Lima Puluh Tiga

798 Words
Sesudah mengurus persoalan sehubungan dengan kasus Furuya Satoru, Hakim Kepala Seiji Yamashita meninggalkan kantornya dan lekas menuju Klub Rolling Creek di barat Nagasaki. Dia ada janji pukul lima sore itu untuk bertanding tenis dengan seorang penyumbang utama dalam kampanye terakhirnya, pun dalam kampanyenya yang akan datang. Dalam perjalanan, telepon genggamnya berdering. Pegawai kepaniteraan pengadilan memberitahu padanya kalau mereka menerima telepon dari Kelompok Pembela, dan sebuah petisi baru yang tengah diajukan. “Berapa banyak waktu yang ada?” tanya Seiji. “Empat puluh sembilan.” “Aku sudah sangat bosan dengan petisi sialan itu,” jawabnya angkuh. “Kita tutup jam lima, dan semua orang tahu itu.” “Ya, Pak,” sahut pegawai tersebut. Dia juga sangat mengetahui kalau Hakim Seiji begitu tidak menyukai doa-doa di detik terakhir yang diucapkan oleh para pengacara pembela yang putus asa. Kasus tersebut telah berkepanjangan selama bertahun-tahun, dengan minimnya aktivitas, lalu menjelang saat-saat terakhir, para pengacara itu secara tiba-tiba menggenjot pedal gas. “Kau tahu isi dari petisi itu?” tanya Seiji. “Aku rasa sama dengan yang mereka ajukan pagi ini—seorang saksi mata mencabut kesaksiannya. Mereka mengalami masalah dengan komputer.” “Astaga, alasan kuno itu. Kita tutup jam lima, dan jam lima tepat aku mau pintu kantor itu dikunci, tidak boleh terlambat satu menit pun. Paham?” “Ya, Pak.” Pada jam 16.45, Mona bersama kedua paralegal itu meninggalkan kantor-kantor Kelompok Pembela sambil membawa petisi dan afidavit Hiro Akada. Jumlahnya sebanyak dua belas salinan. Sedang mereka melaju cepat menembus keramaian lalu lintas, Mona menghubungi kantor pegawai kepaniteraan itu untuk mengatakan kalau mereka tengah dalam perjalanan. Pegawai itu balas memberitahunya kalau kantor akan ditutup pada pukul lima sore, seperti biasanya, lima hari dalam seminggu. “Namun kami memiliki petisi yang mencakup pernyataan tersumpah dari satu-satunya saksi mata di persidangan,” desak Mona. “Aku rasa kami telah melihat yang satu itu,” sahut si pegawai. “Belum! Ini pernyataan tersumpah!” “Aku baru berbicara dengan Hakim Kepala. Kami tutup jam lima.” “Tapi kami hanya akan terlambat beberapa menit!” “Kami tutup jam lima.”   ***   Harry Kazuya tengah duduk di depan jendela di ruang pertemuan, tongkat putihnya melintang di atas lutut, memperhatikan kesibukan orang panik yang saling berteriak satu sama lain. Kento Himura yang di dekatnya pun memperhatikan. Tidak mampu memahami apa yang tengah terjadi, Harry berdiri dan mendekati meja. “Bisakah seseorang memberitahu padaku apa yang sedang terjadi?” tanyanya. “Ya, kami telah kalah,” bentak Kazuya padanya. “Bagaimana dengan pernyataanku? Apa ada orang yang mau mendengarkan?” “Jawabannya tidak. Pengadilan sama sekali tidak tertarik.” “Apakah menurut mereka aku berbohong?” “Ya, Harry. Menurut mereka, kau berbohong. Maafkan aku. Kami mempercayaimu, namun kami tidak punya suara.” “Aku mau berbicara dengan para reporter.” “Menurutku mereka sedang sibuk mengejar api.” Riko memandangi laptopnya, sedang menuliskan sesuatu, dan mengulurkannya pada Harry. “Ini nomor telepon genggam salah seorang reporter TV langganan kami.” Dia menunjuk sebuah meja di dekat televisi. “Itu pesawat telepon. Silakan saja melakukan apa pun yang kau mau.” Harry bersingsut menuju pesawat tersebut, menekan tombol angka, dan menunggu. Dia masih dalam pengawasan Riko, Himura, Kazuya, dan Ibuki. Dia memegang gagang pesawat dan menatap lantai. Lalu dia mengedut dan mengatakan, “Eh, ya, kau Rosi? Oke, gini, namaku Harry Kazuya, dan saat ini aku ada di kantor hukum Robert Eijun. Aku terlibat dalam pembunuhan Bella Stefa, dan aku ingin masuk televisi dan membuat sebuah pengakuan.” Sejenak gemuruh ocehan itu senyap. Cedutan. “Aku mau mengaku kalau akulah pembunuh gadis itu. Furuya Satoru tidak ada kaitannya dengan kasus ini.” Senyap lagi, cedutan lagi. “Ya, aku mau mengatakannya di televisi, dan aku punya banyak hal lain untuk dikatakan juga.” Orang lain nyaris bisa mendengarkan ketegangan dan semangat panik dalam suara Rosi,. Memang benar-benar sebuah cerita yang menggemparkan. Harry mengatakan, “Oke,” dan mematikan hubungan. Dia memandang ke sekitar ruang pertemuan dan mengatakan, “Mereka akan datang ke sini dalam waktu sepuluh menit.” Riko menyahut, “Himura, gimana kalau kau ajak dia ke depan? Di dekat telundakan, dan mencari tempat yang bagus.” Harry mengatakan, “Aku bisa pergi kalau aku mau, kan? Aku tidak perlu tinggal di sini?” “Kau manusia bebas, sejauh yang aku ketahui,” sahut Riko. “Lakukan apa pun yang kau mau. Aku benar-benar tidak peduli.” Harry dan Himura meninggalkan ruang pertemuan dan menunggu di luar stasiun kereta api. Kazuya menerima telepon dari Mona. Perempuan itu menjelaskan kalau mereka sampai di pengadilan pada pukul 17.06, pintu-pintunya telah terkunci, setiap kantor ditutup. Dia menelepon ke ponsel si pegawai kepaniteraan. Pegawai itu menjawab dirinya sedang tidak ada di kantor, dia sebenarnya sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Petisi terakhir Furuya tidak akan diajukan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD