Enam Puluh Empat

2246 Words
Menjelang pukul sepuluh pagi, halaman parkir di Rumah Pemakaman Lamb dan Alvin penuh sesak, mobil-mobil berjejer di kedua sisi jalanan. Orang-orang yang berkabung itu menggunakan pakaian hari Minggu mereka yang terbaik, membentuk barisan yang dimulai dari pintu depan dan berlanjut hingga tiga atau empat kali lebar halaman kecil itu, keluar jalanan dan mengitari tikungan. Mereka sedih dan marah, lelah dan waswas, pun tidak yakin dengan apa yang tengah menimpa mereka dan kota mereka yang tenang. Sirene, petasan, tembakan pistol, dan suara-suara mencemaskan dari jalanan akhirnya mereda tidak lama sebelum matahari terbit, diikuti oleh beberapa jam ketenangan. Namun tidak satu orang pun yang menduga jalanan akan kembali normal pada hari Jumat atau selama akhir pekan. Mereka telah melihat wajah seram Harry Kazuya di televisi dan mendengar pengakuannya yang beracun. Mereka mempercayainya karena mereka selalu mempercayai Furuya. Masih begitu banyak cerita yang harus diketahui, dan jika Harry sungguh-sungguh membunuh gadis itu, maka seseorang harus menanggung akibatnya. Departemen Kepolisian Kanto memiliki delapan petugas kulit hitam, dan mereka semua secara sukarela menawarkan diri untuk tugas tersebut. Meskipun hampir sebagian besar tidak tidur selama berjam-jam, mereka bersikeras untuk menyampaikan rasa hormat. Mereka mengamankan jalanan di depan rumah pemakaman, mengerahkan lalu lintas, dan yang terpenting menjaga supaya para reporter tetap berada di kejauhan. Jumlah mereka sangat banyak, semuanya dipagari dan dihalangi sekitar satu blok jauhnya. Lamb membuka pintu depan dan menyambut gelombang pengunjung pertama itu. Dia meminta mereka menandatangani buku tamu. Kerumunan itu mulai bergerak perlahan-lahan, tidak ada satu pun yang terburu-buru. Furuya akan dimakamkan sekitar satu minggu lagi, jadi masih ada cukup waktu untuk memberikan rasa hormat secara pantas. Furuya dipamerkan di balai utama, peti matinya dibuka dan dihiasi bunga-bunga. Foto SMA-nya sudah diperbesar dan disangga kuda-kuda yang diberdirikan di kaki peti matinya—pemuda berusia delapan belas tahun dalam setelan jas dan berdasi, seraut wajah tampan. Potret itu diambil sekitar satu bulan sebelum dia ditangkap. Wajahnya merekah senyum, dalam raut itu masih tergambar mimpi untuk meraih citanya dalam futbol. Masih penuh mimpi dan ambisi. Keluarganya berdiri di dekat peti mati itu, tempat di mana mereka sudah bersiap-siap satu jam yang lalu, menyentuhnya, meratapinya, terlihat sekali kalau mereka berusaha sangat keras supaya terlihat tegar di mata mereka.   ***   Di area perkemahan, Eijun menggambarkan lokasi itu pada Kazuya dan orang-orang yang lain. Enishi ingin pergi ke kuburan itu secepatnya dan mulai merekam semuanya sebelum para polisi datang, namun Eijun tidak begitu yakin. Mereka berdebat, meskipun mereka semua sama-sama yakin bahwa Eijun-lah yang akan mengambil keputusan. Kento Himura sedang menelepon berusaha menghubungi salah seorang serif. Martha Tristin sedang bicara pada Misaki di telepon genggamnya dan sibuk menulis. Secara tiba-tiba terdengar jeritan, ratapan yang memilukan saat Harry tersungkur ke tanah dan mulai menggeliat liar. Ivan ikut berlutut di sebelahnya, dan orang-orang yang lain mengikuti dengan menatapnya tanpa daya. Tatapan bingung tersorot saling dilemparkan. Sesudah kira-kira sekitar satu menit, kejang-kejang itu terlihat berlalu, dan guncangan berhenti. Harry meremas kepalanya dan merintih kesakitan. Lalu dia terlihat seperti orang mati. Tubuhnya lunglai lemas dan benar-benar tidak bergerak. Tubuhnya terkulai, Ivan sedang menunggu-nunggu, kemudian menyentuh pundak Harry dan mengatakan, “Hei, Harry, apa kau bisa mendengar suaraku?” Sudah jelas Harry tidak mampu. Ivan berdiri dan mengatakan, “Biasanya dia pingsan selama beberapa menit.” “Ayo kita sama-sama bebaskan dia dari penderitaannya.” “Satu pukulan keras di kepala. Ada makam yang tidak jauh dari sini, yang sebentar lagi kosong.” “Ayolah, Eijun,” desak Ivan. Orang yang lain terlihat menyukai gagasan Eijun. Mereka mundur dan dengan cepat sibuk dengan urusan masing-masing. Lima menit berlalu. Harry tetap bergeming. Ivan berlutut dan memeriksa denyut nadinya. Teraba, namun lemah. Beberapa menit berselang, Ivan mengatakan, “Eijun, aku rasa ini serius. Dia pingsan.” “Aku bukan dokter bedah otak, Ivan. Kau ingin aku melakukan apa?” “Dia membutuhkan perawatan segera.” “Dia butuh pemakaman, Ivan. Kenapa kau tidak mengajaknya kembali ke tempatnya dan menguburkannya di sana?” Ivan berdiri dan berjalan beberapa langkah ke tempat Eijun berdiri. Dia mengatakan, “Itu sedikit keras bukan?” “Maafkan aku, Ivan. Begitu banyak hal yang terjadi saat ini, kalau kau tidak memperhatikan. Kesehatan Harry bukan salah satu dari prioritasku.” “Kita tidak mungkin harus membiarkannya mati begitu saja di tempat ini.” “Kenapa tidak? Toh dia bisa dibilang sudah mati, bukan?” Harry menggerutu, lalu gemetaran dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah dampak rasa kaget itu menjalari seluruh bagian tubuhnya. Lalu dia bergeming sekali lagi. Ivan menelan ludah dan mengatakan, “Dia perlu penanganan dokter segera.” “Bagus. Kalau begitu kau cari saja.” Beberapa menit berlalu, dan Harry masih pingsan. Orang yang lain begitu tidak peduli terhadapnya, dan Ivan hampir mampu untuk membujuk dirinya sendiri untuk masuk ke mobil dan pergi, seorang diri. Namun dirinya merasa tidak tega mengabaikan manusia yang tengah dalam kondisi sekarat itu. Pengawal pribadi itu menolong Ivan memasukkan Harry ke jok belakang Subarunya. Kento Himura berjalan dari arah kali dan mengatakan, “Itu tadi Serif. Aku akhirnya berhasil meneleponnya, pun aku berhasil meyakinkan dia kalau kita sungguh serius, dan kalau kita sudah menemukan sosok mayat di wilayah kekuasaannya. Dia tengah dalam perjalanan saat ini.” Saat Ivan membuka pintu mobilnya, Eijun menghampirinya dan mengatakan, “Teleponlah aku begitu kau tiba di rumah sakit dan tetap awasi Harry. Aku yakin pihak berwenang di sini mau bicara dengannya. Tidak ada penyelidikan yang masih terbuka untuk saat ini, namun itu dengan cepat akab berubah, terutama jika Harry mengaku membunuh gadis itu di sini.” “Denyut nadinya hampir hilang,” lapor pengawal pribadi itu dari jok belakang. “Aku tidak berencana menjadi pengawasnya, Eijun,” kata Ivan. “Tugasku telah berakhir. Aku mau pergi dari sini. Aku akan menurunkannya di rumah sakit. Entah di mana, lalu akan segera kembali pulang.” “Kau punya nomor ponsel kami. Teruslah memberi kabar. Begitu Serig melihat makam itu, aku yakin dia akan mengutus seseorang untuk menemui Harry.” Mereka berjabat tangan, tidak yakin apakah akan saling bertemu lagi. Kematian mengikat orang-orang dengan cara yang aneh, dan mereka merasa seperti telah saling mengenal selama bertahun-tahun. Begitu mobil itu menghilang ke dalam hutan, Eijun memeriksa jam tangannya. Perlu sekitar enam jam untuk berkendara dari Kanto dan menemukan mayat gadis itu. Jika Harry Kazuya tidak menunda-nunda, Furuya Satoru dipastikan masih hidup dan dalam proses rehabilitasi namanya. Dia meludah di tanah, dalam hatinya berharap Harry mati secara perlahan-lahan dan menyakitkan.   *** Selama empat puluh lima menit perjalan dari area perkemahan itu, lengkap dengan paling tidak empat perhentian untuk menanyakan arah, Harry bergeming dan tidak bergumam sedikit pun. Dia masih terlihat seperti orang mati. Di pintu masuk Unit Gawat Darurat, Ivan memberitahu seorang dokter tentang tumor Harry, dan hanya itu. Dokter itu penasaran, kenapa seorang pendeta dari luar kota bisa berkelana sampai Shibuya bersama seorang laki-laki yang tengah sakit parah, yang bukan anak keluarga ataupun anggota jemaatnya. Ivan meyakinkan dokter itu kalau ceritanya benar-benar begitu panjang, cerita yang dengan sangat senang hati akan dikatakannya jika mereka berdua memiliki waktu. Mereka berdua tahu kalau mereka tidak akan pernah memiliki waktu, jadi cerita itu tidak akan pernah dibicarakan. Mereka menempatkan Harry di brankar, bersama tongkatnya, dan mendorongnya menuju ruang pemeriksaan. Ivan memperhatikan Harry yang menghilang di belakang pintu ayun dan menemukan tempat duduk di ruang tunggu. Dia mencoba menghubungi istrinya untuk memberitahu. Kiki menerima setiap laporannya dengan perasaan tidak percaya yang semakin lama semakin besar, satu keterkejutan di atas ketekerjutan lainnya, dan Kiki terlihat bebal dengan hal baru apa pun. Baiklah, Ivan. Ya, Ivan. Oke, Ivan. Tolong segera pulang, Ivan. Dia menelepon Eijun untuk memberitahu di mana mereka berada ketika itu. Harry masih hidup dan tengah diperiksa oleh dokter. Eijun masih menunggu Serif untuk datang ke lokasi. Dia sudah merasa tidak sabar untuk menyerahkan tempat kejadian perkara itu kepada para profesional, meski dia tahu kalau hal itu sangat memakan waktu. Ivan menelepon Ichiro, dan saat Ichiro menjawab teleponnya, Ivan menyapanya dengan sangat tenang. “Selamat pagi, Chiro. Aku saat ini sedang ada di Shibuya, satu jam yang lalu kami membuka sebuah makam dan menemukan sisa jasad Bella Stefa. Sangat hebat untuk suatu pagi di hari Jumat, bukan?” “Jadi apa lagi yang baru? Bagaimana kondisi mayat gadis itu?” “Tinggal tulang belulang. Namun, jasad itu benar-benar miliknya. Harry mengatakan hal yang sebenarnya. Mereka telah mengeksekusi orang yang salah. Ini benar-benar tidak bisa dipercaya.” “Kapan kau akan pulang?” “Aku akan tiba sebelum makan malam. Kiki sangat takut, jadi aku tidak ingin berlama-lama lagi.” “Kita harus segera bertemu besok pagi. Aku sudah menonton liputan itu nonstop, dan tidak ada sepatah omongan pun mengenai dirimu. Mungkin kau di luar jangkauan radar. Intinya kita harus bertemu dan bicara. Sekarang, di mana Harry?” “Di sebuah rumah sakit di Shibuya, dia sedang sekarat. Aku sedang bersamanya.” “Tinggalkan dia, Ivan. Mungkin dia akan mati. Biar orang lain kalau harus mencemaksannya. Kembalilah ke mobilmu dan segera pergi dari tempat itu.” “Itu rencanaku. Aku akan menunggu sebentar di sini hingga aku mendengar sesuatu, lalu aku akan segera pergi. Rumahku tidak jauh dari sini.” Satu jam berlalu, Eijun menghubungi Ivan dengan berita kalau Serif sudah datang dan Gunung Takao saat ini sedang dipenuhi para polisi. Dua polisi setempat sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk mengamankan Harry. Ivan sepakat untuk menunggu mereka, sesudah itu dia pergi. “Terima kasih, Ivan. Untuk semuanya,” kata Eijun. “Tidak perlu.” “Perlu, apa yang kau lakukan ini membutuhkan keberanian. Kau benar-benar berusaha. Hanya itu yang bisa kau lakukan.” “Kita bisa bicara lagi kapan-kapan.” Para polisi itu, Kudo dan Sano, keduanya berpangkat sersan, dan sesudah memperkenalkan diri dengan agak canggung, mereka bertanya pada Ivan apakah dia mau mengisi beberapa kesenjangan. Tentu saja, kenapa tidak, apa lagi yang bisa dia lakukan di ruang tunggu Unit Gawat Darurat? Ketika itu hampir jam satu siang, dan mereka membeli roti lapis dari sebuah mesin dan menemukan meja. Sano mencatat, sedang Kudo menangani hampir seluruh pertanyaan. Ivan memulai dengan hari Senin pagi dan mengucapkan segala momen penting dari minggunya yang sedikit tidak biasa itu. Sedang dia bercerita, mereka terlihat meragukan dirinya, terkadang. Mereka tidak pernah mengikuti kasus Furuya Satoru, namun saat Harry muncul di televisi dan mengakui perbuatannya, dan menyebut tentang mayat gadis itu, yang dia kuburkan di dekat Shibuya, telepon mulai berdering. Mereka melibatkan diri, dan mereka pernah melihat wajah Harry dan prestasinya beberapa kali. Saat ini, sesudah sosok mayat ditemukan, mereka terlempar persis di tengah cerita yang sedang mengembang. Seorang dokter menyela mereka. Dia menjelaskan kalau kondisi Harry sudah stabil dan dia tengah beristirahat. Tanda-tanda vitalnya hampir normal. Mereka telah meronsen kepalanya dan menegaskan keberadaan tumor yang seukuran telur itu. Rumah sakit itu harus menghubungi sejumlah anggota keluarga, dan Ivan berupaya menyebutkan sedikit informasi yang dia ketahui tentang sanak keluarga Harry. “Ada seorang kakak laki-laki di penjara Tohoku, hanya itu yang aku tahu,” kata Ivan. “Nah,” sahut dokter itu, sambil menggaruk rahangnya, “berapa lama kau ingin kami merawatnya?” “Berapa lama dia harus dirawat?” “Semalam, namun di luar itu aku tidak yakin apa yang bisa kami lakukan padanya.” “Dia bukan milikku, Dok,” kata Ivan. “Aku hanya menyopirinya.” “Dan ini bagian dari cerita yang kau bilang sangat panjang itu?” Sano dan Kudo mengangguk. Ivan mengusulkan dokter itu supaya menghubungi para dokter di Rumah Sakit Fukui, dan mungkin kelompok kecil itu bisa membuat rencana khusus untuk menangani Harry Kazuya. “Di mana dia saat ini?” tanya Kudo. “Di bangsal kecil di lantai tiga,” jawab dokter itu. “Bisa kami menjenguknya?” “Kalau untuk sekarang, jangan dulu. Dia perlu istirahat.” “Kalau begitu kami akan mengambil tempat di luar bangsal itu,” sahut Sano. “Menurut dugaan kami, orang ini sedang didakwa dengan pembunuhan, dan kami memiliki perintah untuk mengamankannya.” “Dia tidak akan pergi ke mana pun.” Kudo melotot mendengar ini, dan dokter itu sadar kalau percuma saja mereka berdebat. “Ikuti aku,” katanya. Saat mereka mulai berjalan. Ivan mengatakan, “Hei, teman-teman, aku bebas untuk pergi bukan?” Kudo memandang Sano, dan begitu sebaliknya, mereka saling bertukar pandang, lalu mereka berdua memandang dokter itu. Kudo mengatakan, “Tentu, kenapa tidak?” “Dia milik kalian seutuhnya sekarang,” seru Ivan, sambil melangkah mundur. Dia keluar melalui pintu depan UGD dan berlari kecil menuju mobilnya yang diparkirnya di sebuah garasi kecil. Dia menemukan enam dolar di antara sisa uang tunainya yang menipis, membayar si penjaga, dan melarikan mobilnya ke jalanan. Bebas akhirnya, katanya dalam hati. Benar-benar melegakan untuk melirik ke belakang dan melihat bahwa jok belakangnya kosong dan tahu kalau dia, semoga, tidak akan pernah berada di dekat seorang Harry Kazuya lagi. Kudo dan Sano diberi dua kursi lipat dan mengambil tempat di selasar samping pintu Bangsal 8. Mereka menelepon penyelia mereka dan melaporkan status Harry. Mereka menemukan beberapa majalah dan mulai membunuh waktu. Di balik pintu itu ada enam tempat tidur yang masing-masing dipisahkan selembar tirai tipis, semuannya ditempati orang-orang yang menderita penyakit serius. Di sisi terjauh ada sebuah jendela besar yang mengarah ke sebuah tanah kosong, dan di samping jendela itu ada pintu yang terkadang digunakan oleh para petugas pembersih. Dokter itu kembali, berbicara pada kedua polisi tersebut, setelah itu masuk ke dalam untuk memeriksa Harry sebentar. Saat menyibakkan tirai di samping tempat tidur No 4, dia tertegun tidak percaya. Selang infus itu menggelantung. Tempat tidurnya telah dirapikan dan sebatang tongkat hitam untuk berjalan menggeletak di atasnya. Harry sudah tiada di ruangannya. Dia sudah melarikan diri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD