Bab 5

1062 Words
Selalu seperti itu, bahkan aku Sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari Bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada Bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak. Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya. Tidak salah lagi, itu adalah Bapak. “Pak, Bapak sedang apa?” Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku. “Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah. Rokoknya lupa masih Bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk. “Pak, udahlah 'kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya. “Sayang, Ta! Udah capek-capek Bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi membuat hatiku pedih. “Ya ampuuun, Pak! Udah sih ayo!” Aku menarik lengan Bapak dari rumpun itu. Dengan langkah malas dia mengikutiku. “Eh, bentar!” Bapak menepis tarikan lenganku. Dia menunduk dan mengangkat kakinya. “Alhamdulilah, ternyata ini! Ketutup daun, Ta!” Wajahnya sumringah menatap bungkus rokok yang terinjaknya. Dia mengambilnya sambil tersenyum seolah menemukan harta karun. Aku berjalan mendahului Bapak Ketika melihat Wa’ Imah melambaikan tangan ke arahku. Namun baru saja aku sampai di halaman. Sebuah suara berat menyapaku. “Assalamu’alaikum, Ta!” Aku menoleh pada asal suara, tampak seorang lelaki bersarung dengan peci hitam dan koko putihnya sedang berdiri tidak jauh dariku. “Wa’alaikumsalam, Kang!” jawabku sambil menunduk. Tidak terasa tanganku memainkan ujung kerudung yang menjuntai karena gugup. “Kamu apa kabar, Ta? Aku dengar, udah nikah, ya?” tanyanya. Entah dia menatapku atau tidak. Aku tidak berani mengangkat kepala. “Alhamdulilah, Kang! Kang Hafiz sendiri gimana, baik? Udah selesai kuliahnya?” tanyaku masih menunduk. “Aku baik! Belum selesai, masih dua tahun lagi! Kamu kenapa gak nunggu aku?” tanyanya tanpa basa-basi. DEG Ada sesuatu yang seperti menghantam ulu hatiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung suara Wa’ Imah kembali memanggilku. “Ta! Cepetan bantu Uwa!” teriaknya dari teras. “Permisi, Kang! Dipanggil Uwa’ … assalamu’alaikum!” Aku bergegas meninggalkan lelaki berparas teduh yang sedang menatapku. Bagaimanapun aku kini adalah wanita bersuami. Jawaban apapun yang akan kuucapkan untuknya sudah tidak akan berpengaruh lagi. Andai Kang Hafiz tahu alasanku memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di kota yang jauh dari sini. Masih teringat jelas Ketika aku mendengar dengan telingaku sendiri ucapan dari Ibunya Kang Hafiz. “Wah, Bu Syifa sebentar lagi mantu, ya! Katanya Hafiz sedang dekat dengan Sinta?” celoteh seorang pedagang sayur yang berhenti di depan warung Bi Iyem. “Ah, saya sudah suruh Hafiz kuliah ke Bandung biar gak deket-deket anak itu lagi. Lagian saya gak setuju sama pilihannya. Rumahnya aja reyot kayak gitu, keluarganya serba kekurangan. Nanti yang ada malah anak saya diporotin. Tadinya mau saya jodohin sama Selvi, kakak sepupunya! Hafiznya nolak, jadi cari cara halus aja biar mereka pisah dulu!” dengan gamblang pernyataan itu menusuk hatiku. “Oh, gitu ya Bu! Saya kira ibu sudah setuju, soalnya saya dengar dari anak saya, Hafiz mau melamarnya segera!” ucap seorang ibu lainnya yang entah siapa. “Kalau anak itu maksa, biar saya suruh milih aja! Mau memilih saya atau gadis itu? Lagian pastinya tuh si Sinta yang keganjenan, deketin anak saya. Pastinya keluarganya tuh nyuruh cari orang kaya biar mereka bisa numpang hidup, dih amit-amit deh besanan sama mereka! Amit-amit tujuh turunan kalau bisa,” ucapnya lagi semakin mengiris hati. Aku yang sedang berbelanja di warung Bi Iyem sampai menahan napas. Bahkan tidak berani pergi sebelum kedua orang yang sedang belanja sayur itu berlalu. Terasa sakit sekali waktu itu. Padahal awalnya aku sudah mau melamar di pabrik dekat sini. Meskipun kampung kami di pinggiran tapi ke Kawasan industri cuma tiga puluh menitan. Namun mendengar semua fakta itu membuatku akhirnya memutuskan untuk mengubur semua mimpi indah yang sempat terbayang. Aku pergi dengan membawa hati yang patah sebelum berkembang. Aku kubur semua cerita indah, janji dan harapan yang sempat lelaki itu ikrarkan. Aku terus berjalan ke dapur tanpa menoleh lagi ke arahnya. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Dan selamanya akan begitu, hanya masa lalu. Kini aku sudah memiliki seseorang di hatiku. Akhirnya acara pengajian dimulai. Aku duduk didekat jendela sambil menghitung jumlah yang datang. Hal ini biasa dilakukan untuk memastikan jika bingkisan yang kami buat cukup untuk mereka. Tiba-tiba tatapan mataku berhenti pada pemuda yang ternyata sedang memandang ke arah sini. Aku beringsut menggeser duduk. Kemudian berjalan ke belakang. Aku sudah memiliki masa depan, tidak ada lagi tempat untuk lelaki lain di hati ini. Setelah acara selesai. Aku, Ibu dan Wa’ Imah sibuk membereskan semuanya. Aku mengangkut gelas-gelas kotor bekas ngopi. Sementara Wa Imah menyapu teras. Ibu membereskan dapur. Wa’ Ikah tengah bercanda dan tertawa-tawa menyambut adik kesayangannya yang baru datang. Selama ini, yang dekat dengan Wa’ Ikah adalah Wa’ Inah adik keduanya. Mereka mengobrol sambil tertawa-tawa di luar. “Ta, mana suamimu? Uwa’ pengen lihat! Katanya ganteng kayak artis, ya?” ucap Wa’ Inah yang baru saja mendaratkan pantatnya. “Gak ikut, Wa’ … lagi ada kerjaan!” ucapku sambil mengangkut gelas kotor yang ke sekian kalinya. “Itu, kalau mau tau muka suaminya Sinta, Teh Inah lihat berita di tivi saja. Suaminya ganteng kayak itu tuan muda yang suka muncul di tivi!” ujar Bapak membanggakan menantunya. “Percuma juga ganteng, Mang kalau kere!” ucapan pedas Teh Selvi menimpali. “Nih, nanti lihat Selvi … pasti bisa dapetin tuan muda beneran! Dia kan CEO di perusahaan tempat Selvi dan ayah bekerja, Mang!” sambung Teh Selvi lagi. Dia tidak tahu, jika yang sedang dia bicarakan itu suamiku. Lihat saja berani dia menyentuhnya akan berurusan denganku. “Bukannya udah nikah dia mah, Vi?” Kudengar Wa’ Inah bertanya. “Kan lelaki boleh punya istri lebih dari satu, Bi!” ucapnya dengan percaya diri. Aku bergegas pergi ke dapur. Malas mendengarkan obrolan unfaedah mereka. Baru saja aku meletakkan semua gelas kotor di dalam bak. Ponselku yang kuletakkan tidak jauh dari sana bergetar. Sebuah pesan masuk, dari nomor baru lagi. Apakah peneror itu lagi? Dengan gemetar tapi tetap kubuka karena penasaran. [Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] [Siapa ini?] [Orang yang bertemu di halaman depan denganmu. Kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku. Apakah kamu tidak percaya akan keseriusanku? Apa perlu kubuktikan jika aku bisa merebutmu dari suamimu?]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD