Kolidor sekolah, beberapa menit waktu berlalu setelah bel pergantian kelas berbunyi. Lorong tampak sepi, para murid tetap berada di kelas masing-masing. Resca baru saja kembali dari ruang club fotografi, ia memang sengaja melewatkan jam pelajaran pertama dan baru berencana mengikuti kelas sekarang. Dengan perlahan ia membuka pintu belakang kelas, masuk ke dalam dengan mengendap. Mendapati wajah baru yang dikenalinya menempati kursi tepat di depan, wajah Resca berubah ceria merasa senang melihat Elin.
“Evelin, kau di kelas ini?” Sapa Resca berdiri tegak percaya diri, lupa dengan misi mengendapnya.
Elin juga terlihat senang akhirnya ada wajah yang ia kenal di kelas, terutama ada yang mengajaknya bicara lebih dulu memecah kesunyian. “Kau... Kapan ada di sini?” Elin cukup yakin tidak melihat Resca sebelumnya di kelas.
“Baru saja.” Aku Resca berwajah polos. “Ada yang harus kulakukan di ruang club, jadi aku berada di sana pada jam pertama.” Sampai tadi Resca mencuci film di ruang club Fotografi. Padahal saat menurunkan Elin di sekolah pagi tadi, Resca ingin memainkan peran sebagai tour guide untuk siswi pindahan itu. Mengantar Elin ke ruang guru, mengenalkan lingkungan sekolah. Walau motifnya tidak murni sekedar membantu Elin. Resca ingin mendapatkan bahan berita koran sekolah, tentang identitas siswa pindahan, cara bagaimana ia bisa diterima di sana. Pasti banyak orang yang memiliki pertanyaan sama di benak mereka karena ini merupakan kasus yang langka terjadi. Pasti banyak yang ingin tahu latar belakang Elin saat ini. Dan tampaknya dewi keberuntungan berada di pihak Resca.
Rasanya Elin harus mulai membiasakan diri, mungkin karena ini sekolah mahal jadi siswanya bisa berbuat sekehendak hati. Seperti apa yang baru saja Resca akui dengan kesadaran penuh. Bila di sekolah umum itu namanya bolos pelajaran, bukan begitu.
“Ahh... Jadi kamu juga di kelas ini?” Elin tidak punya kalimat lain yang bisa menjadi topik pembicaraan.
“Ya, aku di kelas ini.” Resca duduk di kursinya. “AH! Sebentar. Haruskah aku memberitahumu atau tidak ya, hmm...” Resca yang bicara dengan setengah-setangah seperti itu hanya membuat Elin binggung.
“Ya? Maksudmu?”
Bukan menjawab atau menyelesaikan ucapannya Resca hanya tersenyum. “Karena ini hari pertamamu, jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau punya pertanyaan jangan sungkan―” Resca menunjuk seorang teman yang duduk di barisan depan juga. “Tanyakan pada Mahdi, dia ketua kelas.”
“Mahdi?” Orang yang ditunjuk Resca sebagai ketua kelas, Elin ingat betul ia juga salah seorang siswa yang datang terlambat bersama anak bernama Iki itu. “Ketua kelas? Apa Resca serius dengan ucapannya?” Protes Elin dalam benak. Namun Resca yang ditatap Elin menunjukkan binar kepolosan di bola matanya, Elin tidak bisa menemukan kepastian di sana.
***
Hari pertama Elin di sekolah barunya berakhir. Terlalu banyak hal aneh dan kejadian janggal mengusik pikiran Elin. Selain perilaku tak acuh siswa pada guru, siswa yang berbuat semau sendiri, ketua kelas yang anggota geng dan lain sebagainya. Sekolah ini juga tampak luar terkesan dingin, dari ketidakpedulian penghuninya. Gedung luas dan fasilitas terbaik tapi entah kenapa di pandangan mata Elin tampak suram. Tidak ada keceriaan, keramaian, kehangatan seperti di sekolah lama Elin. Setiap siswa terkesan individualis atau tertutup meski berkelompok. Untuk saat ini rasanya Elin tidak bisa berteman dengan siapa pun.
“Sedang pikirkan apa?” Sapa Resca melihat wajah serius Elin saat berjalan pulang.
“Oh, Resca! Bukan apa-apa.” Benar, semua baru awal. Elin masih bisa berusaha membuat teman. Dia tidak ingin suasana suram dan harinya yang sepi mempengaruhi suasana hatinya sampai pulang ke rumah. Ibu akan cemas melihatnya muram.
“Apa kamu juga akan pulang dengan berjalan kaki?” Teringat dengan cara Elin datang ke sekolah Resca jadi penasaran bagaimana cara Elin pulang.
“Ah! Iya...” Apa boleh buat. Setidaknya kali ini Elin sudah tahu jalan.
“Hmm... Toh kita searah, ikut saja bersamaku.” Bertambah satu penumpang lagi tidak membuat perbedaan juga menurut Resca.
Tapi bagi Elin menerima bantuan berturut-turut terasa seperti beban atau berhutang. “Tidak aku―”
“Hanya sampai jalan utama, ayo!!” Resca menarik lengan Elin menuju parkiran di mana mobil jemputan Resca sudah menunggu, tidak cukup waktu memberi kesempatan untuk Elin menolak ajakannya.
Suasana canggung yang sama seperti pagi tadi, Elin ingin menolak tawaran Resca karena tidak ingin melewati situasi yang sama lagi. Tapi kenyataannya di sini ia sekarang, duduk di sebelah Resca. Haruskah Elin paksakan diri memulai percakapan, tapi tidak terlintas apa pun. Elin merasa amat lelah tanpa alasan. Sementara itu di samping Elin, Resca sibuk dengan telepon genggamnya. Saat itu panggilan masuk memecah keheningan.
“Halo, apa maksudmu?! Ini tidak seperti yang kau janjikan padaku Wil! Kamu tidak bisa mengubah perkataan dan membatalkan janji di saat terakhir.” Begitu mengangkat telepon Resca langsung marah dengan nada tinggi. Ah, Elin tahu apa yang membuatnya merasa lelah, yaitu kejadian di sekolah yang tidak pernah tenang dan berjalan normal. “Tentu saja aku ingin liputan tentang Iki bukan berita lain. Aku akan tetap membuat laporan―”
“Dengar Resca,” Wildan lewat sambungan telepon memberi nada penekanan pada suaranya agar Recsa sadar dengan peringatan yang Wildan sampaikan. “Jika kamu tetap nekat membuat liputan tentang balapan motor Iki kemarin. Aku tidak bisa menjamin posisimu tetap aman bila hal ini menjadi masalah dan berakhir di meja dewan sekolah.” Resca terdiam, tidak bisa membalas kata-kata peringatan atau terdengar lebih mirip ancaman dari Wildan. “Aku menghubungimu bukan untuk negosiasi.” Wildan menutup teleponnya.
“Apa semua baik-baik saja?” Tanya Elin cemas, Resca terlihat sangat kesal setelah panggilan telepon berakhir.
“Sudah kuduga lagi-lagi Iki berhasil lolos.” Gumam Resca terlihat tidak puas.
“Apa anak yang bernama Iki itu memang pembuat onar di sekolah?” Resca tertawa sinis mendengar pertanyaan Elin. “Iki, anak seperti apa dia?” Kesan pertama Elin jelas tidak baik tentang Iki. Sejujurnya Elin paling membenci kekerasan di lingkungan sekolah, tidak bisa melihat siswa yang abai dengan peraturan sekolah. Seharian ini ia lelah menahan diri untuk tidak turun campur atau membuat dirinya tampak menonjol lebih dari posisinya sebagai siswa baru.
“Tidak usah perdulikan dia. Bersikaplah seperti anak lain, tidak melihat-tidak mendengar apa pun.” Kata Resca terdengar serius.
Selagi topik ini muncul, inginnya Elin menggali lebih banyak informasi. Tapi Resca tidak mudah untuk diajak bicara. “Mengapa aku harus―”
“Karena anak lain melakukan hal yang sama. Apa kau cukup percaya diri? Punya keberanian melakukan hal berbeda dengan mayoritas? Sedangkan kau baru pindah ke sekolah ini?” Perkataan Resca langsung tepat mengenai sasaran, menunjuk posisi lemah Elin saat ini. “Tetap diam atau kau akan terseret. Banyak hal tidak kamu ketahui tentang sekolah ini yang berada dalam bayangan Evelin.”
“Lalu kau sendiri? Mengapa kau melakukannya?” Elin memberanikan diri balik bertanya.
“Haha... Kalau bukan karena club koran sekolah, aku juga tidak ingin melakukannya.” Tawa sinis Resca berubah jadi senyuman getir. “Percayalah, tidak ada yang ingin berurusan dengan Iki. Jadi sebaiknya kau juga menjauh darinya. Peringatan ini yang ingin aku sampaikan di kelas tadi padamu.” Kata-kata Resca terpatri dalam ingatan Elin, mungkin karena ekspresi wajah muram yang Resca tunjukkan untuk pertama kali membuat Elin merasa iba padanya.