Episode 6

998 Words
[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] [Siapa ini?] [Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?] Aku tertegun. Entah harus menjawab apa. Kenapa dia harus datang kembali di saat seperti ini? Aku membiarkan dan tidak membalas pesannya. Semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke kota. Ke rumah suamiku. Segera kucuci semua gelas kotor yang sudah kukumpulkan. Piring-piring bekas, panci dan wajan bekas memasak tadi kucuci semua. Ibu dan Wa’ Imah juga tengah sibuk berbenah. Menjelang maghrib semua pekerjaan ini sudah selesai. Rumah kakek sudah bersih kembali. Aku bergegas menunaikan ibadah sholat maghrib. Bersujud dan meminta petunjuk atas kehidupan masa depanku kelak. Dalam untaian doa selalu kusisipkan dua nama yang selalu menjadi sumber kekuatanku. Nama Bapak dan Ibu. “Ya Allah … aku tidak pernah mengeluh dan menyalahkan keadaan terlahir dari keluarga miskin dan serba kekurangan … aku dengan sabar menerima semua takdir dan garisan nasib yang telah Engkau gariskan … aku tidak pernah mengeluh ketika tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi dan kerja di kantoran seperti saudara-saudaraku yang lain … aku selalu mencoba ikhlas menerima semua ini Ya Allah … tapi kumohon Ya Allah … berikan jalan untukku memuliakan kedua orang tuaku, meninggikan derajatnya, membuatnya dihargai, dihormati dan dimuliakan … Aku sudah tidak kuat melihat kedua orang yang kusayangi direndahkan bahkan oleh keluarganya sendiri hanya karena kami paling miskin di antara mereka … berikan padaku jalan untuk membungkam semua mulut yang selalu penuh hinaan, cibiran, cemoohan itu dengan kebahagiaan dan kesuksesanku di masa depan … Aku yakin dan percaya, Engkau Maha mengabulkan do’a … Kabulkanlah doaku Ya Allah!” Aku berzikir dengan khusyuk. Menghabiskan Sebagian waktuku untuk berduaan dengan Sang Pemilik Kehidupan. Perasaan tenang mengalir begitu saja. Setiap kali aku bersujud di atas sajadah ini selalu ada satu kedamaian yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Aku menjadi memiliki kekuatan berkali lipat untuk menghadapi kehidupan. Setelah selesai zikir dan doa, aku mengambil ponselku di mana ada Al-qur’an digital di sana. Namun baru saja aku mengucapkan Basmallah. Terdengar suara keributan di teras rumah. “Warman! Kamu tau kan mobil Teteh itu mahal? Kenapa sampai banyak goresan kayak gini?!” teriakan Wa' Ikah akhirnya membuatku berhenti pada ayat kedua. Aku melipat mukena dan menyimpannya di atas lemari. Segera kuberlari ke teras menghampiri suara keributan yang terjadi. “Maaf, Teh … tadi waktu saya cuci itu masih belum ada goresan-goresan seperti itu! Sumpah, Teh!” Kulihat wajah Bapak pias karena mengetahui mobil mahal kakaknya tergores. Tanpa kukira Wa’ Ikah melemparkan sapu ijuk yang tergantung di dekat sana. Dia lempar ke muka Bapak. “Nih, Warman! Teteh gak mau tau … mobil mahal Teteh harus mulus seperti sedia kala! Terserah kamu mau nyari uang ke mana? Kalau perlu jual saja gubuk reyot kamu itu, mungkin cukup jika kamu jual juga dengan tanahnya!” ucap Wa’ Ikah begitu tajam. Wajah Bapak kulihat semakin pucat. “Bukan saya yang buat, Teh! Tadi semua masih bagus! Dari mana atuh Teh, jangan buat ganti benerin mobil! Buat makan saja saya masih numpang sama Sinta!” lirih Bapak. “Oh, jadi mau coba lari dari tanggung jawab! Kalau kamu memang mau dimaafkan Kamu sujud di kaki Teteh sekarang, minta maaf ke Teteh! Kalau memang harga diri kamu jauh lebih rendah dari harga perbaikan mobil yang hanya sepuluh jutaan!” ucapnya sambil duduk menyilang kaki. Kulihat Bapak mengusap sudut matanya. Dia beringsut menghampiri Wa’ Ikah dan hendak bersimpuh. Ya Tuhaaan! Hatiku sakit sekali melihat Bapak menangis. Aku sudah tidak tahan dan langsung datang menghambur memeluk Bapak. “Bapak! Berdiri Pak! Jangan rendahkan harga diri Bapak di hadapan mereka!” Aku menopang tubuh Bapak agar berdiri tegak kembali. “Eh, Si Babu ikut-ikutan! Memangnya kamu punya uang buat ganti kerusakan mobilnya, hah?!” Kali ini Teh Selvi turut campur dan berteriak mentapku. “Ta, biar Bapak meminta ampunan saja sama Uwa’ mu. Dari mana Bapak bisa dapetin uang sebesar itu? Jual tanah dan rumah kita, nanti di mana kita tinggal?” “Minta ampunan itu sama Allah, Pak! Lagian Bapak gak salah juga, justru mereka yang harusnya minta maaf sudah memfitnah Bapak! Sinta yang akan bayar, Pak! Uang segitu tidak sebanding dengan harga diri Bapak!” Akhirnya aku tidak lagi peduli dengan apapun yang akan terjadi nanti. Yang terpenting saat ini aku harus menyelamatkan harga diri Bapak. “Eh, Babu! Emang kamu punya duit? Ini sepuluh juta … bukan sepuluh ribu! Jangan ngimpi kamu!” teriak Teh Selvi lagi. Aku mangabaikan teriakannya. Aku melirik ke arah Wa Ikah. “Wa’ mana nomor rekeningnya? Sinta gak bawa uang cash! Sinta transfer aja sekarang!” ucapku sambil menatap wajah sombong mereka. “Cih! Sok pahlawan! … Nih saya kirimkan kalau emang beneran punya duit!” Kini Teh Selvi yang menyalak. Dia mengambil ponselnya dan mengirim nomor rekening ke nomorku. Aku bergegas ke dalam setelah mendudukan Bapak kembali. Aku mengambil ponsel yang tadi aku letakkan di dekat mukena. Baru saja aku hendak keluar. Ibu menatapku cemas. “Ta? Kamu memang punya uang sebanyak itu?” tanya Ibu. “Ibu tenang saja! Sinta punya banyak, bahkan lebih dari itu!” jawabku sambil membetulkan kerudung dan berlalu menuju teras. Semua orang sedang duduk menungguku. Mereka menatapku tajam Ketika aku mendaratkan p****t di kursi sebelah Bapak. Segera kubuka aplikasi internet banking. Rekening yang khusus suamiku buatkan untuk mentransfer uang bulanan. Ini pertama kali kupakai, karena sebelumnya aku terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Terlebih di rumah besar itu semua kebutuhanku tercukupi dengan baik. “Wa’ Sinta akan transfer sepuluh juta rupiah! Tapi jika nanti tidak terbukti jika Bapak yang membuat kerusakan mobil Wa Ikah! Sinta akan menuntut balik!” ucapku dengan pandangan mata tajam. Harga diriku benar-benar terluka karena perbuatan mereka. Tring! Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Wa’ Ikah. Aku menunjukkan di depan semua yang hadir di teras ini bukti transfer uang sepuluh juta rupiah. Semua mata memandang dengan mulut menganga tidak percaya. Mungkin mereka bertanya-tanya, dari mana si Babu yang mereka hina ini dengan mudah mendapatkan uang sebanyak itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD