Bab 5

1124 Words
Karina meremas kedua tangannya gugup, dia benar-benar sudah gila menerima tawaran Alanis. Tapi tak dapat dipungkiri, jika dirinya sangat membutuhkan uang itu. Ibunya hanya penjahit biasa, dengan upah biasa-biasa saja hanya cukup untuk biaya makannya sehari-hari. Sedangkan dirinya hanya pegawai sales promotion girls yang gajinya lumayan. Seharusnya itu sudah cukup, tapi ayahnya yang sialan itu pergi entah ke mana dengan meninggalkan setumpuk hutang. Setiap sebulan sekali dirinya harus membayarkan hutang-hutang ayahnya dengan nominal yang cukup besar baginya. Dia tidak memiliki uang simpanan seperti teman-temannta yang lain, maka begitu Alanis menawarinya permintaan itu Karina benar-benar memikirkannya. Maka dari itu lah, Karina berada di kafe yang sama, saat dirinya dan Alanis bertemu. "Hai apa aku membuatmu terlalu lama menunggu?" Sapa Alanis membuyarkan lamunan Karina. Dengan menggeleng Karina menjawab "Tidak, Mbak." "Kau sudah memesan?" Tanya Alanis lagi yang melihat meja di depannya masih kosong. Karina kembali menggeleng. Alanis tersenyum melihat wanita muda di hadapannya itu. "Ayo pesan, aku juga belum makan." Karina menurut, dia memesan pasta dan lemon tea. Sedangkan Alanis hanya salad, selama Alanis dan Karina makan. Mereka membicarakan hal-hal ringan, sengaja Alanis mengulur waktu untuk melihat kesungguhan Karina. Sejujurnya Alanis sudah tahu, saat Karina mengiriminya pesan kemarin malam untuk bertemu. Dia mengetahui tipe wanita seperti Karina itu seperti apa, polos, baik dan mudah dimanfaatkan. "Jadi, kau sudah memutuskan?" Tanya Alanis setelah sang pelayan pergi mengambil piring kotor di atas meja mereka. Karina mengangguk. "Apa kau menolak tawaranku?" Mendengar pertanyaan seperti itu dari Alanis, seketika Karina menggeleng dengan keras. "Tidak, maksud saya. Saya sudah memikirkannya semalaman, dan saya memyetujuinya," jawabnya tanpa ragu. Alanis menyunggingkan senyum tipis. "Bagus, itu yang ingin aku dengar." "Lalu, apa yang harus saya lakukan?" "Kau pindah ke apartemen kami." Mata Karina melotot. "Kami?" "Iya, kau akan tinggal bersama kami." "Ta, tapi mengapa? Bukankah sebaiknya saya tinggal sendiri?" Tanyanya jelas bingung. Alanis menggeleng sambil tersenyum. "Justru itu akan membuat yang lain curiga, apa jadinya jika aku dan suamiku mengunjungi apartemenmu dan salah satu anggota keluarga kami mengetahuinya? Itu jelas akan membuat masalah besar. Maka dari itu lah, kau tinggal bersama kami." Karina mengangguk paham setelah mendengar penjelasan Alanis. "Kau bisa mengemasi barangmu nanti malam, dan besok kau sudah bisa tinggal di rumah kami." Karina mengangguk lagi. "Apakah ada yang ingin kau tanyakan?" Karina mengangguk ragu. "Maaf soal p********n, bisakah saya memintanya sekarang?" "Ah tentu saja, aku akan mengirimkan pada rekeningmu nanti sebagai uang muka." Karina tersenyum dengan lega, sejujurnya dia malu meminta ini pada Alanis. Tapi untunglah Alanis tidak menanyai dirinya, dia sungguh gugup dan malu. "Apa saya tidak perlu untuk menandatangani kontrak atau semacamnya?" Tanya Karina lagi. Dan lagi-lagi Karina tersenyum mendengarnya. "Kau tenang saja, yang terpenting besok kau sudah berada di rumahku. Akan ku jelaskan lebih rinci lagi mengenai hal ini." Karina mengangguk mengerti. "Baiklah kalau begitu saya pamit, terima kasih Mbak," pamit Karina lalu berdiri dari duduknya. Alanis mengangguk, namun sebelum Karina meninggalkan meja. Alanis berujar yang membuat jantung Karina berdebar. "Ingat, dalam perjanjian ini. Kau tidak boleh menaruh perasaan pada suamiku, sekalipun suamiku bersikap baik padamu. Kau harus sadar akan posisimu, kau hanya Ibu Pengganti sekalipun jika suatu saat nanti kau menikah siri dengan Petra. Kau tidak boleh mencintainya. Kau boleh menyayangi calon anakku, tapi tidak dengan suamiku. Apa kau mengerti?" Ujar Alanis dengan senyum penuh arti. "I-iya saya mengerti," angguk Karina. Dia kaget karena kemungkinan dia akan menjadi istri kedua. Setelah sadar dari rasa kagetnya ia lalu pamit, kemudian pergi meninggalkan Alanis yang masih ada di sana. Alanis mengembusakn napasnya berat, ia berdoa jika kejadian dulu tidak akan kembali terulang. Kali ini saja dia ingin bahagia dengan pria yang mencintainya, bukan pria yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadinya. Meskipun pada awalnya pria itu mencintainya, tapi kali ini saja dia minta untuk merasakan kebahagiaan yang utuh. *** Malam itu tidak seperti malam sebelumnya, wajah Petra terlihat memerah seperti menahan amarah. Petra benar-benar tidak percaya mendapati dirinya kecolongan, apa yang sebenernya di inginkan Alanis. "Petra, kamu udah pulang?" Tanya Alanis sambil tersenyum melihat sang suami yang sudah pulang. Ia keluar dari dalam kamar mandi setelag selesai bersih-bersih. Petra hanya melirik sekilas tidak mengidahkan Alanis. Biasanya jika melihat Alanis yang diselimuti jubah mandi, dia akan langsung menyerang istrinya itu. Tapi sekarang rasanya sangat mustahil. "Ada yang mau aku bicarain sama kamu." "Aku juga, aku juga mau ngomong sama kamu." Alanis lantas duduk di atas ranjang, masih dengan jubah mandinya. Sedangkan Petra berdiri dengan kemeja kerjanya dan membelakanginya! "Kita tidak usah menggunakan Karina untuk mempunyai anak." Ucap Petra memulai. Alanis seketika membenarkan posisi duduknya, mengapa Petra berbicara seperti itu? "Bukankah kita sudah sepakat?" "Sejak awal aku tidak menyetujuinya." "Tidak bisa, kamu sudah setuju Petra. Mengapa sekarang kamu mempermasalahkannya!" Jawab Alanis dengan suara tinggi. "Kali ini Petra membalikan badannya jadi menghadap Alanis. Wajahnya begitu datar, memandang sang istri dengan pandangan yang membuat Alanis cemas. "Aku hanya ingin tahu, mengapa kamu begitu gigih sekali mencari ibu pengganti? Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?" Pertanyaan Petra membuat tubuh Alanis menegang. Alanis seketika menundukkan wajahnya, tidak melihat ke arah Petra. "Ti-tidak, aku tidak menyembunyikan apapun dari mu," "Benarkah?" Tanya Petra main-main. "Ya, aku tidak menyembunyikan apapun dari mu!" Tandas Alanis dengan tegas. "Begitukah? Lalu mengapa kamu tidak ingin kita memeriksakannya?" Degup jantung Raline semakin menggila mendengar perkataan Petra, apakah Petra mengetahuinya? Tapi siapa yang memberitahu Petra bukan kah tidak ada yang tahu tentang hal ini, atau Petra hanya curiga saja kepadanya? "Jawab Lani! Mengapa kamu tidak mau memeriksakan kesehatanmu denganku?!" "Karena aku tidak ingin mengganggumu." Petra mendengus lalu kembali membalikkan tubuhnya, membelakangi Alanis. Membuat Alanis diam-diam menahan napas dengan lega. Petra kemudian berdecak mendengar sang istri yang terus berbohong. "Ck omong kosong!" Bentak Petra terpancing emosi membuat Alanis yang duduk di atas ranjang melonjak terkejut. "Sampai kapan kau akan terus menyembunyikan ini, Lani! Sampai kapan?!" Murka Petra dengan tubuh yang kembali menghadap Alanis. "Apa maksudmu?" Meskipun Alanis sudah tahu tentang yang dibicarakan oleh Petra sekarang ini, namun dia tetap saja ingin tahu secara jelas. "Perutmu!" "Apa yang kau bicarakan?" Tanyanya kembali dengan takut-takut. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, dan Alanis benar-benar tidak siap jika Petra marah tentanh ini. "Berhenti untuk berpura-pura Lani! Mengapa kau menyembunyikan hal sepenting ini dari ku, Lan mengapa?!" Wajah Alanis sudah tidak bisa dikatakam baik-baik saja, wajahnya begitu pucat padahal dirinya sehabis mandi, tapi perkataan Petra lah yang membuat wajah Alanis seperti ini. "Dari siapa kau mengetahuinya?" Tanya Alanis dengan perasaan yang kacau. "Jadi benar berita itu benar?" Alanis hanya diam, membuat Petra kembali murka. "b******k!" Petra mengumpat. Petra memilih untuk menjauu dari Alanis, ia berjalan-jalan ditengah kamar sambil terus mengumpat. "Aku tidak percaya ini, bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya, padahal aku suami mu sendiri. Sedangkan orang lain mengetahuinya, kau benar-benar keterlaluan Lan!" Seru Petra marah lalu berjalan membuka pintu kamar, lalu keluar dengan membanting pintu kamarnya. Meninggalkan Alanis sendiri dengan tangisannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD