“Maaf, mobilnya kotor sekali,” sahut Ivan, hampir tersipu malu ketika mereka berdua menyelinap masuk dan menutup pintu-pintu mobil. Mula-mula Harry Kazuya tidak mengatakan apa pun. Dia meletakkan tongkatnya di antara kedua kakinya.
“Saat ini, sabuk pengaman diharuskan,” kata Ivan sambil memasang sabuk miliknya. Harry bergeming. Hening sejenak saat Ivan mulai menyadari bahwa perjalanan mereka berdua akan segera dimulai. Kini, Harry Kazuya tengah ada di dalam mobilnya untuk ikut dalam perjalanan yang akan memakan waktu berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari kalau ada potensi masalah, serta tidak satu orang pun tahu ke mana perjalanan kecil itu akan membawa mereka.
Secara lamat-lamat, Harry Kazuya memasang sabuk pengamannya ketika mobil sudah mulai bergerak. Siku mereka berdua hanya berjarak sekitar beberapa senti. Untuk pertama kalinya, Ivan mengendus dan mencium bau basi bir dan mengatakan, “Harry, gimana sejarahmu dengan minuman keras?”
Harry Kazuya menghela napas dalam-dalam, seolah-olah menghibur dirinya dari keamanan mobil dengan setiap pintunya yang terkunci rapat. Seperti biasa, dia menunggu paling tidak lima menit sebelum dia menjawab, “Aku tidak pernah menganggapnya sebagai sejarah. Aku seorang peminum berat. Aku tengah berumur empat puluh tujuh tahun, Pendeta, dan aku telah menghabiskan waktuku lebih dari dua puluh tiga tahun dengan mendekam di banyak penjara, tidak satu pun yang memiliki kedai minum, pub, penari telanjang, atau restoran larut malam. Aku tidak bisa mendapatkan minuman keras di penjara.”
“Kau telah minum-minum hari ini.”
“Aku mempunyai sedikit uang, masuk di sebuah bar hotel, dan aku minum-minum sedikit. Terdapat televisi di bar itu. Aku melihat news update tentang eksekusi Furuya Satoru di Kanto. Mereka menyebarkan fotonya. Aku langsung terpukul, Pendeta, aku katakan ini padamu. Aku benar-benar terpukul. Kau tahu, tadinya aku merasa agak sedih, sedikit terkenang dengan masa silamku, tapi begitu aku melihat wajah anak itu, aku hampir tersedak. Lalu aku minum-minum lebih banyak lagi. Aku mengamati jam yang semakin lama semakin mendekati pukul enam sore. Aku membuat keputusan dengan melanggar ketentuan pembebasan bersyaratku, pergi ke Kanto, dan melakukan hal yang benar.”
Ivan mengangkat telepon genggamnya. “Harry, aku harus menghubungi istriku.”
“Gimana kabar istrimu?”
“Baik. Terima kasih telah bertanya.”
“Dia itu manis sekali.”
Setiap Harry memuji istrinya, entah mengapa Ivan menjadi malas sekali meladeninya. “Kau harus melupakan istriku.” Ivan menggumamkan beberapa patah kalimat dengan sedikit kaku di telepon, tidak lama kemudian dia memutuskan sambungan. Dia mengemudi dengan cepat melintasi jalanan-jalanan sunyi di pusat kota Fukui. “Ya, Harry, saat ini kita mempunyai rencana untuk berkendara ke Kanto selama berjam-jam, di mana kau nanti akan menghadapi pihak-pihak yang berwenang, kau menceritakan hal sebenarnya, persis yang pernah kau ceritakan padaku selama ini. Menurut dugaanku, pada suatu titik tertentu, kau akan dengan cepat diminta untuk mengarahkan pihak yang berwenang dengan menuju ke kuburan di mana kau meletakkan mayat gadis itu. Semua ini, sudah jelas akan mengarahkan pada penangkapan dirimu dan penjeblosanmu ke dalam penjara. Kemudian mereka mendakwamu dengan berbagai jenis perbuatan jahat dan kau tidak akan pernah bebas lagi. Itu rencana bukan? Apakah kita memiliki tujuan yang sama?”
Cedutan yang jelas dari Harry. Senyap sejenak. “Iya, Pendeta. Kita memiliki tujuan yang sama. Dan tidak masalah bagiku. Toh aku sudah mati sebelum mereka sempat mendakwaku di hadapan dewan juri.”
“Aku tidak mengatakan itu.”
“Tida, tidak perlu juga. Pun kita sama-sama tahu, sedang aku lebih suka bila tak satu orang pun di Kanto yang mengetahui tentang tumorku (toksoplasmosis). Rasanya akan lebih cocok bila mereka mendapatkan kepuasan dengan mendakwaku. Aku layak untuk menerimanya. Aku merasa akan begitu damai, Pendeta.”
“Merasa damai dengan siapa?”
“Damai dengan diriku sendiri. Usai melihat Bella Stefa lagi dan meminta maaf kepadanya. Aku akan siap untuk apa pun, termasuk kematian.”
Ivan menyetir tanpa bersuara. Dia menghadapi perjalanan jauh dengan laki-laki ini, bisa dibilang mereka berdua berdampingan rapat hingga sepuluh, mungkin dua belas jam, dalam hatinya dia sambil berdoa semoga dia tidak akan menjadi gila seperti laki-laki yang ada di sampingnya ketika mereka sampai di Kanto.”
Dia memarkir mobil dan berkata, “Harry, aku rasa kau tak punya uang, tidak punya pakaian, tidak punya apa pun.” Ini terlihat sangat iba.
Harry Kazuya tertawa geli, mengangkat kedua tangannya di belakang kepalanya dan berkata, “Di sini aku, Pendeta. Dengan seluruh harta milikku di dunia.”
“Aku sudah menduga. Tunggu di sini sebentar. Aku akan kembali dalam lima menit.” Ivan membiarkan mesin mobilnya tetap menyala dan segera masuk ke dalam rumah.
***
KIKI tengah ada di dapur, sedang menyiapkan beberapa potongan roti lapis, keripik, buah-buahan, dan makanan lain apa pun yang bisa ditemukannya. “Ada di mana dia?” tanya Kiki begitu mendapati Ivan masuk ke rumah.
“Ada di mobil. Dia tidak akan masuk.”
“Ivan, aku tahu bahwa kau tidak mungkin serius soal ini.”
“Apa lagi pilihanku, Kiki?” Dia telah menetapkan keputusannya, sekalipun itu dengan berat hati. Dia sudah mempersiapkan diri untuk bertengkar sengit dengan istrinya, dan dia siap dengan segala risiko apa pun yang kemungkinan muncul dari perjalanannya itu. “Kita tidak mungkin hanya duduk diam di sini dan tidak melakukan apa pun, sedang kita tahu siapa pembunuh yang sebenarnya. Dia ada di luar sana, masih di dalam mobil.”
Kiki membungkus sepotong roti lapis dan memasukkannya ke dalam kotak kecil. Ivan mengambil satu lebar tas belanja yang dilipat dari lemari dapur lalu pergi ke kamar tidur, Untuk teman barunya, Harry, dia menemukan celana khaki tua, dua kasus oblong, kaus kaki, pakaian dalam, dan satu sweeter yang tidak pernah dipakai oleh siapa pun.
Dia berganti baju, menggunakan kerah pendetanya dibalut dengan jaket olahraga biru tua, lalu mengepak beberapa barang kepunyaannya sendiri ke dalam tas olahraga. Berselang beberapa menit, dia sudah kembali ke dapur, Kiki sedang menyandar di balik bak cuci, kedua lengannya terlipat geram di depan d**a.
“Ini benar-benar salah besar,” ucapnya.
“Mungkin. Aku tidak menawarkan diri untuk hal ini. Harry Kazuya memilih kita.”
“Kita?”
“Baik, dia memilihku. Dia tidak punya sarana lain untuk pergi ke Kanto setelah kehilangannya. Aku mempercayainya.”
Kiki memutar bola mata. Ivan melirik jam di microwave. Dia ingin lekas pergi, namun dia pun sadar bahwa istrinya berhak mengeluarkan sedikit unek-unek sebelum berpisah.
“Bagaimana bisa kau percaya semua ucapannya?” Pertanyaan serupa yang ke-sekian.
“Kita sudah pernah membahas ini, Kiki.”
“Gimana jadinya nanti kalau mereka juga menahanmu di sana?”
“Buat apa? Berupaya menghentikan eksekusi. Aku rasa itu bukanlah kejahatan, bahkan di Kanto.”
“Kau telah membantu seorang tahanan yang melanggar ketentuan pembebasan bersyaratnya, kan?”
“Benar, di Fukui. Mereka tidak bisa menahanku karena itu di Kanto.”
“Tapi kau terlihat tidak yakin.”
“Gini, Kiki, aku tidak akan ditahan di Kanto. Aku berjanji padamu. Kemungkinan aku tidak akan ditangkap, paling hanya ditembak.”
“Kau mencoba bergurau, ya?”
“Tidak. Tidak ada yang tertawa. Ayolah, Kiki, coba lihat gambaran besarnya. Menurutku Harry membunuh gadis itu pada tahun 2001. Aku rasa dia sengaja menyembunyikan mayatnya dan tahu tempatnya. Pun aku rasa ada kemungkinan sebuah mukjizat yang akan terjadi jika kami berhasil sampai di sana.”
“Dan menurutku kau sudah gila,” sahut Kiki.
“Mungkin saja, tapi aku lebih suka untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Pikirkan risikonya, Ivan…”
Ivan pelan-pelan beranjak mendekat dan saat ini dia meletakkan kedua tangannya di pundak Kiki. Tubuh istrinya itu begitu kaku, sedang kedua tangannya sejak tadi masih terlipat di depan d**a. “Gini, Kiki, aku belum pernah mengambil kesempatan apa pun dalam hidupku.”
“Aku tahu itu. Dan ini momen besarmu, kan?”
“Bukan, ini bukan semata-mata tentang diriku. Begitu kami berdua sampai di sana, aku akan berdiri di balik bayang-bayang dan tidak berniat untuk menonjolkan diri…”
“Ya, menghindari peluru.”
“Apa pun itu. Aku akan menjadi latar belakang saja. Ini pertunjukan Harry Kazuya, sedang aku hanyalah sopir.”
“Ha, sopir? Kau seorang pendeta yang berkeluarga!” Kiki agak sedikit memuncak.
“Aku akan kembali sebelum hari Sabtu. Aku akan berkhotbah pada hari Minggu, dan kita akan pergi berkemah bersama pada sorenya. Aku janji padamu.”
Bahu Kiki merosot, dan kedua lengannya terkulai lemas ke masing-masing sisi tubuhnya. Ivan melingkarkan tangan dan memeluknya erat-erat, disusul dengan ciuman. “Tolong kali ini maklumi aku,” ucapnya.
Kiki mengangguk dengan tabah dan berkata, “Baik-baiklah…”
“Aku mencintaimu.”
“Aku mencintaimu. Berhati-hatilah.”
***
TELEPON penggugah tengah malam Eijun datang pada jam 24.30. Dia sudah di ranjang bersama Mio kurang dari satu jam ketika telepon itu berdering-dering. Mio, yang tidur tanpa bantuan alkohol, langsung melonjak dan mengatakan, “Halo.” Lalu dia menjulurkan gagang pesawat itu kepada pasanganya yang masing mengantuk dan berusaha kuat membuka mata.
“Siapa ini?” gumamnya.
“Bangun, Eijun. Ini aku, Himura. Aku punya berita menarik di sini.”
Melalui nada antusias Himura dan sedikit dari pernyatannya itu membuat Eijun berhasil menggugah dirinya untuk melek. “Ada apa, Himura?” Mio sudah membalik tubuhnya di sisi ranjang yang lain. Eijun meringis memandangi bokongnya yang indah di balik balutan satin.
Himura mengatakan, “Aku minum-minum lagi dengan Hiro Akada. Aku mencoba mengajaknya ke klub telanjang. Selama dua malam berturut-turut. Aku yakin bahwa liverku mampu menanggung proyek ini lebih jauh. Sedang aku meyakini kalau livernya tidak sanggup. Intinya, aku membuat dia seteler mungkin, dan dia akhirnya mengakui semuanya. Dia bilang, bahwa dia berbohong tentang melihat mobil van hijau itu, pun berbohong tentang orang kulit hitam yang mengendarai mobil sialan itu, dia berbohong tentang semuanya. Mengaku bahwa dia yang menghubungi Bonjamin dengan membawa informasi palsu tentang Furuya Satoru dan gadis itu. Sangat bagus. Dia menangis sambil bercerita, tingkahnya itu persis seperti bocah gendut yang mabuk berat karena habis minum bir dan mengumbar omongan kepada para penari telanjang. Katanya, dia dan Furuya Satoru dulu adalah teman karib, saat duduk di kelas sembilan dan sepuluh, saat mereka berdua termasuk bintang-bintang futbol. Katanya, dia kerap mengira para jaksa dan hakim itu akan menebak hal yang sebenarnya. Dia tidak percaya dengan keadaan yang menjadi seperti ini. Dia sering berpikir kalau eksekusi itu tidak akan pernah dilaksanakan, berpikir kalau Furuya Satoru suatu hari nanti dibebaskan dari penjara. Saat ini dia akhirnya yakin kalau mereka akan membunuh Furuya Satotu, sehingga dia benar-benar kalang-kabut memikirkan hal itu. Dia merasa bahwa dirinya bersalah. Darah akan mencemari tangan dan hatinya. Aku benar-benar telah menaklukannya. Rasanya begitu menyenangkan.”
Robert Eijun berjalan-jalan ke dapur mencari air. “Bagus sekali, Himura,” jawabnya.
“Antara benar dan tidak. Sedang dia tetap menolak menandatangani afidavitnya.”
“Apa?!”
“Dia tidak mau melakukannya. Usai kami meninggalkan klub telanjang dan pergi ke sebuah kedai kopi. Aku memintanya untuk menandatangani afidavit, tapi aku merasa kalau diriku sedang berbicara dengan sebatang pohon.”
“Apa alasan dia?”
“Mamanya, Eijun. Mamanya dan keluarganya. Dia tidak sanggup membayangkan dirinya mengaku karena telah melakukan saksi palsu. Aku berupaya sebisaku, tapi anak itu tetap tidak mau mendatangani afidavit itu.”
Eijun meneguk segelas air keran dan membasuh mulutnya dengan bajunya. “Apa kau merekamnya?”
“Tentu saja. Aku telah mendengarkan hasilnya satu kali, aku mau mengulanginya sekali lagi. Suara agak sedikit berisik, di latar belakangnya. Kau pernah berkunjung ke klub telanjang?”
“Tidak usah tanya.”
“Musiknya begitu keras, banyak irama rap dan semacamnya . Tapi suara Hiro ada di sana. Kau dapat memahami perkataannya. Tapi kita tetap harus menjernihkannya.”
“Tidak ada waktu untuk itu.”
“Oke. Apa rencanamu?”
“Berapa lama perjalananmu?”
“Nah, di jam-jam indah seperti ini, jalanan-jalanan sepi, aku bisa tiba di Kanto dalam lima jam.”
“Kalau begitu cepatlah kemari.”
“Siap, Bos.”
Satu jam kemudian, Eijun sudah balik ke ranjang, berbaring menelentang, langit-langit gelap itu melakukan hal-hal aneh terhadap proses pemikirnya. Mio mendengkur seperti anak kucing, pulas dan tidak tahu apa-apa. Robert Eijun mendengarkan irama napasnya yang berat dan bertanta-tanya dalam hati, bagaimana perempuan itu bisa sedemikian tidak peduli dengan masalah-masalah yang dihadapinya. Dia merasa begitu iri pada Mio. Saat Mio bangun dari tidurnya, selama berjam-jam kemudian proritas utamanya adalah yoga panas bersama sejumlah temannya yang mengerikan. Sedang Eijun di kantor dan sangat sibuk berteriak-teriak di telepon.
Jadi, pada intinya kesimpulan yang dapat diambil ialah: Hiro Akada yang mabuk berat mengakui dosa-dosanya dan memaparkan semua kesalahannya di klub telanjang kepada seorang laki-laki dengan mikrofon tersembunyi yang menghasilkan rekaman kasar yang tidak akan pernah diterima oleh pengadilan beradab mana pun di dunia.
Nyawa Furuya Satoru yang rapuh akan bergantung pada pencabutan kesaksian dalam beberapa detik terakhir dari seorang saksi mata yang tidak punya kredibilitas sedikit pun.