Rashi menghapus air matanya dengan kasar. Ia tengah menenteng tas besar berisi baju dan barang - barang pribadi. Singkat cerita Rashi sedang dalam proses pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada keluarga. Dengan kata lain ia akan kabur, alias minggat.
Wanita itu men - starter motor bututnya. Sebelum pergi, Rashi menyempatkan diri menatap rumah untuk terakhir kali. Rumah yang sudah menaunginya selama 24 tahun ia hidup di dunia.
Tiga hari lalu.
Setelah dirawat di klinik selama sehari semalam, Rashi diizinkan pulang dan mendapat izin absen kerja selama tiga hari. Di rumah, ia melakukan aktifitas rehatnya seperti biasa. Seperti; jualan di toko rumahan milik Bunda, cuci baju seluruh anggota keluarga, cuci piring semua orang, beres - beres, dan lain - lain. Dengan kata lain, tak ada istilah rehat dalam hidup Rashi.
Adik bungsu Rashi adalah tipe anak yang hiperaktif. Ia tak pernah bisa diam. Padahal tubuhnya ringkih, sering sakit. Semua orang sudah lelah mengingatkan anak itu untuk diam barang sebentar. Sayangnya, Dio tetap saja tak bisa diam. Alhasil, ia benar - benar sakit lagi. Bahkan panasnya mencapai 40 derajat celsius.
Rashi yang notabene juga masih sakit, berusaha memaksakan diri. Hancur sudah impiannya untuk bermalas - malasan di kamar selama tiga hari ke depan masa cutinya. Kesempatan langka hilang begitu saja.
Bunda kembali meminta tolong Rashi untuk mengambilkan kompresan baru. Rashi bangkit dengan setengah hati.
Seperti biasa, setelah satu perintah tercetus, selanjutnya Bunda bertubi - tubi meminta melakukan ini itu sebagai rentetan. Rashi kesal setengah mati. Apa Bunda benarb- benar setidak peka itu, sampai tak sadar bahwa saat ini Rashi pun masih butuh istirahat? Apa Bunda lupa kalau Rashi juga sakit?
"Mbak, ambilkan paracetamol di kotak obat!"
"Rashi capek, Bun. Mau tidur sekarang."
"Tolong dong, Mbak! Bunda juga capek. Ya?"
"Rashi ngantuk, mau tidur."
"Mbak!"
Rashi tak menghiraukan seruan Bunda. Ia berjalan lurus, masuk ke kamarnya. Belum sedetik Rashi berbaring, seseorang sudah mengetuk pintu kamar dengan brutal.
"Kamu, tuh, kenapa? Dimintai tolong Bundamu gitu aja kok nggak mau." Rupanya Ayah yang sedang mengetuk pintu. Iya, kan? Drama sekali lagi.
Ayah bahkan sedari tadi hanya duduk santai di depan komputer sambil main game. Jadi, kenapa bukan Ayah saja yang membantu Bunda? Eh, malah ikut - ikutan mengomel pada Rashi.
Dan ... oh, iya, bukannya di keluarga ini masih ada satu anak lain yang menganggur? Si Romi itu. Kenapa tidak menyuruhnya?
"Rashi pengin sendirian, Yah," jawab Rashi akhirnya.
"Adik kamu, tuh, lagi sakit, Shi."
"Iya, Rashi tahu. Tapi Rashi capek, pengin tidur."
"Kamu, tuh, anak sulung. Kalau kamu gini terus, adik - adikmu bakal niru kamu, lho."
Rashi tidak menjawab. Percuma menjawab, pasti ia akan tetap kalah. Rashi hanya butuh sedikit pengertian. Kenapa mereka tak pernah mengerti?
Sejak dulu Rashi tak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri. Saat di rumah, kegiatannya hanya membantu orang tua, dari bangun sampai akan akan tidur lagi.
Keluarga ini mempunyai usaha rumahan di bidang industri dan perdagangan makanan ringan yang tidak terlalu sukses. Namun, hasilnya cukup untuk hidup sehari - hari. Juga untuk menyekolahkan keempat anak - anaknya.
Bahkan Rashi mengorbankan masa kecil dan masa remajanya untuk itu semua.
Dulu saat Rashi duduk di bangku sekolah dan kuliah, ia masih punya sedikit waktu. Yaitu saat ia berada di sekolah atau pun kampus. Mungkin sebagian orang menganggap berada sekolah dan kampus adalah hal mengesalkan, tapi tidak untuk Rashi. Berada di dua tempat itu, sudah ia anggap sebagai sebuah liburan.
Asal tidak berada di rumah dan segala urusannya, maka itu adalah sebuah liburan bagi Rashi. Apalagi saat ia dan teman-temannya punya kesempatan untuk jalan - jalan bersama sesekali.
Tapi sekarang? Rashi sudah bekerja. Seluruh waktunya digunakan untuk kerja di kantor dan kerja di rumah.
Bukannya Rashi juga manusia? Rashi juga butuh waktu untuk dirinya sendiri. Lihatlah teman - teman Rashi yang bebas main di luar kapan pun mereka mau tanpa harus memikirkan urusan rumah. Orang tua mereka memberi kebebasan asal mereka tidak kebablasan. Sedangkan Rashi?
Ia bahkan butuh merencanakan semuanya dari jauh - jauh hari hanya untuk makan di café atau restoran. Semua harus diatur secara rinci. Tentu saja karena ia harus membagi waktu. Urusan kantor dan segala pekerjaan rumah sudah sangat menyita waktunya.
Rashi sering iri pada Yulia dan Melody. Meskipun kerap disebut sebagai tiga serangkai, tapi sebenarnya mereka bertiga sangat jarang keluar bersama. Berkat serangkaian kesibukan tentu saja.
Yulia dan Melody lebih sering keluar berdua saja. Mereka menjalani hidup dengan bebas, bersenang - senang, punya pacar, dan keluarga yang pengertian.
Ah, bukannya sudah terlalu banyak hal yang di - iri - kan oleh Rashi di dunia ini? Mungkin memang hatinya ditakdirkan hanya untuk selalu merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Mungkin memang itulah satu - satunya bakat yang bisa ia lakukan dengan benar.
Ayah masih terus berusaha membuat Rashi kembali membantu Bunda mengurus Dio. Sayangnya, usaha itu sia - sia. Rashi menutup rapat telinganya dengan bantal. Selain menutup telinganya, ia juga menutup seluruh bagian wajah — Rashi sedang menangis — ia tak ingin tangisannya didengar oleh siapa pun.
***
Tengah malam Rashi terbangun karena suara gaduh dari luar kamar. Ia juga mendengar ada yang berbicara. Penasaran, Rashi bangun, mengintip dari lubang kunci. Ayah sedang menenteng tas besar, disusul Bunda yang menggendong Dio.
Pasti mereka membawa anak itu ke rumah sakit lagi. Berarti nantinya, Rashi hanya berdua saja dengan Romi di rumah.
Sekadar mengingatkan, Romi adalah adik Rashi yang paling menyebalkan. Anak itu pasti sedang sibuk bermain game di kamarnya. Tidak heran, sih, sifat malas keturunan dari Ayah.
Mungkin itu juga sebabnya Ayah tak pernah marah pada Romi. Karena sifat mereka yang sama persis. Apa perlu Rashi juga berubah sifat seperti mereka, supaya ia tidak disuruh ini itu lagi?
Jika saja adik pertamanya, Lyla, ada di rumah, pasti beban Rashi akan sedikit terbantu. Sayangnya, Lyla sedang berkuliah di luar kota, sehingga jarang pulang.
Tak bisa dipungkiri Rashi juga menaruh rasa kesal pada Lyla. Karena pada dasarnya Rashi memang dendam kesumat pada semua adiknya, bukan? Bahkan dendamnya pada Lyla terhitung paling besar. Dikarenakan jarak umur mereka hanya sedikit, sehingga Rashi selalu menganggap bahwa Lyla adalah awal dari segala mimpi buruk dalam hidupnya.
Tapi rasa kesalnya pada Lyla menyusut seiring berjalannya waktu. Setelah dewasa, Rashi dan Lyla semakin memahami satu sama lain. Entah kelak itu berlaku untuk adiknya yang lain atau tidak.
Ngomong - ngomong, kamar yang Rashi tempati ini sebenarnya adalah milik Rashi dan Lyla bersama. Karena Lyla tidak ada, makanya Rashi sendiri yang menempati sekarang.
Entah kenapa malam ini Rashi merasa sangat lelah dengan dunia. Ia sudah bosan dengan hidupnya yang monoton. Hidupnya yang seperti mimpi buruk. Hidupnya yang suram dan terjal.
Mungkin sudah saatnya Rashi menjadi egois. Ah, bukan egois. Melainkan memberi kesempatan bagi dirinya sendiri untuk menikmati hidup.
Rashi bergegas berkemas. Sebutlah Rashi terlalu gegabah. Tapi ia sudah memutuskan.
***
Yulia takut sekali saat mendengar suara ketukan pintu tengah malam begini. Apalagi ia sedang sendirian di rumah. Ada SMS masuk, dari Rashi. Ya Tuhan, ternyata Rashi yang sedang mengetuk pintu rumahnya. Yulia cepat - cepat turun membuka pintu.
Melihat wajah Rashi yang sembab, Yulia kehilangan minat untuk bertanya ini itu. Sudah pasti Rashi belum mau bercerita.
"Gue nginep, ya?" Hanya itu yang dikatakan Rashi.
Yulia membuka garasi agar Rashi bisa memasukkan motor. Yulia juga membantu Rashi membawa barang - barangnya.
Pagi tiba, Rashi bangun sebelum Yulia. Saat ini ia tengah merias diri di depan cermin. Ia sudah siap dengan pakaian kerja. Meskipun sebenarnya masa rehat masih sisa satu hari lagi.
"Lo mau ngantor, Shi?"
"Ya kali gue dandan gini mau ke pasar!"
"Seriusan? Libur lo masih sisa sehari lho. Sayang banget, lumayan buat istirahat."
"Gue tahu. Tapi dari pada mati bosen sendirian di sini mending gue ngantor. Oh iya, nanti temenin gue cari kost, ya!"
Yulia diam. Ia ingat tentang niat meminta penjelasan pada Rashi tentang masalahnya. "Emang ada apaan, sih? Jadi lo ... kabur?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Ah ... males gue jelasin, Yul. Masalah kayak biasa lah."
Yulia mengangguk mengerti. Semenjak dulu, hubungan Rashi dan keluarganya memang rumit. Sekilas mereka nampak seperti keluarga bahagia — meskipun hidup sederhana. Tapi Rashi selalu merasa dikalahkan dalam hal apa pun oleh keluarganya sendiri. Yulia mengerti, pasti Rashi sudah benar - benar muak sekarang.
"Lo yakin?"
"Iya. Ntar aja gue telepon Bunda. Gue mau terus terang kenapa gue kabur. Gue harap Bunda sama Ayah bisa ngerti."
"Gue dukung selama niat lo baik. Gue juga mau lo bahagia."
"Thanks."
"Tapi ngomong - ngomong, kondisi lo gimana? Beneran udah baikan, kan?"
"Belom, sih, sebenernya. Tapi nggak apa - apa lah. Gue, kan, strong."
"Yah ... ntar lo pingsan lagi!"
"Nggak bakalan."
***
TBC