Karina menunduk malu melihat pasangan di depannya, seumur hidupnya baru kali pertama melihat orang yang bermesraan di depan matanya. Karina belum pernah merasakan jatuh cinta, saat masa remaja dia habiskan untuk fokus pada pendidikannya, pun ketika dirinya mulai bekerja. Dia juga fokus dengan mencari uang untuk keluarganya. Maka rasanya sangat aneh melihat pasangan di depannya yang dia pergoki sedang bermesraan.
"Apa kabarmu, Karina?" Tanya Alanis setelah menaruh minuman di atas meja.
Karina mengangguk, kembali menunduk. Membuat Alanis heran dibuatnya.
"Kenapa kamu menunduk terus?"
"Ma-maaf sa-saya tadi mengganggu kalian," cicitnya pelan kembali menunduk.
Alanis tertawa mendengar jawaban polos Karina.
"Kamu lucu sekali, Karina. Jadi, apa kamu setuju dengan tawaranku?"
Karina mendongak menatap Alanis kemudian mengangguk, membuat senyum Alanis berkembang.
"Bagus, besok kamu bisa kembali ke sini dengan adikmu. Untuk menjadi saksi wali pernikahanmu."
Petra seketika memandang Alanis meminta penjelasan.
"Dengar, aku sudah menyiapkan semua kebutuhan mu selama di sini nanti. Dan kamu bisa gunakan kamar di dekat dapur. Sesuai kesepakatan kita, aku akan membayar semua kebutuhan keluargamu selama kau hamil. Juga, setelah kau melahirkan aku dan suamiku akan membiayaimu untuk kuliah atau kau membuka usaha." Jelas Alanis yang membuat Karina terdiam.
"Baik, Mbak."
Jawaban mantap Karina membuat seulas senyum lebar menghiasi wajah Alanis. Wajah Alanis mengisyaratkan jika dia benar-benar bahagia, berbeda dengan Petra yang masih tidak percaya. Namun, daripada dia kembali bertengkar dengan Alanis di depan tamunya dia lebih memilih untuk menahannya.
"Emm, maaf Mbak, apa saya dan Mas Petra emm---" Karina kembali bertanya, guna mempertegas pertanyaan kemarin. Ia tidak bisa untuk melanjutkan perkataanya dia malu dan juga tidak berani. Karena jika dia teruskan perkataannya mungkin saja bisa membuat dirinya ingin pergi dari sini.
Alanis yang menyadari jika gadis di depannya itu malu-malu, dia memilih dia sendiri yang berbicara.
"Apa maksudmu, kau dan suamiku berhubungan badan?" Tebak Alanis yang membuat Karina menundukkan wajahnya semakin dalam.
Alanis yang melihatnya ingin tertawa, gadis di depannya itu ternyata begitu polos.
"Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak mengizinkan suamiku untuk menidurimu. Kita akan melakukan Inseminasi,"
"Inseminasi?" Tanya Karina bingung.
Alanis mengangguk dengan mantap. "Kau tenang saja, ini tidak akan menyakitkan dan tentunya minim resiko."
Penjelasan Alanis membuat Karina sedikit lebih tenang, dia tidak sepenuhnya percaya. Namun, tidak ada salahnya jika dia mulai mempercayai perkataan Alanis.
"Baiklah, kalau begitu apa yang harus saya lakukan sekarang?" Tanya Karina memandang Alanis dan Petra bergantian.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan dulu kontraknya," Alanis berujar sambil bangkit dari sofa meninggalkan Petra dan Karina berduaan.
Karina yang ditinggalkan berduaan dengan Petra jelas gugup, pria dewasa dengan kacamata bertengger manis di hidungnya itu membuat perasaan Karina tidak karuan. Karina jelas terpesona dan mungkin mulai mengagumi sosok di depannya itu, tapi dia harus sadar diri. Pria itu terlarang baginya, dan dia harus sadar posisinya di sini. Tidak boleh memiliki perasaan lebih untuk suami orang, meskipun pria itu yang akan menjadi ayah dari anaknya kelak.
"Mengapa kau menerima tawaran istriku?"
Petra bertanya dengan suara yang membuat Karina berdebar.
"Apakah ini soal uang?" Tanya Petra lagi karena Karina tidak membalas pertanyaan sebelumnya.
"Sa-saya .... " Sebelum Karina menjawab, Alanis sudah datang dan menghampiri mereka berdua membuat Karina bisa bernapas dengan lega.
"Tolong kau tandatangani di sini," Alanis menaruh kertas yang telah dirinya bubuhi oleh tanda tangannya, di atas meja.
Di sana ada nama Alanis, Petra dan juga Karina yang masing-masing di bawah nama tersebut telah ditempeli oleh materai. Karina menadatangani dengan mantap, kemudian Petra yang menandatangani dengan perasaan yang masih bimbang. Terlihat dari wajah pria itu yang sedari tadi keruh.
Alanis melihat kertas yang dipegangnya itu dengan wajah berseri-seri, jelas sekali jika dirinya bahagia.
"Baiklah, kalau begitu terima kasih Karina kamu bisa kembali lagi besok kemari."
Karina mengangguk, ia kemudian pamit.
"Kau akan menjelaskannya?" Tanya Petra memandang Alanis.
Wanita yang masih memancarkan senyum bahagia itu mengangguk. Belajar dari pengalaman kemarin, Alanis tidak ingin kembali bertengkar dengan Petra.
Alanis memohon pada Petra untuk menikahi Karina, karena dengan ini keluarga Karina tidak akan curiga dengan Karina yang diam di apartementnya. Meskipun Petra marah dan enggan pada akhirnya Petra akhirnya terpaksa setuju. Setelah Alanis mengancamnya. Maka pernikahan siri Karina dan Petra diadakan ke esokan harinya, dengan wali nikah adik laki-laki Karina. Karena ayah Karina yang tidak tahu ada di mana, maka pernikahan itu terlaksana secara tertutup. Adik laki-laki Karina jelas bingung, namun karena dia juga tidak bisa berbuat banyak dia hanya menyetujui saja.
Tidak ada yang berbeda dengan pernikahan mereka. Petra tetap satu ranjang dengan Alanis pun Karina yang tetap dikamarnya.
***
Alanis yang tidak ingin menunda lagi rencananya, satu minggu kemudian mereka bertiga pergi ke suatu negara yang bisa membantunya. Alanis tidak ingin mengambil resiko untuk ketahuan mertuanya, maka dari itu Alanis memilih untuk pergi ke negara lain. Besar kemungkinan jika dirinya akan diketahui oleh keluarga Petra kalau dirinya tetap berada di sini. Sesampainya di sana Petra dan Karina di periksa terlebih dahulu, begitu mereka berdua baik dan siap Inseminasi baru bisa dilaksanakan.
Petra ingin sekali membatalkan niatan Alanis, karena dia masih menginginkan Alanis untuk menjadi ibu kandung dari anaknya kelak. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Alanis tidak bisa memberinya keturunan, asalkan dia tetap berada di sampingnya itu sudah cukup. Tapi Alanis tetap Alanis si keras kepala yang selalu benar dalam berbicara.
"Hon, kau benar-benar ingin melakukan ini?" Tanya Petra ketika mereka telah berada di kamar hotel.
Alanis memandang Petra dengan aneh.
"Sejujurnya aku masih tidak ingin melakukan ini,"
"Jangan macam-macam, kamu sudah berjanji kepadaku untuk menyetujui rencana ini!"
Petra mengusap wajahnya kasar, kemudian kembali memandang Alanis yang kini menatapnya tajam.
"Aku hanya ingin kamu yang mengandung anakku, bukan Karina atau wanita lain,"
"Tapi kamu kan sudah tahu aku tidak bisa memiliki anak!"
"Kita belum pernah memeriksanya berdua, Hon. Kamu harus ingat, aku mantan dokter kandungan. Aku memiliki banyak teman dokter kandungan, kita bisa mengeceknya."
"Dan kamu ingin membuatku malu, iya? Dengan kau yang menanyakan kepada teman-teman satu profesimu itu, kamu sama saja mempermalukanku! Apa itu yang kamu inginkan?!"
Petra seketika menggeleng, "Bukan itu maksudku, selama ini kita tidak pernah berkonsultasi atau mengeceknya. Bisa saja perkataan dokter itu salah, bahwa rahimmu sehat."
Alanis berdecak, dia kemudian berjalan mondar-mandir di hadapan Petra.
"Tidak mungkin, dokter itu tidak mungkin salah. Jika dokter itu salah, seharusnya aku sudah memiliki banyak anak dengan Adjie sekarang. Tapi kamu lihat sendiri, aku tidak memiliki anak dengannya sampai sekarang ini!"
"Dan aku bersyukur untuk itu." Tandas Petra yang jelas sekali jika dia tidak suka jika Adjie kembali disebut-sebut dalam masalah ini.
"Keputusanku sudah bulat!"
"Sekali ini saja, Hon. Kita mengetesnya," bujuk Petra.
Alanis menggeleng. "Dan kembali mempermalukanku? Kamu tidak tahu, ibu dan keluarga besarmu itu tidak pernah menyukaiku. Ditambah sekarang aku yang tidak kunjung hamil juga, mereka terus saja mencelaku! Aku tidak ingin disebut istri yang kurang karena tidak bisa memberimu keturunan." Sungutnya di depan Petra.
Petra memegangi kedua tangan Alanis dengan wajah yang memandang sang istri dengan sendu.
"Tolong, Lan. Stop untuk memikirkan orang lain, aku tidak peduli dengan omongan mereka. Termasuk omongan ibuku, yang terpenting bagiku kamu selalu berada di sisiku itu sudah cukup. Aku tidak ingin kamu terluka dengan melakukan ini, aku hanya ingin kau dan aku hidup bersama, meskipun tanpa anak sekalipun."
Mendengar ucapan tulus Petra membuat Alanis menubruk tubuh sang suami. Dia menangis sambil memeluk tubuh Petra, Petra membalas pelukan Alanis juga. Di usapnya punggung sang istri dengan lembut, ditenangkannya Alanis dengan kata-kata yang membuat wanitanya itu tenang. Petra sadar betul dengan tekanan yang di alami Alanis, dia tidak ingin membuat wanitanya kembali down mengingat Alanis memiliki riwayat kejiwaan yang terguncang. Maka dari itu sebisa mungkin dirinya selalu membuat Alanis nyaman dan tenang, tidak membuat wanita itu tertekan dan juga stress. Tapi, jika keinginan Alanis memiliki anak dengan jalur seperti ini, Petra akan menerimanya asalkan wanita yang di dalam rengkuhannya itu bahagia. Itu sudah cukup baginya.
Tanpa mereka berdua sadari, Karina yang sedaritadi tidak sengaja mendengarkan perkataan Alanis dan juga Petra hanya bisa terdiam sambil meremas kedua tangannya.
***