Dua Puluh Enam

1752 Words
PEMBICARA berikutnya adalah Takuya Kimura, murid senior  di SMA dan wakil ketua OSIS. Dia memulai pidatonya dengan  pengutukan wajib terhadap eksekusi dan berkoar-koar panjang lebar dan mendetail untuk menentang  hukuman mati, dengan penekanan-penekanan berat pada versi Kanto tentang  hukuman  tersebut.  Kerumunan  massa itu mendengarkannya, meskipun dia tidak memiliki drama seperti para pembicara yang lebih berpengalaman.  Kendati demikian, Kimura dengan cepat terbukti  mempunyai  naluri bagus untuk bersikap dramatis. Sambil membaca dari selembar kertas, dia  memanggil nama-nama para pemain kulit hitam di tim futbol SMA  Kanto.  Seorang demi seorang,  mereka bergegas naik ke podium  dan membentuk  selanjur garis di atas anak tangga teratas. Masing-masing mengenakan kaus seragam biru milik tim futbol Kanto. Saat kedua puluh delapan pemain itu sudah berdiri rapat satu sama lain, Kimura melayangkan pengumuman mengejutkan: “Para pemain ini sendiri di sini untuk mendukung saudara mereka, Furuya Satoru. Jika pendukung kota, county, dan negara bagian ini berhasil  menjalankan usaha-usaha ilegal mereka yang bertentangan dengan hukum dan membunuh Furuya Satoru besok malam, maka para pejuang ini takkan bermain dalam pertandingan hari jumat besok.” Kerumunan massa serentak  bersorak-sorai dengan lantang sehingga menggetarkan kaca-kaca jendela gedung pengadilan. Kimura menatap para pemain itu, dan sesudah diberi sinyal, semuanya meraih tepi kaus masing-masing dan dengan cepat mencopot kaus-kaus itu dan melemparkannya ke bawah. Di balik kaus mereka, masing- masing pemain mengenakan kaus oblong putih yang seragam dengan foto  wajah Furuya Satoru tertera di bagian depan. Di bawah foto itu, dengan huruf-huruf mencolak, tulisan kata “TIDAK BERSALAH.” Para pemain itu menggembungkan d**a dan mengepalkan tinju-tinju, sementara kerumunan massa di sekitar mereka bersorak riuh rendah. “Kami akan memboikot pelajaran-pelajaran  di sekolah besok!” teriak Kimura ke dalam pada mikrofon yang dipegangnya. “Hari Jumat juga!” “Pun tidak akan ada pertandingan futbol pada hari Jumat malam!”   ***   DEMO itu disiarkan secara langsung melalui salurang setempat, dan sebagian besar penduduk berkulit putih di Kanto mengikuti peristiwa itu dengan saksama di setiap televisi mereka. Di beberapa bank, di setiap sekolah, rumah-rumah dan kantor-kantor, gerutuan yang sama terdengar. “Mereka tidak bisa melakukan itu bukan?” “Jelas-jelas mereka bisa melakukannya. Bagaimana kau bisa menghentikan mereka?” “Mereka sudah bertindak sangat jauh.” “Tidak. Kita yang sudah bertindak terlalu jauh.” “Jadi, bagimu dia tidak bersalah?” “Aku tidak begitu yakin. Tidak satu oran pun yakin akan hal itu. Itu yang menjadi masalahnya. Intinya masih ada banyak keraguan.” “Dia mengaku.” “Dan mereka masih belum menemukan mayat gadis itu.” “Kenapa mereka tidak menundanya selama beberapa hari, kau tahu, kan? Semacam penangguhan atau apalah namanya itu?” “Buat apa?” “Menunggu sampai habis musim futbol.” “Aku lebih suka apabila semua berjalan tanpa ada kerusuhan.” “Pun kalau ada, mereka yang terlibat dalam kerusuhan itu kemungkinan akan ditangkap. Banyak aparat kepolisian yang dikerahkan untuk mengatasi hal itu.” “Jangan harap.” “Tempat ini benar-benar akan meledak.” “Usir saja mereka dari tim.” “Emang mereka pikir mereka itu siapa? Seenaknya saja menghentikan pertandingan seperti itu.” “Kita masih memiliki sekitar empat puluh pemain kulit putih yang sanggup bermain.” “Tepat sekali.” “Pelatih semestinya menendang mereka keluar dari tim.” “Dan mereka semestinya juga ditangkap kalau sengaja tidak masuk sekolah.” “Bagus. Itu sama saja seperti menyiram bensin ke api.” Di sekolah, si pelatih futbol mengikuti jalannya protes itu di kantor kepala sekolah. Dia berkulit putih, sedang kepala sekolah berkulit hitam. Mereka menatap layar televisi dan tidak mengucapkan apa pun. Di kantor polisi, tiga blok jaraknya dari gedung pengadilan jalan utama, Kepala Polisi Saito Hajime tengah menonton televiso bersama asistennya. Departemen itu mempunyai sekitar empat lusin personil berseragam yang dibayar, dan pada saat itu sekitar tiga puluh dari mereka tengah mengawasi jalannya protes tersebut dengan perasaan yang agak cemas di pinggiran jalan. “Apakah eksekusi itu benar-benar jadi dilaksanakan?” tanya asisten itu. “Jadi. Sejauh yang aku ketahui,” jawab Saito. “Aku sempat mengobrol dengan Murasakibara Tetsu satu jam yang lalu, dan kata dia eksekusi itu jadi dilaksanakan.” “Kita sepertinya membutuhkan bantuan.” “Nggak perlu. Mereka hanya akan melempar beberapa butir batu, toh nanti juga akan reda dengan sendirinya.” Murasakibara Tetsu menyaksikan keramaian itu sendirian dari belakang meja tulisnya, berbekal sepotong roti lapis dan satu plastik berisi keripik. Kantornya terletak dua blok di belakang gedung pengadilan dan pendengarannya bisa menjangkau mereka yang sedang berteriak-teriak. Menurutnya, demonstrasi seperti itu merupakan suatu disorder yang diperlukan pada negara yang menghargai Hak Asasi Manusia. Semua orang dapat berkumpul secara resmi—tentunya dengan mekanisme izin, dan mengungkapkan perasaan-perasaan mereka. Hukum yang setara dengan yang melindungi hak ini juga mengatur kelancaran jalannya proses pengadilan. Pekerjaannya yaitu mendakwa para penjahat dan menyingkirkan mereka yang bersalah. Dan saat suatu kejahatan yang cukup serius terjadi, hukum negara mengarahkan dirinya untuk membalas dendam dan menuntut sebuah hukuman mati. Pun ini sudah dilakukannya dalam kasus Furuya Satoru. Dia tidak mempunyai penyesalan sedikit pun, tidak memiliki keraguan, bahkan tidak merasa risih sedikit pun mengenai keputusan-keputusannya, setiap taktiknya di persidangan, atau kesalahan Furuya Satoru. Lusinan juri yang terpelajar sudah memeriksa setiap kata yang terdapat dalam proses persidangan Furuya Satoru dan menegaskan keputusa bersalahnya. Tetsu merasa damai dengan dirinya sendiri. Dia menyesali keterlibatannya dengan Hakim Suzu Hirose, pun kepedihan dan rasa malu akibat dari perbuatan itu, namun dia tidak pernah sekali pun meragukan keputusan-keputusan dari hakim tersebut. Dia merindukan Suzu. Hubungan asmara keduanya hancur di bawah tekanan segala bentuk perhatian negatif yang ditimbulkan oleh hubungan tersebut. Suzu Hirose melarikan diri dan menutup komunikasi dalam bentuk apa pun. Kariernya sendiri sebagai jaksa penuntut umum akan segera berakhir, dan dia benci mengakui kalau dia akan melepas jabatannya di bawah segumpal awan. Kendati demikian, eksekusi Furuya Satoru akan menjadi puncak prestasinya, kinerjanya, momen gemilan yang akan dihargai para penduduk Kanto, atau paling tidak oleh mereka yang berkulit putih. Besok akan menjadi hari yang terbaik sepanjang hidupnya.   *** BIRO Hukum Robert Eijun menyaksikan demo tersebut di layar televisi mereka yang lebar di ruang pertemuan utama, dan saat siaran itu selesai, Eijun kembali ke ruang pribadinya dengan menggenggam roti lapisnya yang tinggal setengah dan satu kaleng minuman berkarbon. Si resepsionis dengan teliti sudah mengatur selusin catatan berisi pesan-pesan melalui telepon di tengah-tengah meja tulisnya. Pesan-pesan itu menarik perhatiannya. Sesuatu berdering di dalam benaknya. Eijun melupakan makanannya, dia mengangkat gagang telepon dan menekan nomor ponsel Pendeta Ivan. “Tolong dengan Pendeta Ivan,” katanya saat seseorang di seberang menyahut, “Halo.” “Saya sendiri.” “Saya Robert Eijun, pengacara di Kanto. Saya telah menerima pesan anda, dan saya rasa saya sudah melihat sebuah surel beberapa jam yang lalu.” “Ya, terima kasih.” “Panggil saja aku Eijun.” “Baiklah, Eijun. Panggil aku Ivan.” “Baiklah kalau begitu Ivan. Di mana mayatnya?” “Shibuya.” “Begini, Ivan, aku sudah tidak punya waktu untuk bisa aku sia-siakan, dan instingku mengatakan bahwa telepon ini sungguh-sungguh membuang waktuku.” “Mungkin saja begitu, tapi tidak ada salahnya memberiku waktu lima menit.” “Berbicara dengan jelas dan cepat.” Ivan memaparkan fakta-fakta yang ada—dimulai ketika pertemuannya dengan seorang tahanan bebas bersyarat, kemudian penyelidikannya mengenai identitas dan latar belakang orang itu, catatang kejahatannya, kondisi kesehatan yang sangat memprihatinkan, semuanya dijelaskan olehnya tepat memakan waktu lima menit, tanpa gangguan. “Sudah sangat jelas kau tidak khawatir tentang melanggar sumpah kerahasiaanmu di sini,” timpal Eijun. “Aku sebenarnya tidak berniat begitu, tapi taruhannya terlalu besar. Dan aku belum memberitahumu nama orang itu.” “Dimana dia sekarang?” “Dia melewatkan kemarin malam di sebuah rumah sakit, mengeluarkan dirinya sendiri pagi ini, dan aku belum mendengar kabar dari dirinya sejak saat itu. Dia diwajibkan pulang ke sebuah rumah singgah tepat pada jam enam sore.Aku akan di sana untuk menemuinya.” “Dan dia pernah dijatuhi hukuman empat kali gara-gara serangan seksual?” “Paling tidak.” “Pendeta, laki-laki ini sama sekali tidak punya kredibilitas. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan ini. Tidak ada apa-apanya. Kau harus mengerti, Ivan, eksekusi-eksekusi seperti ini selalu menarik perhatian orang yang tidak waras. Dua di antaranya muncul di kantor kami minggu silam.Yang satu mengatakan bahwa dia tahu di mana bella stefa tinggal saat ini, katanya Stefa seorang penari telanjang, sedang yang satunya lagi berkata dia sudah membunuh gadis itu dalam sebuah ritual setan. Lokasi mayatnya tidak diketahui.Orang yang pertama menginginkan uang, yang kedua ingin dibebaskan dari penjara. Pengadilan membenci setiap fantasi detik-detik terakhir seperti ini.” “Menurut keterangannya,mayat gadis itu dikubur di daerah perbukitan di selatan shibuya. Itu tempat dia tumbuh dewasa.” “Berapa lama dia bisa menemukan mayat gadis itu?” “Aku tidak bisa menjawabnya.” “Ayolah, Ivan. Beri aku sesuatu yang bisa aku gunakan.” “Dia mempunyai cincin sekolah Bella Stefa. Aku telah melihatnya, memegang, dan memeriksanya. Cincin itu berinisial nama gadis itu BS. Cincin itu bermata biru, kira-kira ukuranya nomor enam.” “Ini bagus, Ivan. Aku menyukai ini. Tapi di mana cincin itu saat?” “Aku rasa masih di leher pembunuh itu.” “Dan kau tidak tahu dimana dia sekarang?” “Eh, benar, saat ini aku tidak tahu.” “Siapa itu Ichiro Ozawa?” “Temanku, dia seorang jaksa.” “Gini, ivan. Aku menghargai keprihatinanmu. Kau telah menelepon dua kali, mengirim surel sekali, meminta temanmu menelepon. Terimakasih banyak. Saat ini aku sangat sibuk, jadi tolong jangan ganggu aku lagi.” Eijun meletakkan gagang pesawat telepon dan mengais cepat roti lapisnya.   ***   Iwata Takanori Sudah lima tahun menjabat sebagai Gubernur Kanto dan meskipun hasil penghitungan suara menunjukkan jumlah dukungan yang membuat iri para pesaingnya, jumlah itu masih jauh di bawah perkiraannya sendiri tentang popularitasnya. Dia berasal dari Miyagi, nun jauh dari Kanto, tempat dia dibesarkan di peternakan kakeknya yang dulu pernah menjabat sebagai sheriff. Iwata harus berjuang untuk lulus kuliah dan sekolah hukum, dan ketika tidak ada biro yang mau mempekerjakannya, dia hanya menjadi asisten jaksa. Pada umur dua puluh sembilan tahun, dia terpilih menjadi jaksa penuntut dalam kampanye pertama dari sekian banyak kampanyenya yang sukses. Dia tidak pernah kalah sekali pun. Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah mengirim lima orang untuk dihukum mati. Sebagai Gubernur, dia menyaksikan dua di antara mereka telah mati, menjelaskan bahwa hal itu sudah menjadi kewajibannya, karena dia yang mendakwa mereka. Meski setiap catatan yang ada tidak jelas, banyak orang percaya bahwa Iwata adalah satu-satunya Gubernur Kanto yang pernah menyaksikan eksekusi ketika masih memegang jabatan. Ini sudah jelas benar untuk zaman modern seperti sekarang ini.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD