11 | Taman Kota

2802 Words
VERO sibuk mengeluarkan sepeda Hybrid biru tua dari bagasi rumah. Tak lama setelah itu, gadis ber-hoodiepink pastel yang nampak oversize keluar dari rumah, sambil menenteng helm King Bike berwarna biru muda. Rambut hitam sebahunya yang biasanya digerai, kini diikat setengah. Membuatnya nampak lucu. “Nih, manja bener. Ngambil sepeda dari bagasi doang mesti gue yang turun tangan,” gerutu Vero, sambil menyodorkan sepedanya pada gadis itu. Denta hanya nyengir kuda sebagai balasan lalu mulai naik ke atas sepeda milik Papa yang hari ini akan dipakainya. Ya, rencananya Denta memang akan ke taman kota. Olahraga sore, bersama anak sekelas. Kebetulan, formasi 12 IPS 3 lengkap sore ini. Semuanya ikut, tanpa ada kecuali. Bahkan, Adiba yang mageran pun ikut juga. Sekalian juga, mereka sekelas mau bahas tentang kegiatan tahunan, olahraga antar kelas yang berlangsung seminggu lagi. Yah, hitung-hitung cari suasana baru, karena nongkrong di kafe dan mall rasanya sudah hambar. “Hati-hati, Kak. Nggak usah ngebut bawa sepedanya! Lo bukan Cristian Gonzales. Nggak usah gaya-gayaan!” “Cristian Gonzales nggak bawa sepeda kali, Ver!” Denta langsung menyahut sewot. “Hm, sono berangkat! Bacot banget. Udah setengah tiga!” usirnya. “Ingat ya, kalau ada semut nyebrang langsung nepi! Kasihan kalau ketabrak. Keluarganya nyariin. Tapi, kalau ada truk tangker, lo nengah aja. Jangan mau kalah!” katanya jelas bercanda. Vero nyuruh Denta benar-benar setor nyawa. Menyebalkan. Padahal waktu koma, Vero yang menangis paling kencang Dia bahkan rela sebulan tidak masuk sekolah meskipun juga senangmendapat jatah liburan ke Belanda. Denta langsung melajukan sepeda. Bisa gila dia, kalau lama-lama di sini meladeni adiknya yang tidak waras. Mengingat rumah barunya dan Aryan cukup dekat, cewek itu langsung membelokkan sepeda ke perumahan elit. Saat tiba di depan rumah putih, Denta hampir akan terlempar jauh, gara-gara mengerem mendadak, melongo. “Itu beneran Aryan?” gumamnya tak percaya. Aryan ada di teras depan. Tiduran di paha mamanya dengan tangan sibuk mainin mobil-mobilan. Mamanya dengan lembut, mengusap-usap alias memainkan rambut tebal Aryan. Denta menahan tawa. Benar, ia tidak salah lihat, apalagi mengada-ngada. Itu benar-benar Aryan Balqi Mahaprana. Dan saat itu image Aryan si bos geng idaman, jadi luntur seketika di hadapan Denta. “Mama, Adik mau ke taman habis ini. Boleh kan?” kata Aryan, membuat Denta yang berdiri di depan pagar semakin melongo. Adik? “Boleh. Mau naik apa?” “Naik sepeda dong,” sahut Aryan dengan ekspresi lucu, membuat Denta mendelik jijik. Ini otaknya Aryan kejepit apa gimana? “Cih, lagaknya ceweknya ada di mana-mana. Eh, ternyata cuma anak mami,” kekeh Denta memegangi perutnya yang sakit, menahan tawa sejak tadi. Gadis itu mulai melepaskan helm di kepalanya. Memarkir sepedanya tepat di depan pagar rumah Aryan. Tidak peduli kalau dimarahi pemiliknya karena menghalangi jalan. Denta mulai melangkah masuk dengan tenang. “Permisi!” kata Denta canggung. “Cari siapa, Dek?” tanya Mama Aryan, namun sepertinya pemuda itu belum sadar akan kehadirannya. Buktinya, dia masih asik megangin mainnya. “Cari Aryan, Tante. Soalnya, kami mau sepedaan di taman,” sahut Denta. Aryan, pemuda itu langsung duduk, menoleh dengan cepat ke arah suara berasal. Lantas matanya melotot dan mulutnya menganga tak karuan. “Pacarnya Aryan ya?” sapa mamanya itu ramah, sedangkan Denta langsung mendekat, mencium tangannya. “Ah, bukan kok, Tan. Tapi temennya sekelas,” balas Denta lalu nyengir. “L-lo dari tadi, Nta? Sejak kapan? Terus, kenapa ke sini nggak chat gue dulu?” protes Aryan. Tangannya sibuk menyembunyikan mainnya. “Iya, dari tadi.” “Tadinya itu kapan?” “Waktu lo tidur di pangkuan mama lo, sambil manggil diri lo adik.” Jawaban itu semakin membuat sosok jangkung Aryan merutuk malu. “Namanya siapa?” ujar wanita cantik di sebelah Aryan. “Denta, Tante.” “Oh, Denta yang anak baru? Ih, Aryan pernah cerita kalau dia punya temen baru cantik di kelasnya.” Denta mendelik. Sementara Aryan, matanya melebar dan menganga. Melihat ke kanan kiri, mencari cangkul untuk menggali tanah, dan mengubur diri hidup-hidup. *** TAMAN kota tampak ramai ditambah lagi dengan murid 12 IPS 3 di sana. Hari beranjak sore, satu-persatu anak mulai turun dari atas sepeda, kemudian mendaratkan tubuh di rumput taman, duduk dengan posisi melingkar. Namun sepertinya, itu tidak berlaku untuk Denta. Gadis itu masih duduk di sepedanya. Begitu pula dengan Hauri, Raghil, Nezar dan Fina. Kelima remaja itu berniat untuk sepedaan lagi. “Yan, beneran nggak ikut?” tanyanya pada pemuda yang duduk di sebelah Naufan. “Capek gue, Nta, serius!” Aryan masih ngos-ngosan membuat Denta melengos. “Santai aja ya, kelilingin taman kota,” usul Nezar. “Nggak seru, lah. Harus balapan.” Denta menyahut, sambil mengibaskan rambutnya dengan gaya sengak yang sok cantik. “Terus, lo mau gimana?” Raghil kali ini berseru, menyahuti. “Kita balapan aja, biar lebih menantang. Nanti yang kalah, harus nurutin yang menang,” jelas Denta. Gadis ber-hoodie pink itu menatap keempat temannya dengan wajah tengil. “Terus, rutenya kem--” Hauri tidak menyambung pertanyaannya sendiri karena ulah Denta yang tiba-tiba saja sudah melesat secepat mungkin. “HEH, CURANG LO t*i!” Semua anak 12 IPS 3 yang tersisa, justru tertawa geli melihat tingkah mereka, seperti bocah TK. Apa lagi ketika melihat Denta mengayuh sepedanya, sangat jauh sampai kini tak terlihat lagi. *** Denta menoleh ke belakang sambil menggayuh sepedanya, tak melihat ada temannya lagi. BRUK! Saking fokusnya melihat ke belakang, dia jadi lupa memperhatikan jalanan di depan dan alhasil, sepeda Denta menabrak pohon hingga membuat si pengendara terjatuh. Mencoba tidak menangis, Denta memeriksa kantong celananya, untuk mencari ponsel. namun bukan ponsel yang dia dapat, malah justru permen dengan tulisan 'sabar ini ujian'. Sambil meratapi nasib, Denta memakan permen itu dengan wajah bersungut. “Gini amat elah, nasib gue,” rutuk Denta berusaha untuk berdiri. “Punya temen mana ampas semua, nggak ada yang datang pas lagi dibutuhin begini.” Tidak sadar, beberapa remaja laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya, langsung tertawa ngakak melihat ekspresi lucu gadis itu. Niat hati pergi ke taman untuk main basket, mereka malah bertemu Denta yang lagi kebut-kebutan. “Astaga Denta! Lo habis jatuh ya? Eh, sepeda lo gimana?” pekik Nugraha, gelak tawa seketika kembali pecah. “Denta! Kalau nggak bisa naik sepeda sini abang Karrel ajarin,” goda Karrel langsung disikut oleh Gasta. Denta menoleh kaget. Matanya melotot seketika, saat menyadari beberapa remaja laki-laki berada tak jauh darinya. Mereka tengah berdiri di lapangan basket tak jauh dari tempatnya jatuh. Kejamnya mereka. Bukannya menolong, malah tertawa. Wajah Denta langsung memerah ia ingin mengumpat. “Apa sih! Nggak usah bikin gue makin kesal deh,” Denta membulatkan mata seolah mengancam. “Pohonnya anteng kali, Nta.Ngapain lo tabrak sih? Kasihan dong,” timpal Leo masih menertawai puas. “Pohonnya aja tuh yang nggak tau diri karena berdiri di sini. Udah tau banyak orang main sepeda. Bikin gue celaka aja,” cerocosnya tidak mau disalahkan. Denta semakin merutuk, saat melihat rantai sepedanya jadi patah. Boro-boro cuma copot, lah ini patah. “Cih, katanya mahal, baru dipakai jatuh sekali doang langsung bermasalah,” dumelnya pelan. Jengah karena melihat mereka masih menertawai dirinya, sorot mata Denta beralih pada pemuda jangkung yang sibuk menahan tawanya, agar tidak meledak seperti yang lain. Image cool yang melekat di dirinya, membuat dia terkikik pelan saja. Padahal Denta tau, bahunya gemetar naik turun, karena saking ngakaknya walau tak keliatan. “Gasta!” jerit Denta melengking. “Eh? Hah?” Gasta tersadar, gadis itu tengah memanggilnya, membuatnya langsung menatap ke arah Denta. “Lo ngapain masih di situ? Sini bantuin gue!” teriak Denta. Untung saja hanya rantai sepedanya yang lepas. Dia tidak mengalami luka lecet sedikitpun. Palingan cuma rambutnya yang awut-awutan. “Ah, i--” “Udah tau gue jatuh, ya langsung ditolong dong!” pekiknya sewot. “Sekalian bawain gue minum ya!” Gasta mendelik. Namun, tanpa pikir panjang, pemuda itu mengambil botol minumnya. Melangkah tenang menghampiri Denta yang kini tengah menunggunya dengan ekspresi wajah yang kecut. Tidak peduli u*****n dari teman-temannya yang kini sibuk meledekinya. Namun tak berselang lama, mereka kembali melanjutkan permainan, meski tanpa Gasta. “Harusnya lo itu peka dong, tanpa gue suruh dulu. Dasar!” cibir Denta kesal. “Iya. Mana yang sakit?” Tangan Gasta sibuk memegang bahu Denta, meneliti gadis itu mulai dari atas sampai bawah, memastikannya tidak lecet sama sekali. “Nggak ada. Sini! Gue mau minum!” balas Denta dengan wajah bersungut lalu mengambil botol minuman Gasta dengan seenaknya, Gasta mendelik, kaget saja, melihat gaya minum Denta yang seperti tidak pernah minum setahun. Sampai kemudian gadis itu tersadar memandangi botol minuman yang dipegangnya. “I-ini, habis lo minum?” “Iya,” balas Gasta tenang. “Lo minumnya langsung? Maksud gue, bibir lo nempel di sini?” kata Denta menunjuk bagian yang sempat disentuhnya juga dengan bibir. “Iya, kenapa?” Denta tercengang. Bukan maksud jijik atau bagaimana. Hanya saja, gadis itu pernah mendengar dari Dira, bahwa hal yang mereka lakukan ini adalah ciuman tidak langsung. Entah sadar ataupun tidak. Sumpah, mulut Denta tidak bisa menutup. Jantungnya berdebar kencang. Cepat-cepat Denta menutup mulutnya. Merasa pusing, dirinya mati kutu. Gasta mengambil minumannya dari tangan Denta, meneguknya sampai habis. Kening pemuda itu mengerut, melihat Denta sibuk mengusap bibirnya sendiri dengan punggung tangan. Karena penasaran, Gasta meraih tangan Denta sekedar ingin tau ada apa di bibir Denta. “Kenapa ngusap bibir terus?” Denta tertegun. Detak jantungnya semakin tidak karuan, saat Gasta menggenggam tangannya lalu jantung Denta semakin lari maraton begitu sorot matanya jatuh pada bibir Gasta. Gadis itu merutuk, bisa-bisanya ia berpikir sekotor ini. “Kenapa?” ulang Gasta, saat merasa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi. “Emang lo nggak tau?” tanya Denta jadi gugup sendiri. “Apa?” “Kalau minum kayak tadi, sama aja kita lagi ciuman nggak langsung.” “Tau. Terus masalahnya?” tanyanya dengan alis bertaut. Sementara Denta shock, ternyata Gasta sudah tau. Dia jadi semakin malu bukan main. Eh, tapi kenapa dia malah tanya alasannya? Denta semakin geram. Berarti dia sengaja? “Gue nggak mau!” pekik Denta dengan suara meninggi. Gasta terkekeh. “Dulu kan kita udah pernah ciuman.” “Hah?” “Ciuman langsung malah. Nggak pakai perantara botol,” balas Gasta. “Di rumah Alex,” sambungnya. Gadis itu semakin melotot, wajahnya berubah galak juga kesal. Refleks, tangannya menabok bibir pemuda itu dengan kencang. “Gue botakin lo ya!” jerit Denta lantang, bersiap menyerang. “A-ampun!” “Sini lo gue gelindingin ke parit depan!” amuk Denta kini memukul-mukul kepala Gasta yang tertunduk di depannya seperti banteng lepas. “Iya! Ampun, Nta!” ringis Gasta benar-benar kesakitan. “Lo mau mati?” “I-iya, nggak!” rengek Gasta. Kadang dia heran, setelah koma mengapa gadis ini jadi ganas sekali. “Manusia nggak tau diri. Musnah aja lo sana!” Masih mengamuk, dengan matanya melotot. Tangan Denta langsung berhenti, memukuli Gasta, saat sadar cowok itu tengah terbatuktanpa henti. “Lo masih sakit ya? Masih flu? Belum diobatin emang?” “Pipi gue sakit, Nta!” keluh Gasta, mengusap pipinya yang membuat Denta menciut malu. “Sorry! Habisnya sih lo ngeselin banget tadi,” kata Denta agak ngegas. “Sakit!” Dan setelah mengatakannya, Gasta langsung terbatuk lagi. Sumpah ya, tangan Denta rasanya gatal ingin menjambak dan menaboki cowok ini lagi. Namun, Denta merasa bingung sekarang. Pengen muntah karena Gasta memasang wajah sok imut begini, atau sebenarnya ia malah terpesona sendiri. “Ya, udah.Sini dekatan! Gue lihat dulu pipinya,” suruh Denta. Tangannya langsung menarik tangan Gasta hingga tubuh cowok itu agak membungkuk. Mengusap-usap pelan pipi pemuda itu, yang merah karena ulahnya. “Sakit banget ya, Gas?” “Hem,” Gasta mengangguk dengan wajah dibuat sepolos mungkin. Denta sampai mendelik, namun meniupi pipi Gasta pelan meski agak dongkol. Kenapa juga dia susah-susah melakukan ini? Gasta saja yang berlebihan. Gasta masih mematung di tempatnya. Terlalu terkejut, sampai tidak bisa berkata apa pun. Denta begitu dekat dengannya, sampai Gasta bisa melihat bola mata Denta yang coklat madu. Tanpa sadar senyumnya mengembang, saat melihat wajah panik itu. “Makanya jangan godain gue terus. Udah tau mood gue lagi rusak sekarang,” omelnya kesal, masih sibuk meniupi pipi Gasta yang merah. “Iya,” balas Gasta kalem. “Masih sakit nggak? Oksigen gue udah habis nih niupin pipi lo mulu.” “Masih perih,” katanya berdusta. “Terus gimana, biar pipinya nggak perih lagi?” tanya Denta tanpa sadar intonasinya jadi melembut. Gasta memandang gadis itu lekat, lalu mengerling berharap. “Cium aja!” Denta yang hampir meledak, terdiam begitu saja. Jadi menatap cemas Gasta yang terbatuk-batuk lalu memegang hidungnya sebentar. Gadis itu mencibir pelan, agak kikuk memegangi kening Gasta. Kemudian turun ke pipi pemuda itu dan lehernya. Gasta jadi menggigit bibir, keenakan. “Hangat. Lo udah tau kalau sakit ngapain ke sini sih?” gerutunya jadi mengomel sekarang. “Tadi nggak ada masalah,” balas Gasta cepat. “Pulang aja sana! Nggak usah sok jagoan deh lo. Udah tau demam, malah main basket di taman,” sinisnya. “Antarin lo dulu kan.” “Ngapain antarin gue? Gue bisa sama Aryan atau yang lain. Teman-teman gue lagi di pojok sana tuh. Kumpul semua,” celotehnya. “Aryan? Nggak. Sama gue aja!” kata Gasta jadi tegas. “Tapi lo lagi demam. Nggak usah maksain badan!” gerutunya. “Gue nggak apa.” “Nggak apa gimana? Jelas-jelas lo demam gini,” pekik cewek itu. “Gue lebih kenapa-napa, kalau lihat lo balik sama Aryan,” kata Gasta cepat, entah sadar atau tidak. “Hah?” Gasta terkekeh kecil, melihat ekspresi jelek Denta yang melongo. Cowok itu mengacak puncak kepala Denta gemas, sampai membuat gadis itu mendelik, “Lucu lo!” Refleks Denta membalas tatapan Gasta yang agak merunduk menatapnya. Mata pemuda itu berbinar, menikmati mata jernih Denta yang melebar. Cowok itu diam agak lama. Jantungnya jadi berdebar kencang, makin merasa gemas. “Denta!” Semua scene romantis antara keduanya kini rusak total, ketika pemuda jangkung datang, berteriak menyerukan nama gadis itu. Keduanya terlonjak kaget. Denta yang merasa nyawanya sudah melayang, kembali tersadar sepenuhnya. Refleks saja ia menjauh dari Gasta, begitu pula dengan Gasta yang merasa jantungnya terjun bebas saat itu juga. “Ngapain lo?” tanya Gasta sewot, membuat Aryan mendelik. “Apa, sih?Gue nyariin Denta kali, bukan lo,” balas Aryan sinis. Gasta melotot, merutuk dalam hati. “Ada apa, Ar?” tanya Denta. Pandangan Aryan beralih sepenuhnya pada Denta. “Gue cariin lo dari tadi. Gue kira balik duluan. Nezar dan yang lain udah dari tadi sampai. Nah, lo nggak balik-balik,” celotehnya. Sok perhatian. Mata Gasta jadi memicing tidak suka. “Gue jatuh tadi. Lupa kalau HP gue masih di rumah, makanya nggak ngabarin,” balasnya memberi tahu. “Jatuh? Eh, lo luka nggak?” tanya Aryan langsung panik. Memegangi bahunya mengecek keadaan Denta. “Lo sih gayaan pakai ngajak balapan, jadi malah salto sendirian kan? Besok-besok, nggak usah kayak gitu lagi. Bahaya!” “Dia nggak apa,” ketus Gasta, sambil menepis tangan Aryan dari bahu Denta dengan sewot. “Apa sih, Gas.Dia tuh nanyanya ke gue bukan lo,” balas Denta sewot. Gasta jadi mendecih pelan, terlihat tak suka. “Ya, udah.Ayo balik!” ajak Aryan. “Tapi rantai gue patah. Sepedanya nggak bisa dipakai, harus ke bengkel dulu,” tutur Denta. “Lo naik ke sepeda gue! Sepeda lo nanti gue ambil pakai mobil,” kata Aryan, membuat Gasta melotot. “Nggak! Dia balik sama gue,” tukas Gasta tak mau dibantah. Siapa yang terima coba pacarnya naik sepeda bareng cowok lain? Apalagi dia yakin, Denta akan duduk di depan Aryan. Dia tidak mau, mereka jadi dekat begitu. “Lah? Emang iya, Nta?” tanya Aryan jadi cengo. “Lo kan sakit, Gas. Gue sama Ar--” “Balik sama gue!” tegas Gasta. Denta melengos sebal, mau tidak mau tetap menurut. Dia kembali menatap ke arah Aryan. “Lo balik duluan aja, Ar. Gue masih mau nyelupin cowok gila ini ke parit depan dulu,” kata Denta, membuat Gasta melotot sebal. Aryan mengangkat alis, namun tidak lama jadi mengangguk dan tertawa kecil saat mendengar Denta akan menyelupkan Gasta ke parit. Apalagi, melihat ekspresi pemuda itu yang jadi melotot, membuat Aryan jadi geli. “Ya udah, gue duluan. Eh! Sepeda lo gimana?” Aryan jadi kembali tersadar, dengan sepeda hybrid mahal yang tergeletak itu. “Eh iya, gimana ya?” gumam Denta bingung sendiri. “Gue pakai mobil,” sahut Gasta ketus. Aryan mengangguk. “Oh, oke. Duluan ya, Nta! Kalau sampai rumah jangan lupa kabarin gue!” pekiknya, dengan tangan melambai, kembali mengendarai sepedanya.. “Siap! Entar gue kabarin!” “Hati-hati di jalan!” kata Aryan kalem, membuat Gasta mengumpat kasar saking kesalnya. “Iya, tenang aja.” Denta membalas. Tangannya ikut melambai riang dengan bibir yang tertarik membentuk senyum selebar mungkin. Senyumnya tak juga luntur meski sepeda Aryan sudah berlalu dari hadapannya. OHOK OHOK! Gasta batuk sengaja di nyaringkan. “Apasih lo?” protesDentasebal. “Ayo pulang!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD