. Udara terasa begitu pekat, tegang, dan mencekik karena asap dan rasa takut. Mereka yang tidak membuat keonaran jelas mencemaskan itu. Sebuah mobil menikung memasuki halaman parkir dan berhenti di samping mobil jenazah. Minami Satoru, bersama Aomine dan Akame keluar dan berjalan perlahan-lahan menuju pintu depan, menyambut teman-teman mereka. Ada rangkulan, bisikan, dan air mata. Keluarga itu akhirnya masuk ke dalam, namun teman-teman itu tidak mau pergi. Sebuah mobil lain menikung dan berhenti di dekat mobil jenazah. Ternyata itu Eijun, yang datang bersama Misaki Osikawa. Mereka menyelinap melewati kerumunan orang itu dan masuk melalui pintu samping. Di ruang tamu depan, Eijun menemui keluarga Satoru. Mereka duduk bersama, saling berpelukan dan menangis, seolah-olah telah berbulan-bulan mereka tidak pernah bertemu. Cuma beberapa jam sebelum mereka menyaksikan Furuya Satoru mati, namun waktu dan tempat itu terasa begitu jauh untuk saat ini. Dalam perjalanan kembali dari Nagano tadi, keluarga Satoru sempat mendengarkan radio dan berbicara di telepon genggam. Mereka menanyai Eijun mengenai Harry, dan Eijun memberitahukan semua hal yang dimilikinya secara lengkap. Mereka tahu tentang situasi genting di Kanto, dan memperkirakan kalau keadaan akan memburuk. Minami Satoru acap kali mengatakan kalau dia ingin semua kekerasan itu dihentikan. Itu di luar kendalimu, Eijun coba meyakinkannya. Situasi sudah lepas kendali. Lamb masuk ke ruang tamu dan mengatakan, “Minami-san, Furuya telah siap.”   ***   Minami Satoru memasuki ruang persiapan itu seorang diri, menutup pintu di belakangnya, dan menguncinya. Anak laki-lakinya yang indah berbaring di sebuah meja sempit di mana ketika itu dia diselimuti seprai putih. Furuya mengenakan pakaian yang sama pada saat mereka membunuhnya—kemeja putih murahan, celana kaki yang usang, sepatu hasil diskon—pemberian negara. Minami Satoru perlahan-lahan meletakkan tangannya di pipi Furuya dan menciumi wajahnya—dahi, bibir, hidung, dagu—sedang dia menciumi wajah Furuya terus-terusan, air matanya mengalir deras bak hujan. Selama delapan tahun dia tidak menyentuh anak laki-lakinya itu, rangkulan terakhir itu terasa begitu singkat, dicuri-curi sementara mereka menggiring Furuya keluar ruang sidang pada hari mereka menjatuhkan hukuman mati kepadanya, dan sembari Minami Satoru meratap saat ini, dia teringat kepedihan hatinya yang tidak terperikan itu, saat dia menyaksikan Furuya diseret pergi, rantai-rantai di setiap kakinya bergemerincing, para deputi gemuk mengerubutinya seolah-olah Furuya hendak membunuh orang lain, tersirat wajah keras dan sombong para jaksa penuntut, para anggota dewan juri, dan hakim, yang dilihat dari raut wajah mereka, mereka seperti begitu bangga akan pekerjaan mereka itu. “Aku sayang kamu, Ma,” teriak Furuya ke balik pundak, lalu mereka mendorongnya keluar pintu dan dia pun tidak terlihat lagi. Kulit Furuya tidak dingin, pun tidak hangat. Minami Satoru menyentuh bekas luka kecil di bawah dagu Furuya, sepotong hadiah hiburan kecil karena beradu jotos di sebuah daerah pemukiman saat Furuya berusia delapan tahun. Adu jotos lain mengikuti sesudah itu. Furuya Satoru merupakan seorang anak yang tangguh, dibuat lebih tangguh lagi oleh kakanya Aomine, yang tidak pernah berhenti menggodanya. Seorang anak yang tangguh, nan manis. Minami Satoru menyentuh cuping telinga kanan Furuya, lubang mungilnya itu hampir tidak terlihat. Furuya membeli anting saat berusia lima belas tahun, sebutir berlian palsu kecil, dan menggunakannya ketika bepergian dengan teman-temannya. Dia menyembunyikan anting itu dari ayahnya. Taiga sudah tentu akan memarahinya habis-habisan. Anak laki-lakinya yang indah berbaring di sana dengan sangat tenang, juga terlihat sangat bugar. Mati namun tidak berpenyakit. Mati tapi tidak terluka. Mati namun tidak bercacat. Minami Satoru memeriksa setiap sudut lengan Furuya dan tidak menemukan bekas suntikan jarum itu. Tidak ditemukan bukti pembunuhan, secara eksternal. Furuya terlihat seperti tengah beristirahat dan menunggu hingga obat berikutnya disuntikkanm obat yang dengan lembut akan membangunkannya dan mengizinkannya pulang ke rumah bersama ibunya. Kaki-kaki Furuya lurus; kedua lengannya menggeletak di samping tubuh. Lamb mengatakan kalau proses kaku itu akan segera dimulai, jadi Minami Satoru lebih baik segera cepat. Dari dalam dompetnya, Minami Satoru mengeluarkan satu lembar tisu untuk mengusap wajah dan sepasang gunting untuk memotong pakaian penjara itu. Dia seharusnya bisa membuka setiap kancing kemeja itu, namun sebaliknya dia memotongnya dari depan, lalu di sepanjang lengan, melepaskannya sepotong demi sepotong dan menjatuhkan guntingan itu ke lantai. Air mata masih terus berlinang di pipinya, tapi dia bersenandung sekarang, sebuah lagu gereja klasik, “Peganglah Tanganku, Oh Tuhan.” Dia berhenti sebentar untuk mengusap perut Furuya yang rata, d**a dan pundaknya yang lembut, dan dia terpana betapa banyak Furuya telah menyusut di penjara. Citra seorang atlet yang garang itu telah tamat, digantikan oleh seorang tahanan yang hancur. Furuya perlahan-lahan sudah mati di penara. Minami Satoru membuka sabuk kanvas murahan itu, dan dengan gemas memotongnya menjadi dua dan menjatuhkannya ke lantai. Besok, saat dia sendirian, dia berencana membakar sampah penjara itu di halaman belakang, dalam upacara pribadi yang hanya dihadirinya seorang diri. Dia memburaikan tali sepatu jelek itu, mencopot dan melepaskan kaus kaki katun Furuya. Dia menyentuh bekas luka di sepanjang pergelangan kaki kiri Furuya, memori permanen dari luka yang mengakhiri kariernya sebagai pemain futbol. Dia memotong celana panjang khaki itu, berhati-hati dari bawah ke atas, hingga ke s**********n Furuya. Dari kedua anak laki-lakinya itu, Aomine adalah si pesolek, pecinta pakaian yang rela menerima dua pekerjaan paruh waktu hanya untuk mampu membeli pakaian dengan merek yang lebih baik. Sedang Furuya lebih menyukai jins dan kaus oblong, dan terlihat bagus dalam apa pun. Apa pun kecuali baju terusan yang mereka kenakan padanya di penjara. Minami Satoru menggunting terus, menjatuhkan setiap potongan celana khaki itu di lantai. Terkadang berhenti sebentar untuk emngusap wajah dengan punggung tangan, namun dia harus cepat. Tubuh Furuya sudah mulai kaku, dia menghampiri wastafel dan membuka kerannya. Celana dalam itu putih dan kedodoran. Dia mengguntingnya layaknya penjahit [akaian dan melepaskannya. Tumpukan di lantai itu lengkap sudah. Furuya telanjang, meninggalkan dunia sama halnya seperti saat dia memasukinya. Minami Satoru menuangkan sabun cair ke dalam wastafel, mengucurkan air, mengatur suhu, lalu mematikan keran. Dia mencelupkan sehelai lap dan mulai membasuh anak laki-lakinya itu. Dia menggosok kaki Furuya, lalu dengan cepat mengeringkan keduanya dengan sehelai handuk kecil. Dia membasuh kelamin Furuya sambil bertanya-tanya dalam hati betapa banyak cucu yang bisa dia berikan padanya. Furuya menyukai para gadis, dan mereka menyukainya. Minami Satoru dengan begitu lembut menyeka d**a dan lengan Furuya, pun leher dan wajahnya, dan mengeringkannya sekaligus. Saat pembasuhan itu selesai, Minami Satoru berpindah pada persiapannya yang terakhir dan tersulit. Sebelum keluarga itu berangkat ke Nagano tadi, Aomine mampir di rumah pemakaman untuk menurunkan setelan jas baru yang telah dibelinya dan dipermak oleh ibunya. Setelan itu tergantung di dinding sekarang, berikut sehelai kemeja putih baru dan dasi keemasan yang keren. Minami Satoru memperkirakan kemeja dan jas itu akan menjadi yang tersulit, sementara celana panjang dan sepatu yang tergampang. Dan dia benar. Kedua lengan Furuya tidak mau menekuk saat ini, jadi Minami Satoru dengan sangat hati-hati memasukkan kemeja itu melalui tangan kanan Furuya, lalu dengan begitu lembut memiringkan Furuya ke samping kirinya. Dia memutar kemeja itu, kembali membaringkan Furuya seperti semula, dan memasukkan kemeja itu melalui lengan kiri Furuya, dan segera menautkannya. Dia melakukan hal yang sama dengan jas itu, yang terbuat dari campuran wol dan berwarna abu-abu, dan saat dia mengenakannya di tubuh Furuya, dia berhenti sebentar untuk menciumi kedua pipinya. Kaki-kaki Furuya terbujur kaku. Minami Satoru dengan telaten menaikkan celana dalam katun berwarna hitam, ukuran L dan kedodoran. Dia semestinya membeli ukuran medium. Celana panjang itu membutuhkan waktu lebih lama. Dia menariknya perlahan-lahan dari samping ke samping, mengerahkan tenaga untuk mengangkat Furuya di perutnya sebentar untuk menuntaskan tugas itu. Saat celana panjang itu telah terpasang rapi di pinggang Furuya, lalu menyelipkan sabuk melalui lubang-lubangnya dan menggespernya. Telapak kaki Furuya kaku, pergelangan kakinya tidak mau menekuk, dan kaus kaki itu adlaah tantangan yang lebih rumit daripada yang dia kira. Sepatu itu adalah sepasang sepatu kulit hitam dan bertali yang biasa dipakai Furuya ke gereja saat masih remaja dulu. Sepatu itu dikeluarkan dari lemari pakaian Furuya, yang dibaginya bersama sepupunya saat mereka masih anak-anak. Furuya langsung mengakui lemari itu sebagai pemilik penuh saat sepupunya menikah, dan selama sembilan tahun lemari itu bisa dibilang tidak pernah tersentuh. Minami Satoru merapikannya, membersihkan setiap butiran debu dari pakaian Furuya, membunuh setiap serangga, mengatur semua barang yang ada di dalamnya. Berjam-jam sebelumnya, saat dia mengeluarkan sepatu itu, dia berdiri di depan pintu lemari itu begitu lama, bertanya-tanya dalam hati, setelah ini lalu apa? Selama bertahun-tahun sesudah Furuya digiring pergi, dia hidup dengan bekal keyakinan menggebu kalau suatu saat Furuya akan dibebaskan. Suatu hari yang indah di mana mimpi buruk mereka semua berakhir dan Furuya akan pulang ke rumah. Furuya akan kembali tidur di ranangnya, menyantap masakan ibunya, tiduran di sofa, dan membutuhkan barang-barang yang ada di lemari pakaiannya. Suatu hari nanti seorang hakim atau pengacara atau seseorang yang berkecimunh dalam jaringan sistem pengadilan yang tertembus itu akan menyadari hal yang sesungguhnya. Panggilan telepon dari surga itu akan tiba dan mereka semua akan merayakannya. Namun semua permohonan banding itu habis satu per satu, tidak ada mukjizat yang terjadi, tahun-tahun terus berlalu beserta harapan-harapan semua orang. Kemeja, jins, sweterm dan sepatu di dalam lemari pakaian Furuya  tidak akan pernah digunakan lagi, dan Minami Satoru bertanya-tanya lagi, apa yang harus dilakukannya dengan semua itu. Dia memerintahkan diri sendiri untuk memikirkan itu nanti saja. Dia mengikatkan tali sepatu Furuya, memperbaiki kaus kakinya, menarik turun kaki celana panjangnya. Saat ini sesudah Furuya berpakaian rapi, tugas Minami Satoru menjadi lebih ringan. Aomine telah mengikatkan dasi itu sebelumnya, dan Minami Satoru mengalungkannya melalui kepala Furuya dan berhasil menyelipkannya di bawah kerah kemeja Furuya. Dia mengencangkan ikatan dasi itu dan merapikan letaknya hingga dasi itu benar-benar terlihat sempurna. Dia merapikan lagi di sana-sini, meratakan beberapa kerutan di celana panjang Furuya, lalu melangkag mundur dan mengagumi pekerjannya. Sungguh laki-laki muda yang tampan. Jas abu-abu, kemeja putih, dasi emas; pilihannya benar-benar bagus. Minami Satoru mencondong maju dan menciumi Furuya sekali lagi. Bangunlah, Furuya, ayo kita pergi sama-sama ke gereja. Kau akan menemukan seorang istri yang cantik di sana dan memiliki sepuluh anak. Cepatlah, ayo, saat ini saja, kau telah ketinggalan banyak sekali. Ayo, kita akan memamerkan dirimu dalam setelan barumu yang keren ini. Cepatlah, bangun! Minami Satoru memahami tentang aspek-aspek kematian yang lebih mengerikan, proses pengawetan, penyedotan cairan dan lain sebagainya itu, dan dia tahu kalau dalam beberapa jam lagi Lamb dan Ivan akan menghangatkan jenazah anak laki-lakinya, melepaskan seluruh pakaiannya dan mengerjakan setiap tugas mereka yang terperikan itu. Itu sebabnya Minami Satoru ingin memanfaatkan sedikit waktu yang berharga bersama dengan anak laki-lakinya, sementara dia masih utuh dan lengkap. Besok dia akan merencanakan pemakaman itu dan mengurusi setiap detail yang lain. Dia akan tegar dan tabah. Namun saat ini dia ingin sendirian hanya dengan anaknya, berduka, bersedih, dan menangis tanpa batas, seperti yang akan dilakukan seorang ibu di mana pun. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD