02.
Dikarenakan ini." A Xi menunjuk kotak kecil yang dibawanya.
"Itu..." A Li terbelalak"Apakah itu kotak pusaka yang diperebutkan persilatan?"
"Betul." A Xi mengangguk"Dari mana kau peroleh kotak pusaka itu?" A Li dengan suara gemetar karena tegang-
"Dalam perjalanan pulang dari Lembah Kesepian, aku melihat seseorang dikeroyok oleh para pesilat dari golongan hitam, bahkan tampak pula para pesilat dari golongan putih. Karena itu, aku turun tangan menolong orang itu, yang telah terluka parah-sebelum menghembuskan napas penghabisan, dia menyerahkan kotak pusaka ini kepadaku maka aku dikejar-kejar oleh para pesilat dari golongan hitam dan golongan putih itu"
"Celaka" keluh A Xi.
"Mereka pasti akan membunuh kita demi merebut kotak pusaka ini."
"Kita harus segera kabur."
A Sang menggendong putra kita yang masih kecil itu kabur ke arah barat, kita melalui arah timur."
Akan tetapi, di tengah perjalanan A Xi dan A Li di hadang oleh para pesilat
golongan hitam dan golongan putih itu sehingga terjadilah pertarungan yang amat dahsyat.
Mayat bergelimpangan, sedangkan A Xi dan A Li telah terluka.
pada saat itu berkelebatan tiga sosok bayangan hitam, dan diiringi suara tawa yang sangat menyeramkan.
Begitu melihat tiga sosok bayangan hitam itu, para ketua golongan putih terkejut bukan main,
dan wajah mereka tampak pucat pias.
Ternyata yang baru muncul itu adalah Tiga Iblis golongan hitam Hai Lo Mo , Thian mo dan Te mo.
Tiga iblis berkepandaian sangat tinggi,
A Xi dan A Li mati secara mengenaskan di tangan Tiga iblis itu, siapa pun tidak tahu, kotak pusaka itu jatuh ke tangan Hai Lo Mo, Thian mo atau Te mo"
Dan juga tiada seorang pun yang tahu, ke mana putra A Xi yang masih kecil itu, sehingga hal-hal tersebut merupakan suatu teka teki di dalam persilatan.
Di dalam sebuah goa, tampak seorang tua berbaring di ranjang. Badan orang itu kurus kering, rambutnya putih semua, dan terus-menerus batuk.
"Paman!" ujar seorang anak berusia sekitar tiga belas tahun. "Apakah Paman mau makan obat lagi?" "Ti... tidak usah, Nak." Orang tua itu menatapnya sambil menarik nafas panjang.
"Aaaakh...!" "Kenapa Paman setiap hari menarik nafas?" tanya anak itu heran.
"Paman... Paman sangat kasihan akan nasibmu, Nak," sahut orang tua itu lemah.
"Memangnya kenapa?" Anak itu tidak mengerti.
"Cuang Er, seandainya sepuluh tahun lalu kedua orang tuamu tidak mati, engkau tidak usah ikut paman hidup menderita di dalam goa ini," ujar orang tua sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman! Jadi sepuluh tahun lalu Cuang Er punya ayah dan ibu?" tanya anak itu.
"Ng!" Orang itu mengangguk. "Tapi..."
"Kenapa, Paman?"
"Aaakh! Kedua orang tuamu telah mati..."
"Paman, kenapa kedua orang tua Cuang Er bisa mati" Apakah karena sakit?"
"Bukan. Mereka berdua..."
"Kenapa kedua orang tua Cuang Er" Paman, beritahukanlah!"
"Nak!" Sepasang mata orang tua itu bersimbah air. "Belum waktunya paman memberitahukan."
"Kapan Paman akan memberitahukan pada Cuang Er?"
"Setelah kau memiliki ilmu silat tinggi."
"Paman!" Xiao Cuang mengerutkan kening. "Kenapa harus menungu sampai Cuang Er memiliki ilmu silat tinggi" Padahal sesungguhnya, Cuang Er sama sekali tidak berniat belajar ilmu
silat." "Kenapa?" Orang tua itu menatapnya heran.
"Selama ini bukankah Paman ingin mengajar Cuang Er ilmu silat, tapi Cuang Er terus menolaknya. Cuma belajar membaca, menulis dan sastra saja." Jawab Xiao Cuang
memberitahukan.
"Paman selalu mengatakan, bahwa dalam rimba persilatan penuh kelicikan, keserakahan dan saling membunuh pula. Maka Cuang Er tidak mau belajar ilmu silat, sebab Cuang Er tidak mau jadi
kaum rimba persilatan."
"Nak!" Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal Paman menghendaki agar engkau
menjadi pemuda yang Mahir Sastra dan ilmu Silat kelak, namun engkau malah tidak mau belajar ilmu silat. Nak, dalam hal ini Paman sungguh kecewa."
"Paman jangan kecewa" Xiao Cuang tersenyum. "Cuang Er tidak belajar ilmu silat, justru akan aman." "Tapi...." Orang tua itu tidak melanjutkan ucapannya, dan hanya menggeleng-gelengkan kepala
"Kenapa Paman kalau bicara tidak mau terus terang?" tanya Cuang Er heran. "Apakah Paman
menyimpan suatu rahasia?"
"Aaakh...." Orang tua itu hanya menarik nafas panjang.
"Sudah lewat sepuluh tahun..." gumam A Sang dengan suara lemah. "Semua kejadian itu
bagaikan dalam mimpi."
"Kejadian apa, Paman?" tanya Xiao Cuang cepat.
"Tentang kedua orang tuamu, Nak." A Sang menarik nafas panjang.
"Apa yang terjadi atas kedua orang tuaku?" tanya Xiao Cuang ingin mengetahuinya.
"Nak, kini belum waktunya engkau mengetahui tentang itu," Sahut A Sang
"Paman!" Xiao Cuang menatap orang tua itu. "Kenapa keluarga Cuang Er bisa berantakan
begitu" Sebetulnya apa yang telah terjadi sepuluh tahun lalu?"
"Nak!" A Sang menatapnya dengan mata basah. "Kelak engkau akan mengetahuinya..."
"Kenapa Paman selalu berkata begitu" Cuang Er jadi bingung sekali." Xiao Cuang menggaruk garuk
kepala.
"Nak!" Ujar A Sang sambil berbatuk-batuk. "Biar bagaimanapun, engkau harus belajar ilmu silat
tingkat tinggi."
"Heran" Kenapa Paman selalu mendesak Cuang Er belajar ilmu silat tingkat tinggi" Cuang Er sudah bilang, tidak mau belajar silat karena tidak mau jadi kaum persilatan."
"Nak..." ASang terbatuk-batuk lagi. "paman beristirahat saja! Cuang Er mau menanak nasi
dulu!" Ujar Cuang Er sambil berjalan ke dalam.
Sedangkan A Sang cuma menarik nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
terbatuk-batuk lagi. Tampak darah hitam mengalir ke luar dari mulutnya, sehingga membuat orang
tua itu berkeluh lemah.
"Aaakh... Ajalku sudah dekat..."
Hari berikutnya, Xiao Cuang memasak obat, kemudian diberikan kepada A Sang, namun orang tua itu menolak.
"Percuma... percuma paman makan obat lagi."
"Memangnya kenapa?" tanya Xiao Cuang sambil menaruh mangkok yang berisi obat di atas meja.
"Nak! Paman... paman sudah tidak tahan lagi..." A Sang memberitahukan dengan wajah pucat
pias, kemudian berubah kelabu.
"Maksud paman?" Cuang Er dengan heran.
"Ajal paman telah... telah mendekat." sahut A Sang dengan mata bersimbah air.
"Tidak! Tidak...!" teriak Xiao Cuang dengan air mata bercucuran. "paman pasti bisa sembuh,
Paman pasti bisa sembuh!"
"Nak! Dengarkan baik-baik..." A Sang terbatuk-batuk, lalu mulutnya mengeluarkan darah
hitam. "Sepuluh tahun lalu, paman terpukul oleh musuh hingga terluka dalam. paman terus
bertahan hidup demi membesarkanmu..." "paman..." Air mata Xiao Cuang terus berderai.
"Kedua orang tuamu, mereka... mereka..." A Sang terbatuk-batuk
lagi, darah hitam pun terus mengalir keluar dari mulutnya.
"paman makan obat dulu, jangan banyak bicara..."
"Nak! Dengarkan baik-baik! Waktu Paman tidak banyak lagi... Setelah paman mati, engkau harus berangkat ke Lembah Kesepian di Gunung Heng San..."
"Ya, paman." Xiao Cuang mengangguk sambil menangis terisak-isak.
"Nak, engkau harus ingat! Biar bagaimana pun engkau harus belajar ilmu silat," pesan A Sang.
"Dan juga harus sabar menghadapi segala sesuatu..."
Xiao Cuang mengangguk lagi.
"Paman, kenapa Cuang Er harus berangkat ke Lembah Kesepian di Gunung Heng San?"
tanyanya kemudian.
"Engkau... engkau harus mencari Orang Tua Kesepian di lembah itu..."
"Kenapa Cuang Er harus mencari orang tua kesepian?"
"Sebab... sebab orang tua kesepian akan menceritakan tentang riwayat hidupmu. Beliau juga akan
memberitahukan kepadamu, siapa kedua orang tuamu. Maka engkau harus datang ke Lembah
Kesepian menemui beliau."
"Paman, siapa oramg tua kesepian itu?"
"Setelah bertemu beliau, engkau akan mengetahuinya. Nak, Setelah paman mati, engkau harus
baik-baik menjaga diri, dan selalu berlaku sabar..."
"Ya, Paman."
"Di kolong ranjang ini tersimpan beberapa ratus tael perak dan beberapa stel pakaian, itu... itu
bekalmu." Suara A Sang semakin melemah. "Kasihan sekali engkau, Nak..."
"Paman..." Xiao Cuang menangis terisak-isak. "Cuang Er pasti menuruti nasihat Paman, Cuang Er pasti selalu berlaku sabar dan baik-baik menjaga diri."
"Engkau memang anak baik, tapi sayang sekali kedua orang tuamu..."
"Paman makan obat dulu ya." desak Xiao Cuang.
A Sang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menjulurkan tangannya untuk menggenggam
tangan Xiao Cuang.
"Nak! Engkau... engkau harus belajar ilmu silat..."
"Ya." Xiao Cuang terpaksa mengangguk, karena melihat keadaan orang tua itu sudah sekarat.
"Bagus! Bagus..." Wajah A Sang tampak berseri. "Nak, jagalah dirimu baik-baik..." Mendadak
kepala A Sang terkulai. Ternyata orang tua itu telah mati.
Xiao Cuang merangkul mayat orang tua itu sambil menangis sedih. "Paman! Kenapa Paman
tinggalkan Cuang Er...?"
Xiao Cuang berlutut di hadapan makam A Sang dengan air mata berlinang-linang. Tampak sebuah buntalan yang berisi pakaian dan uang perak bergantung di punggungnya.
"Paman! Hari ini Cuang Er akan meninggalkao tempat ini, Cuang Er berjanji akan selalu berlaku
sabar dan menjaga diri baik-baik. "Tapi...mohon Paman memaafkan Cuang Er, sebab Cuang Er tidak mau belajar ilmu silat. Cuang Er pasti akan berangkat ke Lembah Kesepian di gunung Heng
San untuk menemui orang tua kesepian, semoga Paman tenang di alam baka!"
Seusai berkata begitu, Xiao Chuang bangkit berdiri sambil memandang makam itu.