Ruangan itu pengap; cahaya minim sekali, dipenuhi kepul asap yang cukup mencekik, belum lagi bau alkohol yang menguar ke mana-mana. Di beberapa sudut ruangan terlihat botol-botol sisa minuman terjejer agak berantakan. Tak luput juga sisa puntung rokok di sekitarnya berikut dengan gelas-gelas bekas meminum minuman tersebut.
“Sudah lo lakukan?” tanya seseorang di balik meja yang cukup besar di sudut lain. Pencahayaan yang ada di sana cukup memadai; berasal dari lampu baca yang sengaja dinyalakan.
“Sudah, Bos.” Salah satu dari beberapa orang yang ada di ruangan itu bicara.
Semuanya tak berani menatap langsung wajah sang penanya. Aura kelam yang ada di ruangan itu semakin mencekam lantaran si penanya tadi bangun dari singgasananya. Berjalan pelan menuju pria yang menjawab pertanyaan barusan.
“Sudah lo cek tempatnya?”
“S-sudah, Bos.”
Sang penanya menyeringai pelan. “Sudah lo pastikan bersih?”
Sekali lagi si penjawab mengatakan dengan kegugupan, karena sungguh, berada di dekat si penanya membuatnya sangat terintimidasi. “Su-sudah, Bos.”
Meski jawaban itu terkesan meragukan, tepat di manik mata si penjawab, ada kejujuran di sana. Hal itulah yang membuat sang penanya merasa puas. Ia pun memberi apresiasi berupa tepukan di bahu pria yang kembali menunduk. Tak berani menatapnya terlalu lama.
“Kalau ada masalah di masa depan karena perintah gue, yang pertama gue cari itu lo, Yengki.”
Pemilik nama Yengki langsung menelan ludahnya bulat-bulat. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ia juga tampak gemetaran, tapi tak boleh ada keraguan di dalamnya. Ia sudah memastikan sendiri tak ada sisa dari apa yang ia kerjakan bersama sniper suruhannya. “Iya, Bos. Gue bertanggung jawab penuh.”
Si penanya pun merasa semakin puas. Namun, hal itu tak membuatnya ingin kembali ke meja tadi. “Siapkan mobil. Tuan Quassano butuh gue.”
“Siap, Bos.”
Sosok yang dipanggil Bos tadi melangkah dengan tegap. Coat panjang hitam yang ia kenakan, berkibar pelan tertiup angin di sekitarnya. Matanya tajam menatap sekitar. Sepanjang koridor yang ia lewati, beberapa orang berseragam hitam segera menunduk begitu berpapasan dengannya. Ada rasa takut yang menguasai mata mereka sehingga pilihan menunduk adalah hal yang sangat tepat.
Ruangan temaram tadi sudah ditinggalkan berikut juga orang-orang yang ada di dalamnya. Semua mengimitasi langkah sang pria menuju area depan di mana SUV-nya terparkir dan siap digunakan mengantar ke mana pun tujuannya.
“Tuan Alfred ada di lapangan golf Yamada,” info Paul. Salah seorang berseragam hitam namun ia berani menatap sang Bos dengan lekatnya. Satu-satunya orang yang berani menantang mata sang bos hanya Paul; orang kepercayaan sang Bos. Pemilik rumah besar bergaya klasik yang didominasi pilar-pilar besar lengkap dengan simbol keluarganya.
Sayap Elang.
Mengukuhkan tanpa perlu disuarakan siapa dirinya sebenarnya. Penguasa klan Sayap Elang. Gerald Hasolomone.
“Beliau menunggu Anda satu jam dari sekarang.”
Gerald mengangguk pelan sebelum menaiki mobilnya. Namun, sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, ia berkata, “Pastikan kalau pekerjaan Yengki beres. Tanpa ada jejak.”
“Baik, Bos.”
Merasa jauh lebih tenang setelah mengatakan hal itu, Gerald pun masuk ke dalam mobil. Duduk dengan nyaman dan membuka salah satu laci penyimpanan. Red Wine yang selalu ada di sana memang khusus disediakan untuknya. Sesaat setelah Paul masuk dan duduk di sisinya, mobil itu pun melaju dengan cepat.
“Ada perkembangan apa?” tanya Gerald sembari menggoyang gelas miliknya.
Paul yang sejak tadi memperhatikan tabletnya pun melirik sekilas lalu tersenyum. “Saham Quassano makin jaya, Bos. Keuntungan kita juga semakin banyak.” Paul pun menyodorkan tablet tadi untuk diperlihatkan pada Gerald.
Seringai tipis menghiasi wajah Gerald. “Pertahankan.”
“Delapan bulan lagi, pemilihan gubernur wilayah Utara dan Selatan. Kandidat terkuat adalah Tuan Quassano. Mengingat saham yang beliau miliki, saya yakin, banyak yang bisa beliau lakukan nantinya.”
“Kawal sampai Quassano menjadi apa yang diinginkan.” Gerald menyesap pelan isi cangkirnya. Ada rasa yang mulai menjalari lidahnya. Sensasi yang membuatnya jauh lebih rileks ketimbang sebelumnya. “Ada di sisi Quassano adalah hal yang sangat menguntungkan. Suatu saat, mereka akan tunduk ke Sayap Elang.”
“Baik, Bos.”
Mobil berwarna hitam pekat itu terus melaju membelah jalan utama di Bagian Utara. Menuju tempat yang ditempuh dalam waktu tiga puluh menit kemudian. Sang asisten kembali meneruskan pekerjaannya, sementara sang bos menatap layar yang menampilkan berita-berita sampah seputar pemerintahan. Kendati demikian, fokusnya ada pada saat di mana nantinya ia akan berkuasa.
“Sedikit lagi, Pa, sedikit lagi,” katanya dalam hati lalu kembali ia nikmati red wine yang ada di tangannya ini.
***[]***
Alun musik yang cukup mengentak, mewarnai tempat yang sudah penuh dengan orang-orang yang butuh penghiburan lebih. Mereka menari, bergoyang, berteriak, mengikuti irama yang memenuhi ruangan yang cukup luas ini. Ah … bukan sekadar cukup.
Bangunan lima lantai ini, lantai dua sengaja diperluas untuk dance floor dikelilingi beberapa meja bartender. Termasuk di dalamnya sofa-sofa yang dipenuhi banyak pengunjung lain.
Kebanyakan dari mereka terlihat menikmati tiap hal yang ada di ruangan di mana cahaya berpendar warna-warni. Hiruk-pikuk itu pun diiring dengan kepul asap rokok yang tebal merata. Apa ada yang terganggu? Sama sekali tidak. Justru mereka semakin jadi mengentak entah itu kaki ataupun tubuhnya. Mengikuti alun yang terputar cukup keras di sana.
Termasuk seorang wanita yang sejak tadi menatap lurus pada balkon di atas lantai dansa ini, ia pusatkan perhatiannya pada satu titik; sang pemilik diskotek.
Sembari menunggu, tak lupa juga di jemarinya terselip satu batang rokok yang hanya sesekali ia isap. Selebihnya, ia biarkan tembakau itu terbakar percuma karena memang bukan itu niatnya di sini.
“Gue enggak sangka lo ada di sini.”
Perkataan itu membuatnya menghentikan sejenak aktivitas yang ia lakukan. Menoleh sembari menatap malas lawan bicaranya; Jerou.
“Ada larangan gue ke sini?” tanya si wanita dengan ketus. Tadinya ia ingin isap sisa rokok yang ada, namun terlambat. Batang nikotin tadi sudah keburu diambil oleh sang lawan bicara dan diisap dengan pejaman mata. Seolah menikmati sekali pertemuan sisa bibir di ujung rokok yang semula dinikmati si wanita.
“Enggak ada,” kata Jerou sembari mengeluarkan asap dari mulutnya. “Tumben saja tadi sekuriti kasih tahu gue kalau ada lo di sini.”
Sang wanita bersedekap malas. Rambut panjangnya yang tergerai indah ia biarkan sedikit terjepit karena punggungnya disandarkan ke sandaran sofa. “Panggil bos lo,” perintahnya dengan nada meremehkan.
Jerou terkekeh. “Lo sadar diri, Tari.” Ia pun mendekat pada sang wanita. “Lo enggak bisa seenaknya memerintah gue.”
“Kalau lo lupa, gue perempuan yang Pras pilih untuk ada di sampingnya.”
Kembali kekehan Jerou terdengar. “Bukan berarti lo berhak memerintah gue, Tari.”
“Bacot!”
Apa Jerou tersinggung? Marah? Kesal? Tidak sama sekali. Malah yang ada, Jerou mengambil minum yang tersedia untuk sang wanita. Meneguknya hingga habis dan berhasil membuat Tari menggeram kesal.
“Ehm … selera lo enggak berubah. Tequila.”
“Gue mau ketemu Pras.”
Gerak Tari pun diikuti Jerou dengan cepat, bukan untuk mengiringi tapi menghalangi. “Pras ada urusan. Lo jangan ganggu.”
Tari menatap Jerou dengan sinis. “Berani lo bantah gue?”
“Lo bukan bos gue.”
Tari mendelik tak terima. Ditatapnya Jerou dengan pandangan remeh serta kekesalan yang amat. “Gue enggak peduli dengan urusan Pras. Yang gue mau, gue ketemu Pras.”
Jerou menghalangi langkah Tari. Bersedekap dengan tatapan tajam serta wajah yang mulai menegang. “Jangan lewati batas lo, Anatari.”
Tari tak akan kalah. Ia pun menyingkirkan Jerou dalam sekali sentak namun pria itu seolah tahu gerakan Tari. Lengan wanita itu dicekal dengan kuatnya dan dikunci hingga Tari memekik kesakitan. “Keterlaluan lo, Jerou!!!”
Jerou menyeringai puas. Ia pun berbisik penuh intimidasi. “Gue sudah bilang, jangan langgar batasan lo!”
“Ada apa ini?”
Mendengar suara yang sangat familier di telinga Tari, wanita itu pun berusaha melepaskan diri. Lalu berjalan tergesa menuju sang pemilik suara. Beringsut penuh manja serta merajuk seperti biasanya. “Jerou larang aku bertemu kamu, Pras.”
Pras melirik ke arah Jerou yang berdecih sinis. Lalu matanya mengarah pada Tari yang kini bergelayut manja padanya. Hampir seluruh pengunjung di Diskotek Flown mengarahkan mata pada mereka bertiga. Terutama saat sang pemilik dengan langkah tergesa turun setelah melihat apa yang terjadi.
Hubungan Jerou dan Tari memang tak pernah akur.
“Naik ke atas, Rou,” perintah Pras yang langsung dipatuhi Jerou. Hanya saja, mata Jerou terus menatap Tari dengan tatapan tak suka. Sementara Tari yang merasa dibela, membalas tatapan itu tak kalah menantang. “Dan lo, Tari. Lo hutang penjelasan kenapa ada di sini?”
Tari merengut manja. Masih terus bergelayut mesra, tak peduli meski menjadi tontonan. Semua mata yang mengarah pada mereka harus tahu bahwa Pras hanya miliknya seorang. Itulah kenapa, ia langsung mengikuti Pras yang mengarah ke lantai dua. Beberapa orang Pras juga turut mengikuti mereka sampai langkah Pras berbelok ke salah satu koridor yang ada di lantai tiga.
Berbeda dengan tujuan Jerou yang kembali ke meja tempat Pras bertemu dengan beberapa orang yang berbisnis dengannya.
Lima orang yang mengikuti Pras segera menghentikan langkah begitu memahami apa yang bosnya lakukan. Koridor ini hanya khusus digunakan Pras untuk bersenang-senang dengan wanita yang ia pilih.
Untuk kali ini, ada Tari yang menemaninya. Hal itu juga membuat d**a Tari makin buncah. Membuatnya semakin mengikrarkan diri kalau ia adalah orang yang penting ada di sisi Noah Prasetyo.
Sementara itu, langkah Pras terhenti di salah satu pintu yang tertutup rapat. Tak sukar untuk membukanya. Di sana terdapat sofa lengkap dengan meja berisikan penuh camilan serta botol-botol minuman keras kesukaannya. Juga … ranjang yang cukup luas.
Senyum Tari makin terkembang lebar. Tak sia-sia usahanya memaksa salah satu orang yang ada di rumah Pras. Sekadar untuk mencari informasi keberadaan Pras malam ini. Sudah hampir tiga hari lamanya Pras tak kembali. Tak ada satu pun yang mengatakan di mana keberadaan pria itu selain mengurus jenazah Tony.
Ia pun mengikuti langkah Pras masuk ke dalam ruangan yang sejuk serta jauh dari hiruk-pikuk yang tadi ia dengar di lantai sebelumnya. Menutup pintu dengan gerakan sepelan mungkin sembari memastikan kalau Pras kini memperhatikannya. Namun ….
“Duduk,” kata Pras dengan nada yang tegas. Nada yang hanya sesekali Tari dengar, itu pun bukan mengarah padanya, melainkan ke anak buahnya atau orang-orang yang membelot dan patut dihukum olehnya. Hal itu juga yang membuat Tari beringsut takut.
“Lo dengar gue bilang apa?”
“Iya,” sahut Tari dengan cepat. Ia juga segera menuruti permintaan Pras; duduk di salah satu sudut sofa.
“Perlu lo tahu satu hal, Tari,” kata Pras sembari mendekat padanya. Auranya tak lagi bersahabat. Kemarahan jelas terlihat di manik mata Pras yang sehitam jelaga ini. Rahangnya mengetat seolah menahan geram yang siap terlontar kapan saja. “Kalau Jerou bilang jangan ganggu, berarti gue enggak mau diganggu.”
“Ta-tapi, Pras...,”
“Diam!” bentak Pras yang membuat Tari makin ciut nyalinya. “Masih bagus gue tarik lo ke sini. Sekali lagi lo ganggu gue di sini, gue enggak segan melempar lo macam barang bekas.”
Setelah mengatakan hal itu, Pras pergi begitu saja.
Meninggalkan Tari yang mengerjap dengan rasa tak percaya. Membuat satu demi satu bulir air mata yang jarang sekali membasahi pipinya, menetes saking tak menduga kalau Pras bisa mengatakan hal itu padanya.