2. Ghina - When i grow up i wish ...

1406 Words
Waktu kecil, Ghina pernah berkhayal jadi astronot. Katanya pasti indah bisa melihat bumi dari atas sana. 12 tahun kemudian Ghina mengurungkan niatnya setelah jatuh dari pohon jambu berketinggian 5 meter. Katanya, jatuh dari pohon jambu saja sakitnya bukan main, gimana kalau jatuh dari atas sana. Beberapa tahun kemudian Ghina ingin jadi dokter kandungan, tapi kemudian kandas juga setelah dibantah mentah-mentah oleh Ibu. Katanya mau jadi dokter harus punya uang banyak. Ibu nggak sanggup membiayainya. Lalu Ghina yang senang mendengar cerita dan membantu masalah teman-temannya lewat nasihat bijak itu ingin jadi psikolog. Katanya, sangat menyenangkan bisa melihat orang yang kita bantu menemukan dirinya lagi. Lagi lagi yang satu ini harus kandas. Jadi psikolog ternyata masih kemahalan bagi ibu yang merupakan orang tua tunggal. Kemudian Ghina tak muluk-muluk. Ia ingin jadi penulis. Sesuatu yang amat sangat disukainya sejak duduk di bangku SMP. Tak jarang puisi atau cerpen-cerpen Ghina bertengger di mading sekolah, majalah remaja, atau koran. Bakat yang begitu besarnya tak juga mengetuk hati ibu dan kakak Ghina. Bagi ibu, nasib Ghina ditangannya dan juga sang kakak, Rinjani. Ghina tak patut memilih karena dia tak tahu apa-apa perkara hidup dan kehidupan orang dewasa. Ghina remaja mengerti. Lalu mengangguk dan bertanya, ibu maunya Ghina jadi apa? Tahu jawaban ibu apa? Ibu mau Ghina jadi karyawan yang punya gaji tinggi. Menikah dengan pria kaya yang sudah punya rumah dua lantai dan mobil. Padahal dokter juga bergaji tinggi. Ghina juga bukan anak yang bodoh. Terbukti sejak SMP hingga SMA Ghina tak pernah melepas gelar juara 1 umum di sekolahnya. Ghina bisa dapat beasiswa di universitas yang Ghina mau. Tetapi bagi ibu tetap dokter itu bukan pilihan lagi. Ghina tak mau membantah. Baginya menuruti ibu dan kakak yang telah membiayai sekolahnya adalah kewajiban yang tak bisa digeser dengan kepentingan apapun. Beda ibu beda lagi Rinjani. Anak pertama dari 3 bersaudara itu tak ubahnya diktator berbaju pengayom. Ghina tak punya pilihan kecuali sesuatu yang sudah dipilihkan oleh sang kakak. "Kuliah jurusan eksak. Gampang mau kerja dimana saja. Jangan sosial, kelihatan kayak orang bodoh. Kayak nggak bisa mikir." Padahal orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan itu lebih banyak lulusan ilmu sosial ketimbang eksak dan tentu bukan orang bodoh, bukan? Presiden kita kayaknya justru tidak ada yang lulusan teknik elektro atau pertambangan, kan? Orang-orang eksak justru bekerja di depan komputer, menerima perintah dari atasan. Tapi ya sudah. Ghina tak masalah karena ia pun suka pelajaran eksak. Kimia apalagi. Jadi bukan soalan besar kalau harus berkuliah di jurusan Kimia. Setidaknya ia masih bisa berdekatan dengan dunia kedokteran yang ia dambakan. Menjadi apoteker atau analis lab di Rumah Sakit misalnya. Nahas, bukan apoteker atau analis tujuan akhir dari kuliah yang akhirnya Ghina ambil melainkan seorang engineer. Insinyur pabrik yang mayoritas dilakukan oleh pria. Ghina lesu bukan main setelah menyadari bahwa ia telah salah memilih jurusan. 2 semester dihabiskannya dengan menangis. Nilai tak karuan. Pulang-pergi kampus dan kostan terasa hambar. Ghina si ambisius yang tak pernah mau kalah itu cuma bisa pasrah ketika nilai demi nilai ujian semester dibuka dan hasilnya Ghina harus mengulang tahun depan. "Kalau aku ikut SNMPTN lagi terus ambil jurusan Bahasa Indonesia atau Sastra Indonesia gimana, Mbak?" tanya Ghina di satu waktu pada Rinjani. "Lupa kamu uang 12 juta yang buat bayar uang pangkal kamu itu belum lunas? Nggak usah aneh-aneh! Kuliah yang bener aja." Pupus sudah impian Ghina. Dunianya terpenjara oleh aturan mutlak Rinjani dan sang Ibu. Satu waktu kadang ibu mengerti bahwa kuliah memang sangatlah sulit dan melelahkan. Tapi di waktu lain ibu tak mau tahu, Ghina harus menunjukkan satu prestasi –apapun itu ketika pulang ke rumah. Ghina tak pernah memimpikan hidup yang sempurna seperti Tika, tetangga sebelah rumahnya. Punya ibu yang tak pernah marah ketika nilainya D. Atau bapak yang justru mengajak Tika pergi ke Mc Donald alih-alih memarahinya karena memecahkan guci warisan nenek moyang kesayangan bapak. Ghina tak terlalu berharap begitu. Ghina hanya ingin apa yang dilakukannya 'terlihat' oleh Rinjani dan ibu. Dianggap ada. Ghina ingin suaranya didengar. Sedikiiiitttt saja. Bukan hanya dituntut ini dan itu. Sempurna di sisi ini dan tak boleh compang camping di sisi yang lain. "Nggak ada yang bisa mengubah nasib kita kecuali kita yang berusaha mengubahnya, Ghin," kata Ulfa, teman karib Ghina. "Aku udah berusaha, Fa. Tapi … ya tahu sendiri lah ibu gimana. Kalau sudah mau A ya harus A. Mbak Jani juga begitu. Kuliah yang bener, dapetin IPK yang bagus, lulus kerja di kantor dengan gaji besar. Kan begitu templatenya." Ulfa tertawa. "Kamu itu terlalu baik tahu, Ghin. Terlalu nurut. Serong dikit gapapa kali." Ulfa menyenggol bahu Ghina sambil berkedip. “Nggak ada yang lihat ini.” "Maksudnya?" "Ya, gitu. Ibu ngomong apa kamu iya. Rinjani bilang apa kamu inggih aja. Protes kek. Membangkang kek. Kamu di sini sambil kerja sampingan juga kan mereka nggak akan tahu. Jadi asdos kek." "Asdosnya Mom Tri? Mampus aja." "Ish! Bunuh diri. Ya bukan lah. Aku denger Pak Budi lagi cari asisten buat proyek di lab batubara. Coba aja ngomong." "Ngajak berantem lo ya! Ngaco!" Ghina terbayang deretan nilainya dengan Pak Budi yang tak pernah lewat dari C. Atau praktik perpindahan panas yang–ah kalau ada kata lebih tinggi dari 'parah' ya itulah Ghina. Baginya lebih mudah memahami bilangan redoks ketimbang menghitung kadar karbon dalam satu gram batubara. "Astaga! Aku lupa, Ghin. Kemarin aku lewat lab Kimia Fisika, lagi rekrutmen asisten buat praktikan semester 3." "Kimia Fisika banget? Nggak bisa yang lebih enak gitu kesibukannya?" Ghina mendengus sembari turun dari pagar rendah jurusan. "Kampus kita emangnya nggak punya klub hobi ya? Apa kek, nulis, masak, rohis–eh, jangan rohis, mmm ... atau klub berkebun nggak pa-pa lah." "Tar aku tanya Mona. Biasanya soal beginian dia paling up to date." "Semoga ada deh. Biar perjalan dari semester 5 ke lulus ini nggak mengenaskan banget." Mereka berjalan beriringan menuju halte bus. Ulfa dengan pikiran soal klub apa yang kira-kira bisa dihinggapi Ghina dan Ghina dengan kemelut soal nasibnya yang semakin sulit dijabarkan. Baru tadi pagi pesan dari Rinjani masuk dan bukan sapaan selamat pagi atau sudah makan belum, melainkan kenapa IPK nya semester lalu bisa serendah itu. Padahal 3,51 bukanlah angka kecil. Nilainya bahkan hanya cacat di satu mata kuliah saja. Mungkin Ghina memang tak bisa pindah dan perlombaan lari, tapi dia bisa lari sambil tengok kanan kiri. Atau mampir ke kedai kopi sebentar. Sesekali jalan, tidak harus lari juga sepertinyanya tidak akan kelihatan oleh 'pengawas' di ujung garis finish sana. Andai bisa. Ghina ingin sekali bisa berkuliah seni di Jogja. Menekuni apa yang dia sukai sambil sesekali menikmati ramahnya Jogja dan lembutnya Parangtritis. Atau di Brawijaya. Atau mana sajalah yang jauh. Kalau bisa yang tidak ada signal telepon di daerahnya. Ah, tapi mana mungkin. Namanya kampus ya pasti ada sinyal. "Ghin, menurut kamu ada nggak sih orang di dunia ini yang nggak freak?" tanya Ulfa setelah mereka duduk di dua bangku bus yang sejajar. "Ada nggak yang nggak freak? Pertanyaanmu udah bener itu? Yang nggak penuh tipu daya, yang jujur apa adanya ya pasti ada lah." "Kayaknya nggak mungkin." "Maksudnya?" "Menurut aku ya, manusia nggak ada yang nggak freak. Semua manusia itu kan nggak mau kelihatan salah, Ghin. Kalo ketahuan salah pasti ngebela dirinya setengah mati. Bahkan kadang buat orang lain kita berani bohong sama diri sendiri bahkan nyakitin hatinya sendiri. Kita maunya apa, ngomongnya apa. Kita gak suka, tapi bilangnya gak pa-pa." Dahi Ghina berkerut. "Lo nyindir gue?!" "Dikit." Ulfa tergelak. "Tapi nggak cuma kamu lah. Semua orang juga gitu. Cuma nggak segila kamu aja." Lalu tergelak lagi. Hati Ghina meringis, tapi mulutnya tertawa. Pura-pura menertawakan kalimat Ulfa yang seratus persen benar. Menertawakan dirinya yang sungguh freaker sejati. Dirinya yang selalu diam dan menurut. Dirinya yang selalu bilang iya padahal tersiksa. Ghina si penurut dan penakut. Takut menyakti hati orang tapi tak segan menyaktii dirinya sendiri. "Eh, Ghin. Abis lulus mau ke mana?" Ghina seperti berpindah dari dalam bus ke sebuah padang luas yang entah dimana. Tak ada apa pun selain padang berpasir yang tandus sekaligus gelap. Seolah matahari sudah berhenti beroperasi. Ke mana pun dia berjalan seperti tak ada ujung yang bisa ia tuju. Tak ada pohon yang bisa dijadikan tempat berteduh. Tak ada manusia yang punya mulut. Yang ada hanya manusia jenis tak bermulut dengan mata tak bisa geser kanan atau kiri. Ghina seorang diri dengan kedua tangan terikat tali yang dikendalikan oleh seseorang atau sesuatu yang sangat jauh di sana. Saking jauhnya Ghina sampai tak bisa melihat makhluk itu. Hidupnya bukan memiliki tujuan melainkan pilihan orang. Aku mau ke mana, ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD